BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kebijakan Kementrian Agama (Kemenag)
meng-USBN-kan Pendidikan Agama Islam (PAI), hal itu tentu patut mendapat perhatian serius.
Apalagi pelaksanaan Ujian Nasional (UN) masih penuh dengan permasalahan, baik
dari segi teknis, substansi sampai dengan dampak secara sosial. Kemenag seolah
tidak mau berkaca dan mengkaji ulang atas gagasannya untuk melangsungkan Ujian
Sekolah Berstandar Nasional (USBN) PAI.
Ujian berstandar nasional atau UN yang selama ini diadakan telah menggiring praktisi pendidikan dan anak didik terfokus pada materi pelajaran (mapel) yang diujikan. Mapel PAI yang terdiri atas Alquran-Hadis, Akidah, Akhlak, Fikih dan Tarikh atau Sejarah Kebudayaan memiliki karakteristik sendiri yang berbeda-beda antara satu aspek mapel dengan lainnya dalam satu rumpun mapel PAI. Lepas dari hal ini, yang jelas, kebijakan Kemenag ini memaksa kita untuk membaca ulang. Oleh hal itu, patut kiranya bila makalah ini dibuat dalam rangka kajian lebih dalam untuk mengetahui USBN khususnya PAI
Ujian berstandar nasional atau UN yang selama ini diadakan telah menggiring praktisi pendidikan dan anak didik terfokus pada materi pelajaran (mapel) yang diujikan. Mapel PAI yang terdiri atas Alquran-Hadis, Akidah, Akhlak, Fikih dan Tarikh atau Sejarah Kebudayaan memiliki karakteristik sendiri yang berbeda-beda antara satu aspek mapel dengan lainnya dalam satu rumpun mapel PAI. Lepas dari hal ini, yang jelas, kebijakan Kemenag ini memaksa kita untuk membaca ulang. Oleh hal itu, patut kiranya bila makalah ini dibuat dalam rangka kajian lebih dalam untuk mengetahui USBN khususnya PAI
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian UASBN?
2. Apa
tujuan dan manfaat UASBN PAI?
3. Apa
saja hambatan-hambatan dalam pelaksanaan UASBN PAI?
4. Bagaimana
solusi terbaik bagi UASBN PAI?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Untuk
memberi pemahaman tentang UASBN yang diselenggarakan pemerintah
2. Untuk
memahami setiap permasalahan dan kemaslahatan pada setiap kebijakan yang
diambil pemerintah
3. Mengetahui
bagaimana dampak yang terjadi atas penyelenggaraan UASBN sehingga dapat
menyimpulkan bagaimana solusi yang harus diambil dalam menghadapi permasalahan
yang datang
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
UASBN
UASBN
(Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional) ialah ujian nasional di tingkat SD
yang diadakan setelah ujian SMA dan SMP.
Soal UASBN dibuat oleh Dinas Pendidikan provinsi(75%) dan BSNP (Badan Standar
Nasional Pendidikan)(25%). UASBN pertama kali diadakan 12 Mei
2008.
Mata pelajaran yang diujikan hanya ada tiga, yaitu Bahasa Indonesia, Matematika, dan IPA.UASBN
dibagi 2 tahap tahap pertama ialah utama dan yang kedua ialah susulan bagi yang
tidak ikut UASBN utama dapat ikut UASBN susulan. Peserta yang belum lulus UASBN
dapat mengikutinya tahun depan.[1]
Ujian
akhir sekolah berstandar nasional (UASBN) yang diselenggarakan mulai Senin
(11/5) menjadi penutup rangkaian ujian nasional tahun ajaran 2008/2009. Menurut
pemerintah, UASBN bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara
nasional pada mata pelajaran bahasa Indonesia, matematika, dan ilmu pengetahuan
alam (IPA) serta mendorong
tercapainya target wajib belajar pendidikan dasar yang bermutu.
UASBN
merupakan hasil kompromi antara departemen pendidikan nasional dan dewan
perwakilan rakyat. Awalnya diberi nama UN SD dengan format yang sama seperti UN
(ujian nasional) sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas. Kuatnya penolakan
dari masyarakat memaksa Depdiknas mengubah menjadi ujian nasional terintegrasi
ujian sekolah (UNTUS).
Kini,
giliran DPR yang tidak puas. Sebab, dalam UNTUS, UN lebih ditekankan daripada
ujian sekolah. Depdiknas diminta kembali merevisi. Akhirnya, muncul UASBN.
Paling
tidak ada dua perbedaan antara UASBN dan UN pada tingkat SMP dan SMA. Pertama, soal ujian. Materi dibuat
oleh penyelenggara tingkat provinsi dan badan standar nasional pendidikan
dengan proporsi masing-masing 25 persen dan 75 persen. Kedua, kelulusan. Angka
minimal lulus tidak dipatok dan diseragamkan secara nasional, tapi diserahkan
kepada masing-masing satuan pendidikan.
Meski
begitu, UASBN pada dasarnya memiliki tujuan yang sama dengan UN sebagai bagian
dari upaya pemerintah untuk meresentralisasi proses penentuan kelulusan di
sekolah. Dari berbagai aspek, kebijakan tersebut dapat berdampak buruk bagi
guru, peserta didik, maupun orang tua.[2]
B.
Tujuan
dan Manfaat UASBN PAI
Aadapun
sebenarnya banyak sekali yang menjadi tujuan maupun landasan diselenggarakannya
UASBN PAI ini, selain itu juga terdapat banyak sekali manfaat didalamnya.
Tujuan dan manfaat tersebut, antara lain adalah :
1. Tujuan
Pelaksanaan USBN PAI Tahun Pelajaran 2010/2011 bertujuan untuk :
a. menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata
pelajaranPendidikan Agama Islam.
b. meningkatkan mutu penilaian Pendidikan Agama Islam pada satuan
Pelaksanaan USBN PAI Tahun Pelajaran 2010/2011 bertujuan untuk :
a. menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata
pelajaranPendidikan Agama Islam.
b. meningkatkan mutu penilaian Pendidikan Agama Islam pada satuan
Pendidikan.
c. mengevaluasi kinerja satuan pendidikan berdasarkan hasil penilaian
Pendidikan Agama Islam.
2. Fungsi
Hasil USBN Pendidikan Agama Islam Tahun berfungsi sebagai salah satu pertimbangan untuk :
a. Pemetaan mutu pendidikan agama Islam pada satuan pendidikan.
b. penentuan kelulusan peserta didik dari ujian sekolah.
c. meningkatakan mutu peserta didik.
c. mengevaluasi kinerja satuan pendidikan berdasarkan hasil penilaian
Pendidikan Agama Islam.
2. Fungsi
Hasil USBN Pendidikan Agama Islam Tahun berfungsi sebagai salah satu pertimbangan untuk :
a. Pemetaan mutu pendidikan agama Islam pada satuan pendidikan.
b. penentuan kelulusan peserta didik dari ujian sekolah.
c. meningkatakan mutu peserta didik.
C.
Hambatan-hambatan
dalam Pelaksanaan UASBN
Ada
beberapa permasalahan dalam UASBN. Yang paling mendasar adalah kontradiksi
dengan kebijakan wajib belajar sembilan tahun. Pernyataan pemerintah bahwa
UASBN dapat menjadi salah satu cara untuk mendorong tercapainya target wajib
belajar tidak memiliki dasar yang jelas, baik secara konseptual maupun yuridis.
Titik
tekan UASBN adalah standar kelulusan. Padahal, agar dapat merealisasikan
program wajib belajar, pemerintah mesti memulai dengan menjalankan kewajiban
menetapkan dan mengimplementasikan standar pelayanan bagi warga. Untuk itu, ada
dua hal yang dijadikan sebagai prioritas. Yakni, akses terbuka bagi semua
kelompok warga dengan menghilangkan segala hambatan biaya dan meningkatkan
kualitas pelayanan.
Selain
itu, prinsip wajib belajar meliputi SD dan SMP
atau sederajat yang berada pada level sama, pendidikan dasar. Hal tersebut
jelas ditegaskan dalam Undang-Undang 20/2003 mengenai Sistem Pendidikan
Nasional pasal 17 ayat (2) yang menyatakan bahwa pendidikan dasar berbentuk
sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat
serta sekolah menengah pertama (SMP)
dan madrasah tsanawiyah (MTs) atau bentuk lain yang sederajat.
UASBN
menegasikan prinsip yang telah ditegaskan dalam UU Sisdiknas. Sebab, ada fase
lulus atau tidak lulus bagi peserta didik kelas enam. Apalagi dibuat
sentralistis yang menunjukkan bahwa SD atau sederajat dan SMP atau sederajat berada pada level yang berbeda.
Dengan demikian, UASBN justru dapat menghambat upaya untuk merealisasikan
program wajib belajar yang rencananya “dituntaskan” pada 2008.
Masalah
kedua berkaitan dengan pungutan. Alokasi dana dari APBN untuk mendukung UASBN
yang sangat sedikit dan ketidakjelasan jumlah dana yang mesti ditanggung oleh
pemerintah daerah membuat orang tua menjadi sumber potensial pendanaan. Apalagi
hasrat dinas dan sekolah untuk mendapatkan keuntungan dari kebijakan tersebut
makin memperkuat posisi orang tua sebagai objek pemerasan.
Beragam
kegiatan dibuat menyertai UASBN, mulai les dan bimbingan belajar, program
pemantapan mata pelajaran yang akan diuji, hingga tryout . Biaya yang akan
ditanggung oleh orang tua murid peserta ujian secara umum dibagi menjadi tiga
jenis. Yakni, biaya yang dikeluarkan menjelang ujian, biaya yang dikeluarkan
pada saat pelaksanaan ujian, dan biaya yang akan dikeluarkan pascaujian.
Hal
tersebut diperkuat oleh hasil riset ICW di lima SDN di daerah pada 2007 dan
2008. Terjadi peningkatan drastis pengeluaran orang tua, terutama kelas enam,
untuk keperluan les atau bimbingan belajar di sekolah. Bahkan, dari sisi besar
biaya, les menempati urutan pertama di antara sepuluh jenis biaya yang dianggap
paling memberatkan orang tua yang menjadi responden.
Masalah
lain adalah potensi kecurangan. Dalam UASBN, walau pembuatan soal menjadi
tanggung jawab penyelenggara pusat dan provinsi, nilai kelulusan diserahkan
kepada masing-masing sekolah. Pada satu sisi, UASBN tidak jauh berbeda dengan
evaluasi belajar tahap akhir nasional (Ebtanas) dan otoritas guru sebagai
penentu kelulusan tidak hilang. Tetapi, pada sisi lain, penentuan kelulusan
yang diserahkan kepada sekolah dapat berdampak negatif.
Atas
dasar gengsi, sekolah akan mempertinggi kelulusan hingga di luar kemampuan.
Apalagi dinas pendidikan turut menekan karena mengingingkan citra baik mereka
di mata kepala daerah atau daerah lain. Akibatnya, akan terjadi perlombaan
angka batas kelulusan. Dengan kondisi pelayanan yang buruk, angka batas
kelulusan tinggi tidak mungkin bisa dipenuhi oleh peserta ujian. Karena itu,
UASBN berpotensi memunculkan kecurangan seperti yang terjadi dalam
penyelenggaraan UN SMP dan SMA
atau sederajat.
Apabila
pemerintah mau belajar dari pengalaman, tentu tidak akan mau mengulang
kesalahan dua kali. Sebab, UN pada tingkat SD pasti memunculkan masalah seperti
pada tingkat SMP dan SMA. Bahkan,
bukan tidak mungkin jauh lebih parah. Pemerintah dengan anggaran miliaran
rupiah justru akan membeli masalah yang dapat membuat pendidikan nasional
terpuruk.
Daripada
menghabiskan banyak anggaran yang pada akhirnya memunculkan kontroversi,
pemerintah lebih baik berkonsentrasi merealisasikan program sekolah gratis.
Selain merupakan amanat Undang-Undang Dasar 1945, dalam rencana strategis
pendidikan 2005-2009, memperluas akses dengan menyediakan sekolah gratis dan
berkualitas pada tingkat dasar merupakan salah satu tujuan yang ingin dicapai
pemerintahan SBY-JK.[3]
Adapun masalah lain yang timbul adalah banyak dari kalangan orang yang tidak
setuju dengan USBN PAI dengan alasan bahwa dengan diadakannya Ujian tersebut
justru akan menjadi kericuhan dan perkelahian karena mengandung masalah
furu’iyah. Setiap daerah memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai agama.
Alasan ini kurang kuat karena soal yang mengandung masalah furu’iyah tidak
dimasukkan dalam soal. Disamping itu sesuai dengan pedoman pelaksanaan USBN
PAI, disebutkan bahwa soal USBN PAI ditentukan dengan cara menggabungkan
25% butir soal yang dibuat Penyelenggara Tingkat Pusat dan 75% butir soal yang
dibuat Penyelenggara Tingkat Kabupaten/Kota. Para kelompok yang tidak setuju
diadakannya USBN juga beralasan bahwa dengan diadakannya ujian ini maka akan
cenderung mengutamakan pada aspek kognitif saja.
D.
Solusi
Bagi Kemajuan UASBN
Bagi
beberapa orang ketika mengetahui fenomena kecurangan pada UASBN yang dilakukan
oleh guru maupun murid hampir lebih banyak yang mengutuk dibandingkan yang
mencoba mencari solusi masalah tersebut. Pihak-pihak tertentu bahkan
menyalahkan beberapa aktor yang salah dalam munculnya kecurangan dalam
UASBN. Ada beberapa aktor yang kerap menjadi biang kesalahan dari masalah ini
yaitu siswa SD, guru, dinas pendidikan, pemerintah pusat dan masyarakat.Melalui
tulisan ini saya akan mencoba memberikan sisi lain dari pendidikan yang terjadi
di negeri kita ini.
Jadi
sebenarnya untuk mengatasi masalah di pendidikan tentang kecurangan saat UASBN,
saya berpikir bahwa dengan menjadi sahabat dan memberi perhatian lebih
kepada anak-anak sehingga mereka mau berusaha belajar lebih giat lagi dalam
menghadapi ujian adalah salah satu solusi yang bisa diterapkan untuk
menghindari kecurangan pada saat UASBN. Jika anak-anak giat belajar kemudian
hasilnya nilai mereka baik maka tidak perlu ada oknum-oknum yang memberikan
bocoran kunci jawaban untuk anak-anak ini. Mereka tidak bisa karena mereka belum
ada semangat belajar namun ketika kita sudah berhasil membangkitkan ini semua
maka kita tinggal menunggu waktu kebiasaan buruk kecurangan pada saat UASBN
akan berkurang perlahan-lahan.
Inilah
mengapa pentingnya kita melihat dengan jernih sisi lain dari pendidikan di
negara kita ini. Sisi negatif pasti akan selalu ada namun itu semua selalu
dapat diselesaikan jika kita dapat melihat dengan jelas perjalanan kita di
depan mengarah kemana. Siapapun bisa berjalan dengan baik asalkan pandangan
mereka tidak kabur dan jelas melihat arah ke depan, belakang, dan samping
kanan-kiri.Itulah sebabnya mengapa kacamata ini harus dibersihkan agar kita
bisa lihat dengan jelas apa masalah kita dan solusi untuk menyelesaikanya.[4]
God grant me the serenity to
accept the people I cannot change, the courage to change the one I can, and the
wisdom to know it's me
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
UASBN (Ujian Akhir Sekolah Berstandar
Nasional) ialah ujian nasional di tingkat SD
yang diadakan setelah ujian SMA dan SMP.
Sedangkan UASBN PAI adalah ujian akhir tingkat nasional dalam bidang PAI.
Dan
dari banyaknya manfaat dan tujuan dari diselenggarakannya UASBN PAI, masih
banyak pro dan kontra mengengai patut tidaknya hal ini diselenggarakan dalam
ranah pendidikan. Oleh karenanya, kita sebagai orang-orang yang berkecimpung
dalam dunia pendidikan maupun masyarakat umum diluar sana, hendaknya mampu
selektif dan berfikir ulang atau bahkan mencoba memandang permasalahan ini
dengan dua sisi yang berbeda agar tidak ada perselisihan walau berbeda
pandangan.Selain itu, dengan adanya progam ini guru khususnya dalam bidang PAI
menjadi dituntut agar mampu mengasah peserta didik agar mampu meningkatkan
kualitasnya dalam bidang agama dalam rangka pemenuhan UASBN PAI nantinya.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Wikipedia Bahasa
Indonesia, Ensiklopedia Bebas
·
uasbn/(sumber:JawaPos 14
Mei 2009)
·
Jawa Pos, 14 Mei
2009
·
https://indonesiamengajar.org/cerita-pm/dwi-ramadhan/kacamata-ini-harus-dibersihkan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar