Senin, 22 Mei 2017

Makalah Adzan Iqomah dan Shalat



BAB II
PEMBAHASAN
A. Adzan dan Iqamah
1.   Pengertian dan keutamaan adzan dan iqomah
Adzan merupakan syi’ar agama yang dimaksudkan untuk mengajak dan memberitahukan kepada khalayak bahwa waktu sholat telah tiba, dan shalat berjamaah akan segera dilaksanakan. Perintah untuk mengumandangkan adzan dan iqomah setiap kali kita hendak mendirikan shalat, dan terlebih lagi shalat berjamaah tersiratkan dalam Alquran. Firman Alloh: siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Alloh, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata:”sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (QS. Fushilat (41):33). Ditegaskan dalam hadis dari Malik bin Hawaris. Berkata,Rasululloh bersabda: “Apabila waktu sholat telah tiba, maka salah seorang diantara kamu hendaklah mengumandangkan adzan”.
2.   Etika Adzan dan Iqomah
Adzan dan Iqomah haruslah dilakukan sebaik mungkin, berikut tuntunan yang telah diajarkan rosululloh[1]:
a.       Didasari niat untuk beribadah kepada Alloh
b.      Dilakukan setelah masuk waktu sholat
c.       Dikumandangkan dalam bahasa arab
d.      Bersungguh-sungguh dalam adzan dan iqomah
e.       Adzan hendaklah dilakukan oleh satu orang
f.       Dalam keadaan suci dari hadas dan najis
g.      Dilakukan orang yang sudah baligh
h.      Menjawab adzan dan iqomah
i.        Membaca shalawat setelah adzan
j.        Berdoa setelah adzan
Apabila adzan telah dikumandangkan, selain dianjurkan membaca shalawat atas nabi, kita juga dianjurkan untuk berdoa. Adapun doa yang telah Rasululloh ajarkan setelah mengumandangkan adzan sebagai berikut:
اللهم رب هده الدعوةالتامة, والصلاةالقائمة, ات محمداالوسيلةوالفضيلة, وابعثه مقامامحموداالذيوعدته
Ya Alloh, Tuhan pemilik panggulan yang sempurna (adzan) ini dan sholat wajib yang didirikan. Berilah wasilah (derajat di surga, yang tidak akan diberikan kepada selain kepada Nabi) dan fadilah kepada Muhammad. Dan bangkitkanlah beliau sehingga bisa menempati maqom terpuji yang telah Engkau janjikan.
Sedangkan bagi yang mendengarkan adzan maka hendaknya mengucapkan:
لاحول ولاقوةالابالله
Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Alloh.
Kemudian dilanjutkan dengan bacaan sebagai berikut:
وأناأشهدأن لاإله إلاالله وحده لاشريك له وأشهدأن محمداعبده ورسوله, رضيت بالله ربا, وبمحمدرسولا, وبالإسلامدينا
Dan aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Alloh Yang Maha Esa tiada sekutu bagiNya dan RasulNya. Aku rido kepada Alloh sebagai Tuhan dan Muhammad sebagai Rasul dan Islam sebagai agamaku.
Demikianlah tuntunan Rasululloh berkenaan dengan masalah adzan dan iqomat.
3.   Hukum adzan dan iqomat
Adzan dan iqomat termasuk ritual/syariat dalam islam. Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum keduanya. Sekelompok ulama mengatakan, kedua wajib. Ini adalah pendapat Atha’, Ahmad, Mujahid, dan Daud azh Zhahiri. Jumhur fuqoha mengatakan, keduanya sunnah. Ini adalah pendapat Hanafiah, Syafi’iah dan Malikiah. Sebagian ulama mengatakan, adzan hukumnya fardu kifayah bagi penduduk suatu kampung atau negeri, cukup bagi mereka satu adzan dan ia sunnah disebabkan banyaknya jamaah yang ingin mendirikan shalat lima waktu.Sedangkan iqomah hukunya sunnah bagi setiap jamaah yang ingin mendirikan sholat fardu. Sebagian fuqoha berkata bahwa iqomah wajib hukumnya[2].
Bagi siapa yang tidak sholat dengan berjamaah, ia tidak perlu menyerukan adzan dan iqomah, jika di sekelilingnya tidak ada orang yang mendengar seruan adzannya, jika ada orang yang mendengar, ia boleh adzan bole tidak, akan tetapi sunnah baginya untuk menyerukan iqomat, baik bagi laki laki maupun perempuan. Sebagian fuqoha yang lain mengatakan, bahwa seorang perempuan tidak menyerukan iqomahm sebagaimana ia tidak wajib untuk menyerukan adzan.
4.   Perbedaan-perbedaan pendapat di dalam adzan[3]
Taswib pada adzan subuh
Taswib artinya ucapan:  الصلاةخيرمنالنوم
Dalam adzan subuh disyariatkan dua kali adzan, yaitu adzan awal yang dilakukan sebelum waktu shalat subuh yang fungsinya untuk membangunkan yang masih tidur dan memberikan aba-aba waktu bagi yang sedang salat tahajjud, karena waktu sudah hampir subuh. Dan ini tidak harus di bulan puasa saja.
Sebagian ulama berpendapat taswib itu dilakukan di adzan kedua shalat subuh, berdasarkan alasan berikut:
a.       Hanyasanya adzan awal tidak memakai lafadz; الصلاةخيرمنالنوم dan dilakukan di adzan subuh (al-Sunan wa al Mubtadiat, hal: 49)
b.      Dari Abu Mahdzurah, ia berkata: aku bertanya :” ya Rasululloh, ajarkanlah kepadaku sunnatnya adzan”. Lalu Nabi mengajarkannya seraya bersabda: “Apabila keadaan shalat subuh katakanlah olehmu الصلاةخيرمنالنوم, الله اكبرالله اكبرلااله الاالله, (HR. Ahmad dan Abu Daud; Nailu al-Authar, 2: 50)
Keterangan
Dalam sanad hadis tersebut ada nama Muhammad bin Abdi al-Malik bin Abi Mahdzurah, serta harits bin Ubaid, sedangakn yang pertama tidak dikenal dan orang yang kedua jadi bahan perbincangan (Nailu al-Authar, 2: 50)
Hadis-hadis yang menyatakan bahwa taswib pada adzan awal subuh ialah:
a.       Dari Bilal ra., berkata: “Rasululloh telah memerintah kepadaku untuk tidak bertaswib dalam (adzan) shalat kecuali pada shalat subuh”. (HR. Ahmad; Fathu al-Rabbani, 3:16)
Jelas sudah bahwa adzan bilal itu terjadi pada adzan awal subuh (karena yang biasa adzan subuh ialah Ibnu Umi Maktum)
b.      Dari Abi Mahdzurah ra., ia berkata: “aku suka adzan pada zaman Nabi pada shalat subuh, maka jika aku ucapkan HAYYA ALA AL-FALAH, lalu aku ucapkan ; AL-SHALATU KHOIRUN MIN AL-NAUM, pada adzan awal”. (HR. Ahmad; sanadnya sahih; Fathu al-Rabbani, 3:21)
c.       Menurut hadis Ibnu Huzaimah, dari Anas ia berkata: “Termasuk sunnah nabi apabila seorang muadzin mengucapkan; HAYYA ALA AL-FALAH, di adzan fajar, ia mengucapkan; ASSHALATU KHAIRUN MIN AL-NAUM,  hadis ini telah di sahihkan ibnu al Sakan.
Dalam riwayat nasai, bahwa الصلاةخيرمنالنومpada awal subuh, hadis ini merupakan taqyid (pengikat)terhadap riwayat-riwayat yang mutlak. Maksudnya dalam satu hadis dinyatakan dengan mutlak ialah tanpa menyebut adzan awal, dan dalam hadist ini dinyatakan dengan muqayyad (terikat) dengan sebutan adzan awal. Jadi tentu saja yang kita amalkan itu yang muqayyadnya sesuai dengan qaidah; HAMLU AL-MUTLAQ ALA AL-MUQAYYAD (menarik yang mutlak atas muqayyad).
Kesimpulan
Dari keterangan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa taswib itu di adzan awal, bukan di adzan subuh mengingat;
a.       Ada hadis yang dengan tegas menyatakan bahwa taswib itu di adzan awal.
b.      Bilal suka mengumandangkan taswib sedangkan Bilal adalah muadzin di adzan awal, karena adzan subuh suka dikumandangkan oleh Ibnu Ummi Maktum.
c.       Hadis Abi Mahdzurah yang menyatakan taswib di adzan subuh hadisnya daif dan bertentangan dengan hadis dari Abu Mahdzurah sendiri yang menyatakan taswib di adzan awal yang derajat hadisnya shahih.
d.      Ash San’ani juga dalam kitabnya Subulu as Salam menyimpulkan bahwa disyariatkan taswib itu di adzan awal awal karena fungsi adzan awal itu untuk membangunkan yang masih tidur, sedangkan adzan subuh untuk memmberi tahu waktu shalat dan langsung mengajak shalat subuh.

5.   Adzan dan iqomah di telinga bayi yang baru dilahirkan
Masih banyak umat islam yang mempraktekan adzan untuk bayi yang baru dilahirkan yaitu adzan di telinga kanan dan iqomah di telinga kiri, inilah alasan mereka: termasuk sunnah, adzan pada telinga kanan bayi dan iqomah pada telinga kiri bayi, agar yang pertama kali mengetuk telinganya adalah nama Alloh. (Fiqh Sunnah, 3: 329)
Dasar keterangan :
a.       Dari Abi Rafi’ dia berkata; “Saya melihat rasululloh adzan pada telinga Husain ketika Fatimah melahirkannya”. (HR. Ahmad. Demikian juga Abu Dawud dan Tirmizi dan ia mensahihkannya, dan keduanya (Abu Dawud serta Tirmidzi) mengatakan hasan. Nailu al authar, 5:154)
b.      Ibnu al Sinni telah meriwayatkan hadis yang marfu’ dan Husain bin Ali dengan lafadz : Siapakah yang melahirkan seorang anak, kemudian adzan di telinga kanan dan qamat di telinga kiri, maka ia tidak akan diganggu oleh Ummu as Sibyan”. (Nailu al Authar, 5: 155). Ummu as shibyan adalah gangguan jin.
Penjelasan:
c.       Hadis Abi Rafi’ itu daif, tidak dapat dijadikan hujjah atas dasar: pada sanadnya ada seorang bernama Ashim bin Ubaidillah bin Ashim bin Umar bin Katab. Imam malik mengatakan dia tercela/cacat. Menurut Ibnu Main ia daif hadisnya, serta tidak dapat dijadikan hujjah, juga ia telah diperbincangakan oleh yang lain. Abu Hatim Muhammad al Butsi telah mengkritik riwayat hadis ini, juga yang lainnya. (Tuhfatu al Ahwadzi, 5: 107)
Yang menjadi perbincangan dalam hadis ini ialah Ashim bin Ubaidillah, dia itu daif. Menurut imam Bukhari munkaru al Hadis (Nailu al Authar, 5: 155). Menurut Bukhari: setiap orang yang kami nyatakan munkaru al hadis, maka ia tidak dapat dijadikan hujjah. Dalam ungkapan lain beliau menyatakan “ tidak halal meriwayatkannya”. (Fathu al Mughits, 1: 346).
Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Tabrani dalam al Kabir, dalam sanadnya terdapat seorang yang bernama Hammad bin Syuaib dan dia daif sekali. (Majmau al Zawaid, 4:60). Berkata Ibnu Huzaimah: “Saya tidak berhujjah dengannya karena jelek hafalannya”, demikian diriwayatkan dalam Mizanu al I’tidal. (Tuhfatu al Ahwadzi, 5: 108)
d.      Hadis tersebut diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam sanadnya ada nama Marwan bin Salim al Ghifari, dia itu martuk (ditinggalkan). (Majmau al Zawaid). Menurut pengarang kitab Tuhfatu al Azwadi, imam Nawawi telah mengatakan dalam Syarah Jamiu al Shagiri, sanad hadis itu daif.
Kesimpulan:
Dari keterangan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa:
a)      Adzan itu hanya disyariatkan untuk sholat, itupun tidak semua shalat tetapi hanya untuk shalat fardu saja.
b)      Hadis-hadis yang menganjurkan adzan karena kelahiran bayi tidak ada yang sahih.
Membaca shalawat kepada Nabi Saw setelah adzan
a.       Dari ‘Abdillah bin Umar ra., sesungguhnya ia mendengar Nabi Saw  bersabda: “apabila kamu mendengar adzan, maka ucapkanlah seperti yang diucapkan muadzin , kemudian becalah shalawat atasku, karena siapa yang membacakan shalawat atasku Alloh pasti memberinya rahmat sepuluh. Kemudian mintalah kepadaku wasilah, ialah tempat di surga yang tidak layak kecuali untuk seorang hamba Alloh, dan aku berharap meraihnya. Maka siapa yang memintakan wasilah untukku, ia pasti mendapatkan syafaatku”. (HR. Jamaah, kecuali Bukhari dan Ibnu Majah; Nailu al Authar, 2: 61)
b.      Adapun membaca shalawat atas Nabi Saw., dengan suara yang keras seperti adzan sampai orang-orang yang bodoh beranggapan bahwa itu termasuk lafadz adzan, maka cara ini adalah bidah yang jelek. Orang yang pertama kali mengadakannya ialah Raja Shalif Najmuddin bin Yusuf pada akhir abad keenam. Padahal sebaik baik petunjuk ialah petunjuk Nabi, kemudian Salafu as Shalih. (ta’liq bulughul mahram, hal: 41)
Kesimpulan:
Dari keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa:
1.      Orang yang mendengarkan adzan diperintahkan untuk mengucapkan sebagaimana yang diucapkan muadzin.
2.      Setelah selesai adzan dianjurkan untuk berdoa dan membaca shalawat kepada Nabi.
3.      Membaca shalawat kepada Nabi hendaklah dengan suara perlahan sebagaimana diwaktu berdoa, jangan dengan suara keras apalagi dinyanyikan.

B.  Syarat-Syarat Shalat
1.      Mengetahui telah masuk waktu (mengerjakan sholat setelah diketahui bahwa waktunya telah masuk)
Dalam soal ini dicukupi dengan kemampuan mengira-ngira. Maka apabila telah meyakini  atau telah berat persangkaan bahwa waktu telah masuk dibolehan kita shalat.
2.      Suci dari hadats besar
Syarat-syarat ini ditunjukkan oleh kitabullah, sunah rosul dan ijma’ .
3.      Suci badan, pakaian dan tempat yang kita bershalat dari najasah hissiyah.
Jika kita tidak sanggup mengilangkannya, hendaklah kita bershalat juga dalam keadaan bernajasah itu dengan tidak perlu mengulangi lagi shalat itu.
Apabila kita mengetahui najasah dipertengahan shalat, hendaklah kita menghilangkannya, kemudian kita meneruskan shalat itu dengan tidak memulainya lagi dari permulaan (mengulangi mengerjakannya)
Apabila seseorang bershalat sedangkan dibadannya ada najasah, dengan sengaja tidak membersihkannya maka berartilah dia meninggalkan suatu yang wajib, walaupun shalatnya sah.
4.      Menutupi aurat
a.       Aurat laki-laki
Aurat yang disepakati wajib ditutupi oleh orang laki-laki diwaktu bershalat ialag qubul dan dubur ( kemaluan dan dubur). Adapun yang selain demikian itu, yaitu paha, pusar dan lutut diperselisihkan oleh para ulama’. Perbedaannya, ada yang mengatakannyaaurat dan ada pula ada yang mengatakan bukan.
b.      Aurat wanita
Aurat wanita didalam shalat menurut jumhur ulama: “ seluruh badannya selain dari muka dan dua telapak tangannya”
c.       Menghadap kiblat
Wajib menghadap Al Masjidil Haram dikala bershalat
C. Rukun Shalat
Kata arkan adalah bentuk plural dari kata rukn, menurut arti bahasa berarti sisi yang kuat, merujuk pada firman Allah SWT dalam menceritakan Nabi Luth as:
أَوْءَاوِى إِلَىرُكْنٍ شَدِيْدٍ
Atau kala aku dapat berlindung kepada keluarg ayang kuat (tentu aku lakukan)(QS. Hud:80)
Sedangkan menurut terminologi rukn berarti sesuatu yang menjadi bagian dari sesuatu yang lain dan keabsahannya bergantung pada sesuatu tersebut.[4]
Dalam shalat terdapat hal-hal yang bersifat fardhu dan rukun yang menjadi syarat sahnya shalat, sehingga apabila salah satu rukun ini tertinggal karena sengaja, lupa, atau tidak tahu, maka shalatnya menjadi batal.[5]
Rukun Shalat diantaranya meliputi:
1.        Niat
Niat secara etimologi berarti menyengaja. Menurut terminology, niat adalah menyengaja suatu perbuatan karena mengikuti perintah Allah supaya diridhoi-Nya.[6] Menurut ulama Maliki dan Syafi’i niat termasuk dalam rukun shalat, tetapi menurut golongan Hanbali dan Hanafi, niat adalah syarat.[7]
2.        Takbiratul Ikhram
Shalat tidak akan sempurna tanpa takbiratul ihram. Nama takbiratul ihram ini berdasarkan pada sabda Nabi Muhammad SAW ;“Kunci shalat adalah bersuci, dan yang mengharamkannya (dari perbuatan sesuatu selain perbuatan shalat) adalah takbir dan penghabisannya adalah salam” (HR. Ahmad)[8]
Takbiratul ihram adalah ucapan Allahu Akbar. Menurut Maliki, Hambali dan Syafi’I, tidak boleh diganti dengan lafadhz lain namun boleh berubah jika akbar-Nya hanya ditambah “al” (dengan memakai alif dan lam menjadi Allah al-Akbar / Allah al-Akbar). Dan Hanafi berpendapat boleh diganti dengan kata lain yang sesuai atau yang sama artinya dengan kata-kata tersebut. Seperti “Allahu al-A’dzam” dan “Allahu al-Jalil”.[9]
3.        Berdiri
Seluruh madzhab telah sepakat bahwa berdiri bagi yang mampu/kuat berdiri dalam sholat wajib adalah termasuk rukun. Maka orang tidak kuasa berdiri boleh shalat sambil duduk, kalau tidak kuasa duduk maka boleh dengan berbaring, dan kalau tidak kuasa berbaring boleh dengan melentang, dan kalau masih tidak kuasa juga maka shalatlah dengan sebisanya, sekalipun dengan isyarat. Yang penting shalat tidak ditinggalkan selama nyawa dan iman masih ada. Pada shalat fardhu diwajibkan berdiri karena berdiri adalah rukunnya sholat. Tetapi pada shlat sunnat berdiri itu tidak menjadi rukun.[10]
Allah SWT berfirman: ”Peliharalah shalat-shalat (kalian), dan (peliharalah) shalat wustha. Berdirilah untuk Allah (dalam shalat kalian) dengan khusyu.” (QS. Al-Baqarah : 238). Dan sabda Rasulullah SAW kepada ‘Imran bin Husain ketika bertanya kepada beliau sedang ia menderita penyakit bawasir: “Salatlah dengan berdiri, jika tidak mampu maka sambil duduk, dan jika tidak mampu juga maka sambil berbaring miring. (HR Bukhari)
4.        Membaca surah Al-Fatihah pada setiap rakaat
Dari Ubadah bin Shamit, bahwa Rasulullah bersabda:”Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca Al-Fatihah.”[11] Ini adalah pendapat mayoritas ulama, berseberangan dengan pendapat kalangan ulama mahdzab Hanafi yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah mutlaknya bacaan yang berasal dari al-Qur’an, jadi bukan hanya dikhususkan pada bacaan Al-Fatihah. Sesuai al-Qur’an surat Muzammil ayat 20, “Bacalah apa yang mudah bagimu dari al-Qur’an”. Membaca al-Fatihah hanya diwajibkan pada dua rakaat pertama saja. Boleh meninggalkan basmalah karena ia tidak termasuk bagian dari surat.[12]
Pembacaan surat al-Fatihah harus benar dan terdengar, dan yang paling utama adalah dapat terdengar oleh dirinya sendiri jika ia tidak berposisi sebagai imam. Adapun bagi yang tidak mampu seperti orang yang tidak bisa membaca dan bisu, maka ia tidak wajib membacanya, melainkan cukup berdiri dan diam saja, disunahkan berdzikir dan mengikuti orang yanng bacaannya bagus. Sedangkan orang yang mampu membaca dengan baik satu ayat atau beberapa ayat al-Fatihah atau selain dari surat al-fatihah maka ia boleh mengulang-ulang bacannya tersebut. Jika ia memang tidak mampu membaca al-Qur’an dengan baik sama sekali, maka ia cukup mengucapkan takbir, membaca tahlil, dan membaca tasbih, sebagaimana hadis narasi Rifa’ah bin Rafi’ bahwasanya Rasulullah SAW pernah bersabda pada orang yang buruk shalatnya:”Jika kau memiliki hafalan Al-Qur’an maka bacalah. Jika tidak maka pujilah Allah, bacalah takbir, dan tahmid kepada-Nya, keimudian ruku’.[13]
Bacaan al-Fatihah juga disyaratkan harus berbahasa Arab dan tidak diperbolehkan membaca dengan menggunakan bahasa selain bahasa arab, meskipun di luar shalat. Jika membaca dengan selain bahasa arab, maka shalatnya batal, karena Nabi tidak pernah membaca al-Qur’an selain dengan bahasa arab dan hal tersebut juga tidak pernah dilansir dari para sahabat. Allah SWT berfirman: “(ialah) al-Qur’an dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan (di dalamnya) supaya mereka bertakwa (QS. Az-Zumar: 28)juga dalam QS. Asy-Syu’ara: 195. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.[14]
5.        Ruku’
Semua Ulama sepakat bahwa ruku’ adalah wajib dilakukan di dalam shalat. Namun mereka berbeda pendapat tantang wajib atau tidaknya berthuma’ninah di dalam ruku’, yakni ketika ruku’ semua anggota badan harus diam. Imam Hanafi: yang mewajibkan semata-mata membungkukkan badan dengan lurus dan tidak wajib thuma’ninah. Madzhab-madzhab yang lain: wajib membungkuk sampai dua telapak tangan orang yang shalat itu berada pada dua lututnya dan diwajibkan berthuma’ninah dan tidak bergerak ketika ruku’.[15]
Perintah ruku’ Sebagaimana firman Allah ”Wahai orang-orang yang beriman, ruku’lah dan sujudlah kalian.” (QS. Al-Hajj : 77)
Diriwayatkan dari Abu Mas‟ud Al-Anshari Al-Badri y ia berkata, Rasulullah bersabda; ”Tidak sah shalat seorang yang tidak menegakkan punggung di dalam ruku‟ dan sujud.”[16]
     Ruku’ ini dilakukan dengan tuma’ninah, artinya berhenti dengan tenang setelah berdiri. Namun menurut ulama Hanafi tuma’ninah bukanlah termasuk rukun, ia hanya merupakan salah satu wajib-wajibnya saja.[17]
6.        Bngkit dari ruku’ dan berdiri tegak (i’tidal) dengan tuma’ninah
Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda terhadap orang yang buruk shalatnya; ”Kemudian bangunlah hingga engkau tuma‟ninah (di dalam) berdiri i‟tidal tersebut).[18] Atau dari Aisyah: Nabi bila mengangkat kepalanya dari ruku’ beliau tidak sujud sebelum tegak lebih dulu (HR Muslim)[19]
Imam Hanafi: tidak wajib mengangkat kepala dari ruku’ yakni I’tidal dan dibolehkan untuk langsung sujud, namun hal itu makruh. Madzhab-madzhab lain; wajib mengangkat kepalanya dan ber’itidal serta disunnahkan membaca tasmi’ , yaitu mengucapkan “samiallahu liman hamidah”.[20]
7.        Sujud
Diriwayatkan dari Ibnu ‟Abbas, ia berkata, Rasulullah bersabda; ”Tidak (sempurna) shalat seseorang yang tidak menempelkan hidungnya ke tanah (ketika sujud), (seperti) ia menempelkan dahi(nya ke lantai).”[21] Anggota sujud ada tujuh, sebagaimana hadits dari Ibnu ‟Abbas ia berkata, bahwa Nabi bersabda; ”Aku diperintahkan untuk bersujud di atas tujuh tulang; dahi –beliau juga berisyarat dengan tangannya ke hidungnya,- kedua (telapak) tangan, kedua (lutut) kaki, serta ujung jari-jemari kaki.”[22]
Semua Ulama mazhab sepakat bahwa sujud itu wajib dilakukan dua kali pada setiap rakaat. Mereka berbeda pendapat tentang batasnya. Apakah yang menempel itu semua anggota yang tujuh (dahi, dua telapak tangan, dua lutut dan dua ujung jari kaki) atau hanya sebagian. Imam Syafi’I, Maliki dan Hanafi: yang wajib menempel hanya dahi, sedangkan yang lainnya adalah sunnah. Namun Hanafi berpendapat yang wajib dalah dahi atau hidung. Hambali : yang diwajibkan itu semua anggota yang tujuh secara sempurna, bahkan Hambali menambah hidung, sehingga menjadi delapan. Ulama empat mazhab pun berbeda pendapat dalam hal apakah kedua telapak tangan wajib dibuka saat sujud seperti dahi dan hidung. Mazhad Hanafi dan Hambali berpendapat tidak wajib. Sedangkan mazhab Maliki berpendapat wajib. Adapun mazhab Syafi’I ada dua pendapat (wajib dan tidak), namun yang paling shahih dari mazhab Syafi’I adalah yang berpendapat wajib.[23]
8.        Duduk diantara dua sujud dengan tuma’ninah
Berdasarkan hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah a bersabda terhadap orang yang buruk shalatnya; ”Kemudian angkatlah hingga engkau duduk (diantara dua sujud) dengan tuma‟ninah.”[24]
Ulama empat mazhab telah sepakat bahwa duduk diantara dua sujud adalah masyru’ (disyariatkan dalam shalat), namun mereka berbeda tentang hukumnya; apakah wajib atau tidak. Imam Malik berpendapat sunnah. Adapun mazhab Syafi’I dan imam Ahmad dan Abu Hanifah berpendapat wajib, hanya saja Abu Hanifah tidak mensyaratkan harus lurus tegak duduk (cukup dengan setengah duduk yang condong pada duduk; tidak condong pada sujud).[25]
9.        Duduk terakhir selama membaca tasyahud
Duduk akhir yang dimaksud yaitu duduk di akhir shalat meskipun tidak didahului oleh duduk pertama seperti shalat yang dua rakaat, duduk akhir merupakan salah satu fardhu shalat menurut kesepakatan ulama (ijma’), karena tanpa adanya duduk akhir, tidak dapat dibayangkan adanya tasyahud dan salam. Para ulama berselisih pendapat dalam menentukan ukuran duduk akhir, apakah kira-kira kadar dua kali salam, ataukah kira-kira kadar membaca tasyahud dan membaca shalawat, ataukah kira-kira kadar bacaan tasyahud dan dua salam. Kadar terakhir inilah yang dirajihkan karena Nabi Muhammad SAW terbiasa dengan hal tersebut dan beliau bersabda: “Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat”. Ini adalah pendapat yang dinyatakan oleh kalangan ulama mahdzab Hanbali.[26]
Adapun yang menyatakan bahwa tahiyat di dalam shalat dibagi menjadi dua bagian. Pertama yaitu tahiyat yang terjadi setelah dua rakaat yang pertama dari shalat magrib dan isya’, dhuhur dan ashar dan tidak di akhiri dengan salam. Yang kedua adalah tahiyat yang di akhiri dengan salam, baik pada shalat yang dua rakaat, tiga atau empat rakaat. Imam Hambali: tahiyat yang pertama itu wajib. Mazhab-mazhab lain: hanya sunnah, bukan wajib. Imam Syafi’I, Hambali: tahiyat yang akhir adalah wajib sedangkan menurut Maliki dan Hanafi hanya sunnah, bukan wajib.[27]
10.    Membaca tasyahud akhir
Dalil kefardhuan tasyahud adalah bahwa Nabi SAW selalu melakukannya dan terus-menerus membiasakannya. Ibnu Mas’ud berkata: sebelum difardhukannya tasyahud, kami biasa membaca dalam shalat : Assalamu ‘ala Allah. Assalamu ‘ala Jibril wa Mikail. Rasulullah bersabda: “Jangan ucapkan demikian, sebab Allah adalah Sang Maha Salam (Damai), akan tetapi ucapkanlah: At-tahiyyat wa ash-shalawat wa aththayyibat.[28]
Bacaan tasyahud yang paling sempurna adalah versi Ibnu Abbas, ia bertutur: Rasulullah SAW mengajari kami tasyahud sebagaimana beliau mengajari kami al-Qur’an. Beliau berucap: Attahiyyatul mubarokattushalawat tuthayyibatulillah dan seterusnya. An-Nawawi: Imam Syafi’i dan sebagian murid Imam Malik mengatakan bahwa bacaan tasyahud versi ibnu Abbas adalah yang paling afdhal, karena ada tambahan kata “al-mubarokat” sesuai dengan firman Allah SWT: Tahiyyatan min’indillahi mubarakatantoyyibah (QS. An-Nur:61)[29]
Ulama empat mazhab telah sepakat bahwa membaca do’a tasyahud akhir adalah disyariatkan dalam shalat, namun mereka berbeda pendapat dalam hal apakah wajib atau tidak. Mazhab Hanafi dan Maliki berpendapat sunnah, sedangkan mazhab Syafi’I dan Hambali berpendapat wajib.
11.    Membaca shalawat atas nabi dalam tasyahud akhir
Bacaan shalawat Nabi, adalah :”Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau melimpahkan shalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia. Ya Allah, limpahkanlah keberkahan kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau melimpahkan keberkahan kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.”[30]
Para ulama empat mazhab telah sepakat bahwa bershalawat pada Nabi Muhammad di do’a tasyahud akhir adalah masyru’ (disyariatkan). Waktu membacanya ialah ketika duduk akhir sesudah membaca tasyahud akhir. Namun mereka berbeda pendapat dalam hal kefardhuannya. Mazhab Maliki dan Hanafi berpendapat tidak wajib (hanya sunnah) sedangkan mazhab Syafi’I dan Hambali berpendapat wajib. Adapun membaca shalawat atas keluarga beliau menurut Syafi’I tidak wajib, melainkan sunnah, namun sebagian Ulama mazhab Syafi’I ada yang mewajibkannya. Adapun menurut mazhab Hambali adalah afdhol (lebih baik) jika juga bershalawat pada keluarga beliau.[31]
12.    Membaca salam
Jumhur ulama‟ berpendapat bahwa ucapan salam yang termasuk rukun shalat adalah salam yang pertama saja. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari „Ali ia berkata, Rasulullah bersabda;”Kunci shalat adalah bersuci. Pengharamnya adalah takbir dan penghalalnya adalah salam.” Mereka telah sepakat bahwa salam dimasyru’kan dalam shalat, namun mereka berbeda pendapat dalam empat hal, yaitu tentang berapa jumlah salam, mana salam yang wajib, apakah salam termasuk bagian fari shalat atau sudah keluar dari shalat, dan apakah wajib niat keluar dari shalat saat mengucapkan salam.
Bilangan salam adalah dua kali menurut mazhab Hanafi, Syafi’I dan Hambali. Sedangkan menurut mazhab Maliki, bilangan salam adalah satu bagi imam shalat atau orang yang shalat sendirian, namun bagi makmum ada tiga salam, yaitu selam ke kanan, lalu ke kiri dan kemudian lurus kedepan sebagai jawab bagi salamnya imam.
Dan hukum mengucapkan salam menurut imam Syafi’I, Maliki dan Hambali adalah wajib sedangkan Hanafi tidak wajib.sedangkan bilangan salam yang wajib, menurut Imam Hambali wajib mengucapkan salam dua kali, sedangkan Imam-imam yang lain hanya mencukupkan satu kali saja yang wajib. Mazhab Maliki, Syafi’I dan Hambali berpendapat bahwa salam salam termasuk dalam shalat, sedangkan mazhab Hanafi berpendapat sebaliknya (salam bukan termasuk bagian dari ibadah shalat).
Mazhab Maliki, Hambali dan sebagian besar Syafi’iyah berpendapat wajib hukumnya niat keluar dari shalat saat salam. Sedangkan mazhab Hanafi dan sebagian Ulama Syafi’iyah berpendapat tidak wajib, dan niat keluar dari shalat itu tidak perlu diniatkan, tapi cukup dengan melakukan sesuatu yang membatalkan shalat setelah salam, maka sudah termasuk keluar dari shalat.[32]
13.    Menertibkan rukun-rukun shalat
Hal ini karena Rasulullah melakukan rukun-rukun shalat dengan tertib, dan beliau bersabda; “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”[33] Dan juga hadits musi‟ (orang yang buruk shalatnya), yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata; ”Rasulullah masuk masjid, lalu ada seorang laki-laki yang masuk (masjid) dan shalat. Kemudian ia datang memberi salam kepada Rasulullah. Rasulullah menjawab salamnya dan bersabda, ”Kembalilah ulangi shalatmu, karena engkau belum shalat.” Maka orang tersebut melakukan shalat lagi seperti shalatnya yang sebelumnya. Kemudian ia datang menemui Nabi dan memberi salam (kepada beliau). Rasulullah bersabda, ”Wa‟alaikas Salam (bagimu keselamatan), Kembalilah ulangi shalatmu, karena engkau belum shalat.” Sampai ia melakukannya sebanyak tiga kali. Maka orang tersebut berkata, ”Demi yang telah mengutusmu dengan (membawa) kebenaran, aku tidak dapat melakukan yang lebih baik selain ini, (maka) ajarilah aku.” Rasulullah bersabda, ”Jika engkau berdiri mengerjakan shalat maka bertakbirlah, kemudian bacalah (ayat) Al-Qur‟an yang mudah bagimu, lalu ruku‟lah hingga engkau tenang (tu‟maninah) dalam ruku‟, kemudian bangunlah hingga engkau tegak berdiri, lalu sujudlah hingga engkau tenang dalam sujud, kemudian bangunlah hingga engkau tenang dalam duduk. Lakukanlah yang demikian itu dalam semua shalatmu.[34]
D. Sunnah dalam Shalat
Shalat memiliki beberapa kesunnahan yang sebaiknya dipelihara dan diperhatikan agar shalatnya menjadi sempurna dan berbuah pahala. Sunah-sunah ini tidak wajib dilakukan dalam shalat, namun orang yang melakukanya maka ia akan mendapat tambahan pahala. Sedang orang yang meninggalkanya tidak berdosa sebagaimana sunah-sunah lainya. Adapun sunah sunah shalat terbagi menjadi dua bagian[35] :
1.      Sunah Ab’adh
Sunah Ab’adh adalah amalan amalan dalam sholat yang sangat dituntut, jika ditinggalkan dengan sengaja atau tidak, disunatkan sujud sahwi
a.       Membaca tasyahud awal (kesatu)
b.      Duduk di saat tasyahud awal
c.       Membaca shalawat atas Nabi saw pada tasyahud awal
d.      Membaca shalawat atas keluarganya pada tasyahhud awal
e.       Membaca do’a qunut yaitu membacanya sewaktu bangkit (berdiri) dari ruku pada raka’at kedua di shalat subuh
f.       Membaca shalawat atas Rasulallah saw dan keluarganya sebagai penutup do’a qunut pada shalat subuh.
Untuk huruf e dan f itu mengalami perbedaan pendapat, ada beberapa ulama yang telah menganjurkan qunut subuh, bahkan ada yang menganggapnya sebagai sunah ab’ad, yang apabila ditinggalkan harus sujud sahwi. Adapaun pendapat yang mengharuskan qunut subuh adalah[36]
عن ابى هريرة قال كان رسول الله ص اذا رفع راءسه من الركوع فى الصلاة الصبح فى الركعة الثانية رفع يديه فيدعو بهذا الدعا اللهم اهد نى فيمن هديت الخز –رواه الحاكم وصححه
·         “dari abu hurairah ra, ia berkata adalah rasulullah SAW apabila mengangkat kepalanya dari ruku pada shaat subuh dirakaat kedua, ia mengangkat tanganya seraya berdoa .. ALLAHUMMA IHDINI FIMAN HADAYTA…sampai akhir (HR hakim dan disahihkanya)

Adapun dalil yang menunjukan tidak disyariatkan qunut subuh kecuali qunut nazilah adalah sebagai berikut:
رواه ابن حباان والخطيب وانب خزيمة عن اس ان النبي ص كان لاييقنت في الصلاة الصبح الا اذا دعا لقوم او دعا على قوم-فقه سنة-
·         Ibnu hibban dan al khatib dan ibnu khuzaimah telah meriwayatan dari anas, bahwa nabi SAW tidak qunut pada shalat subuh, kecuali mendoakan keselamat untuk satu kaum atau mendoakan kecelakaan untuk mereka.
2.    Sunah Haiat
Sunah Haiat adalah amalan amalan sunat dalam sholat, jika ditinggalkan dengan sengaja atau tidak , tidak disunatkan sujud sahwi. Sunah haiat ini sangat dianjurkan untuk dikerjakan agar menambah banyak pahala. Sunah-sunah tersebut di antaranya[37]:
a.    Mengangkat kedua tangan sejajar dengan bahu ketika bertakbiratul ihram, ketika akan ruku, ketika bangkit dari ruku, ketika berdiri setelah tasyahud awal.
عَنْ ابْنِ عُمَر رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلاةَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ
، وَإِذَا كَبَّرَ لِلرُّكُوعِ ، وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ رَفَعَهُمَا كَذَلِكَ (رواه الشيخان)
Sesuai dengan hadits dari Ibnu Umar ra, “Bahwasanya Nabi saw apabila beliau melaksanakan shalat, beliau mengangkat kedua tangannya sampai sejajar dengan kedua bahu beliau, kemudian membaca takbir. Apabila beliau ingin ruku, beliau pun mengangkat kedua tangannya seperti itu, dan begitu pula kalau beliau bangkit dari ruku” (HR Bukhari Muslim).

b.   Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di bawah dada dan di atas pusar. Hal ini . berdasarkan hadist:
عَنْ وَائِل بِنْ حِجْر رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : صَلَّيْت مَعَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَضَعَ يَده الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى
عَلَى صَدْرِهِ (ابن حزيمة في صحيحه)
Dari Wail bin Hijr ra, “Saya pernah salat bersama Nabi saw, kemudian beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kiri di atas dadanya” (HR Ibnu Huzaimah dalam shahih-nya)
c.       Membaca do’a iftitah dilakukan sebelum membaca ta’awwudh (‘Audzubillahi minas syaitonir rajim),
d.      Membaca ta’awwudh (A’udzubillaahi minasy syaithoonirojiim) sebelum membaca surat al-Fatihah dengan perlahan-lahan. Firman Allah,
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ – النحل ﴿٩٨
  Artinya: “Maka apabila kamu membaca Al-quran, maka hendaklah kamu memohon perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.” (Qs An-Nahl ayat: 98)
e.       Membaca amin (aamiin) setelah membaca surat al-Fatihah. Hal ini disunahkan kepada setiap orang yang shalat, baik sebagai imam maupun makmum jika mendengar bacaan imamnya atau shalat sendirian.
f.       Membaca sesuatu dari ayat al-Qur’an setelah membaca surat al-Fatihah pada shalat Subuh atau shalat-shalat lainya. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah saw
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الظُّهْرِ : وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى ، وَفِي
 الْعَصْرِ نَحْوَ ذَلِكَ ، وَفِي الصُّبْحِ بِأَطْوَلَ مِنْ ذَلِكَ (رواه الشيخان)
Dari Jabir bin Samrah ra, “Rasulullah saw ketika shalat Duhur membaca surat “Wallaili idza yaghsya”, dan pada shalat Ashar sama seperti itu panjangnya, dan pada shalat subuh membaca surat lebih panjang dari itu” (HR Bukhari Muslim).
g.      Memperpanjang raka’at pertama dari raka’at yang kedua.
Sesuai dengan hadits dari Abu Qatadah ra, ia berkata: Nabi saw pernah membaca dalam dua rakaat pertama pada shalat dzuhur surat al-Fatihah dan dua surat. Beliau membaca surat yang panjang pada raka’at pertama dan membaca surat yang pendek pada raka’at kedua, dan kadang-kadang memperdengarkan kepada kami dalam membaca ayat. Dan beliau membaca pada shalat ashar surat Fatihah dan dua surat, beliau membaca surat yang panjang pada raka’at pertama dan surat yang pendek pada raka’at kedua, begitu pula beliau membaca surat yang panjang pada raka’at pertama pada shalat subuh dan membaca surat pendek pada raka’at yang kedua” (HR. Bukhari)

h.      Mengeraskan bacaan Al-Fatihah dan surat pada waktu shalat jahriah (yang dikeraskan bacaannya). Yaitu mengeraskan suara pada kedua raka’at shalat subuh, dan dua rakaat yang pertama pada shalat Magrib dan Isya, dan kedua raka’at shalat Jumat.. Hal ini disunahkan bagi imam dan bagi yang shalat sendiri.
i.        Merendahkan suara pada shalat yang dipelankan bacaannya (sirriah), yaitu pada shalat dzuhur, ashar, dan di raka’at ketiga pada shalat maghrib, dan di raka’at ketiga dan keempat pada shalat isya. (mengikuti perbuatan salaf)
j.        Merenggangkan kedua tangan dari lambung saat sujud dan ruku.
k.      Bertasbih pada waktu ruku dan sujud. Yaitu membaca “Subhana Rabbiyal ‘adzim” waktu ruku dan membaca: ” Subhana rabbiyal ‘ala”.waktu sujud.
l.        Membaca “sami’allahu liman hamidah” sewaktu bangkit dari ruku’. Sesuai dengan hadist:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ قَالَ: رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ مِلْءُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، وَمِلْءُ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ، أَهْلَ الثَّنَاءِ وَالْمَجْدِ، أَحَقُّ مَا قَالَ الْعَبْدُ، وَكُلُّنَا لَكَ  عَبْدٌ: اللهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ (رواه مسلم)
Dari Abu Sa’id al-Khudhri, ia berkata: sesungguhnya Rasulallah saw jika bangkit dari rukunya membaca: “Pujian sepenuh langit, pujian sepenuh bumi, pujian sepenuh antara keduanya dan pujian sepenuh apa saja yang Engkau kehendakinya setelah itu. Pemilik segala sanjungan dan pujian, sepantasnya apa yang dikatakan seorang hamba dan kita semua hamba bagiMu. Ya Allah tidak ada Dzat yang mampu menghalangi terhadap orang yang Engkau berikan se­suatu kepadanya. Dan tidak ada Dzat yang mampu mem­berikan sesuatu kepada orang yang Engkau halangi. Dan tiada berguna orang yang mempunyai keberuntungan di hadapan keberuntungan dari pada-Mu”. (HR Muslim)
m.    Mendahulukan kedua lutut kemudian kedua tangan, hidung, dan kening jika hendak sujud.
عَنْ وَائِلٍ ابْنِ حِجْر رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ وَضَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ
(حسن أبو داود و الترمذي و النسائي)
Dari Wail bin Hijr ra, ia berkata: “Saya melihat Nabi saw sujud, ia meletakan kedua lututnya sebelum kedua tangannya” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasai’)
n.      Iftirasy yaitu duduk diatas tumit kaki pada setiap duduk setelah sujud dan pada tasyahud awal kecuali pada tasyahud akhir maka disunahkan duduk tawarruk yaitu memasukan kaki kiri ke kaki kanan dengan posisi di atas paha.
o.      Do’a ketika duduk antara dua sujud.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَانَ يَقُوْلُ بَيْنَ السَجْدَتَيْنِ رَبّ اغْفِرْ لِي وارْحَمْنِي واجْبُرْنِي وَارْفَعْنِي وَارْزُقْنِي وَاهْدِني‏ (أبو داود و الترمذي و الحاكم بإسناد جيد)
Sesuai dengan yang diajarkan Nabi saw dalam haditsnya yang diriwayatkan dari Ibnu Umar ra, ia berkata: “Sesungguhnya Rasulallah saw berdo’a antara dua sujud: “Rabbighfirli warhamni wajburni warfa’ni warzuqni wahdini wa’afini”
p.      Duduk istirahat yaitu duduk sebentar setelah bangun dari sujud yang kedua dalam raka’at pertama dan raka’at ketiga. Dalam hal ini terjadi perselisihan paham[38], ada yang menyatakan bahwa duduk istirahat itu disyariatkan oleh nabi ada juga yang tidak, adapun dalil yang menunjukan disyari’atkanya duduk istirahat  menurut imam syafi’i:
عَنْ مَالِكٍ بْنِ الحُوَيْرِثِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ إذَا كَانَ فِي الرَكْعَةِ الْأُولَى وَالثَّالِثَةُ َمْ يَنْهَضْ حَتَّى يَسْتَوِيَ قَاعِدًا (رواه البخاري)
Dari Malik bin al-Huwairist ra ia berkata: “Sesungguhnya Rasulallah saw (setelah bangun dari sujud) pada raka’at pertama dan ketiga, beliau tidak langsung berdiri kecuali duduk sempurna (sembentar)” (HR Bukhari)
Adapun pendapat lain yang menyatakan tidak disyariatkanya duduk istirahat adalah sebahai berikut: “ menurut imam malik, hanafi, ahmad ialah duduk tersebut tidak disyariatkan. Dan yang jelas nabi melakukan hal tersebut disaat nabi tua dan lemah badanya” (bulughul maram hal 61)
q.      Membaca do’a setelah tasyahud akhir sebelum salam
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ
Artinya: “Ya Allah, Sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari siksaan kubur, siksa neraka Jahanam, fitnah kehidupan dan kematian, serta dari kejahatan fitnah Almasih Dajjal”
r.        Memberi salam dengan memalingkan kepalanya ke kiri dan kanan
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ خَدِّهِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ (حسن صحيح أبو داود والترمذي)
Dari Abdullah ra, ia berkata: sesungguhnya Rasulallah saw memberi salam ke kiri dan ke kanan sehingga terlihat pipi beliau yang putih ”Assalamu ’alaikum warahmatullh, assalamu ’alikum wa rahmatallah” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, hadist hasan shahih)
s.       Salam kedua itu sunah. Salam pertama di dalam shalat termasuk rukun shalat yang tidak boleh ditinggalkan. Jika seseorang buang angin, misalnya sebelum salam pertama sempurna selesai, maka shalatnya batal. Hal ini berbeda dengan salam kedua. Sebab salam kedua masuk ke kategori sunah-sunah shalat, bukan rukunnya. Jika tertinggal, maka shalatnya tidaklah batal. [islamnya muslim]
E.  Macam-Macam Shalat Sunnah
Macam-Macam Shalat Sunnah
1.      Shalat ‘Id
Shalat ‘id atau shalat hari raya hukumnya adalah sunnah muakkad karena Rasulullah tetap melakukan shalat ‘id selama beliau hidup. Shalat ‘id ada 2, yaitu:
a.       Shalat Sunnah Idul Fitri
b.      Shalat Sunnah Idul Adha
Dasar hukum:
Firman Allah swt
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ [١٠٨:٢]
“ Maka dirikanlah shalat; dan berkurbanlah” (Alkautsar/108:2)
Dari Ibnu Abbas, “ sesungguhnya Nabi saw shalat hari raya 2 rakaat. Beliau tidak shalat sebelum dan sesudahnya.”
Tempat shalat ‘id yang lebih baik adalah di tanah lapang, kecuali kalau ada halangan seperti hujan dan sebagainya. Alamah Ibnul Qayyim berkata, “biasanya Rasulullah saw. Melakukan shalat dua hari raya pada tempat yang dinamakan mushalla[39]. Beliau tidak pernah shalat ‘id di masjid kecuali satu kali, yaitu ketika mereka kehujanan.” Apalagi ketika dipandang dari sudut keadaan shalat hari raya itu untuk syiar agama, maka lebih baik dilaksanakan ditanah lapang.
Sebagian ulama berpendapat, “lebih baik di masjid sebab masjid adalah tempat yang mulia.”
2.      Shalat Tarawih
Shalat tarawih ialah salat malam pada bulan Ramadhan, hukumnya sunah muakkad, boleh dikerjakan munfarid ataupun berjamaah. Waktunya yaitu sesudah shalat isya dan sampai terbit fajar.
Dasar hukum:
“Abu Hurairah telah menceritakan bahwasanya Nabi Saw. selalu menganjurkan untuk melakukan qiyam dibulan Ramadhan, tetapi tidak memerintahkan mereka dengan perintah yang tegas (wajib). Untuk itu beliau bersabda ‘Barang siapa mengerjakan salat (sunnah di malam hari) bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala (Allah), niscaya doa-doanya yang terdahulu diampuni.’ ”(HR. Bukhari dan Muslim)
Jumlah rakaat shalat tarawih:
Menurut riwayat ahli hadist, Rasulullah tiga kali shalat di masjid bersama-sama dengan orang banyak, yaitu pada malam tanggal 23, 25, dan 27 Ramadhan. Jumlah rakaat yang ia kerjakan bersama-sama adalah delapan rakaat.
 Dari Jabir “Sesungguhnya Nabi saw. telah shalat bersama-sama mereka delapan rakaat, kemudian beliau shalat Witir.” (akhrajahu ibnu Hibban).
Ada riwayat yang mengatakan bahwa sesudah mereka shalat berjamaah di masjid, mereka shalat lagi di rumah.
Jumlah rakaat dalam shalat tarawih juga ada yang 20 rakaat. Jumlah tersebut sebagaimana dijelaskan Umar bin Khattab melalui perbuatannya ketika terakhir kali berkumpul dengan para shahabat yag shalat dibelakang seorang imam. Para sahabat sepakat dengan beliau. Rasulullah saw. bersabda:
“Peganglah sunnahku dan sunnah khulafaur Rasyidin dengan pegangan yang erat.”[40]
Ringkasnya, bilangan rakaat shalat tarawih bermacam-macam dilakukan oleh umat islam sejak masa Nabi saw. hingga masa sahabat.
3.      Shalat Tahajjud
Shalat tahajjud ialah shalat pada waktu malam, lebih baik jika dikerjakan sesudah larut malam, dan sesudah tidur. Bilangan rakaatnya tidak dibatasi, boleh sekuatnya.
Sabda Rasul saw.:
Dari Abu Hurairah, “Tatkala Nabi ditanya orang, ‘apakah shalat yang lebih utama selain shalat fardhu lima?’ Jawab beliau, ‘shalat padda waktu tengah malam’.”
Firman Allah swt.
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَّكَ عَسَىٰ أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُودًا [١٧:٧٩]
Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.

4.      Shalat Dhuha
Shalat dhuha ialah shalat sunnah dua rakaat atau lebih, sebanyak-banyaknya 12 rakaat. Shalat ini dikerjakan ketika matahari naik setinggi tombak sampai matahari tergelincir.
Sabda Rasulullah saw.
Dari Anas, “Nabi saw. berkata, ‘Barang siapa shalat duha 12 rakaat, Allah akan membuatkan baginya istana disurga’.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
5.      Shalat Istikharah
Shalat Istikharah adalah shalat sunnah dua rakaat yang disunnahkan bagi orang yang bermaksud memilih dan mencari tahu yang terbaik dari beberapa pilihan hal yang mubah.[41]
Dasar hukum:
Dari Jabir bin Abdullah, “Rasulullah saw. mengajar kami untuk meminta petunjuk dari beberapa perkara yang penting. Beliau berkata, ‘Apabila salah seorang diantara kamu menghendaki suatu pekerjaan, hendaklah ia salat dua rakaat, Kemudian berdoalah: Allahumma… sampai akhir’.”
6.      Shalat Witir
Shalat witir artinya shalat ganjil (satu rakaat, tiga rakaat, lima rakaat, tujuh rakaat, Sembilan rakaat, atau sebelas rakaat). shalat witir adalah shalat sunnah. Dalam riwayat dari Ali, dia berkata : “shalat witir bukanlah kewajiban seperti shalat fardhu, tetapi Rasulullah saw. pernah bersabda, ‘Sesungguhnya Allah ganjil dan Allah menyukai ganjil, maka shalat witirlah kalian wahai pengemban AlQur’an’.”
Sabda Rasul saw. :
Dari Abu Ayyub, “Nabi saw. berkata, ‘Witir itu hak. Maka siapa yang suka mengerjakan lima rakaat kerjakanlah; siapa yang suka tiga rakaat kerjakanlah; dan siapa yang suka satu rakaat kerjakanlah’.”
Dari Aisyah, “Nabi saw. shalat sebelas rakaat diantara setelah shalat isya sampai terbit fajar. Beliau memberi salam tiap-tiap dua rakaat dan yang penghabisannya satu rakaat.”[42]
Menurut ulama’ Hanafiyah shalat witir adalah wajib. Wajib disini adalah fardhu yang bersifat amali (wajib secara perbuatan) bukan wajib i’tiqadi (wajib secara keyakinan) yang tidak menyebabkan kafir bila diingkari.
Dasar hukum:
Riwayat dari Buraidah, dia berkata: “Rasulullah saw. bersabda, ‘shalat witir adalah haq (sangat dianjurkan), siapa yang tidak mengerjakan shalat witir maka tidak termasuk golongan kami’. Beliau mengucapkannya tiga kali.” (HR. Abu Daud)


















DAFTAR PUSTAKA

Al Rahbawi, Abdul Qadir, Salat Empat Madzab, Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa.
Amin, Samsul Munir dan Haryanto Al-Fandi, etika beribadah berdasarkan Alquran dan sunnah, jakarta: amzah, 2011.
Anonimus, Shalat Perspektif Empat Mahdzab,dalam http://excellent165.blogspot.com/2013/05/shalat-prespektif-empat-mazhab_2087.html diakses 16-9-2014 13:21
Ar Rahbawi, Abdul Qadir, Fiqh Shalat Empat Madzhab,  Yogyakarta: Hikam Pustaka, 2008
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam,  Bandung: Algesindo, 2001.
Syaikh Mutawalli Al-Sya’rawi, Tirulah Shalat Nabi: Jangan Asal Shalat,  Bandung: Mizania, 2007.
Wahab, Abdul Aziz Muhammad, Dkk, Fiqih Ibadah, Jakarta: Amzah 2010.
Zakaria, Aceng, Al Hidayah Edisi Kompilasi, Garut : Ibnu Azka 2003, Hal 74






[1] Samsul Munir Amin dan Haryanto Al-Fandi, etika beribadah berdasarkan Alquran dan sunnah, jakarta: amzah, 2011, hal., 103-112
[2] Ibid, hal., 121
[3] Aceng Zakaria, Al Hidayah Edisi Kompilasi, Garut : Ibnu Azka 2003, Hal 74
 hal 164-179
[4] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah,  Jakarta: Amzah, 2010, hal. 187
[5]Syaikh Mutawalli Al-Sya’rawi, Tirulah Shalat Nabi: Jangan Asal Shalat,  Bandung: Mizania, 2007, hal. 164.
[6]Shalat Perspektif Empat Mahdzab,dalam http://excellent165.blogspot.com/2013/05/shalat-prespektif-empat-mazhab_2087.html diakses 16-9-2014 13:21
[7]Abdul Qadir Al Rahbawi, Salat Empat Madzab, Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, hal. 15.
[8]HR. Tirmidzi Juz 1 : 3, Abu Dawud : 61, dan Ibnu Majah : 275. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani 5 dalam Irwa‟ul Ghalil : 301
[9] ibid.
[10]Shalat Perspektif Empat Mahdzab,dalam http://excellent165.blogspot.com/2013/05/shalat-prespektif-empat-mazhab_2087.html diakses 16-9-2014 13:21
[11] Muttafaq ‟alaih. HR. Bukhari Juz 1 : 723 dan Muslim Juz 1 : 394.
[12] Shalat Perspektif Empat Mahdzab,dalam http://excellent165.blogspot.com/2013/05/shalat-prespektif-empat-mazhab_2087.html diakses 16-9-2014 13:21

[13]Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh..., hal. 192.
[14] Ibid.,
[15] Shalat Perspektif Empat Mahdzab,dalam http://excellent165.blogspot.com/2013/05/shalat-prespektif-empat-mazhab_2087.html diakses 16-9-2014 13:21
[16] HR. Tirmidzi Juz 2 : 265, lafazh ini miliknya, Abu Dawud : 855, dan Ibnu Majah 871. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani 5 dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib Juz 1 : 526.
[17] Abdul Qadir Al Rahbawi, Salat..., hal. 224.
[18]HR. Bukhari Juz 1 : 724 dan Muslim Juz 1 : 397. 
[19] Abdul Qadir Al Rahbawi, Salat..., hal. 225.
[20] Shalat Perspektif Empat Mahdzab,dalam http://excellent165.blogspot.com/2013/05/shalat-prespektif-empat-mazhab_2087.html diakses 16-9-2014 13:21
[21]HR. Daraquthni : 348. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani 5 dalam Shifat Shalat.
[22] Muttafaq ‟alaih. HR. Bukhari Juz 1 : 776 dan Muslim Juz 1 : 490, lafazh ini miliknya.
[23] Shalat Perspektif Empat Mahdzab,dalam http://excellent165.blogspot.com/2013/05/shalat-prespektif-empat-mazhab_2087.html diakses 16-9-2014 13:21
[24] HR. Bukhari Juz 1 : 724 dan Muslim Juz 1 : 397.
[25] Shalat Perspektif Empat Mahdzab,dalam http://excellent165.blogspot.com/2013/05/shalat-prespektif-empat-mazhab_2087.html diakses 16-9-2014 13:21
[26] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah..., hal. 196.
[27] Shalat Perspektif Empat Mahdzab,dalam http://excellent165.blogspot.com/2013/05/shalat-prespektif-empat-mazhab_2087.html diakses 16-9-2014 13:21
[28]Ibid.,
[29] HR. Tirmidzi Juz 1 : 3, Abu Dawud : 61, dan Ibnu Majah : 275. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani 5 dalam Irwa‟ul Ghalil : 301. 122 HR. Bukhari Juz 1 : 605.
[30] Muttafaq „alaih. HR. Bukhari Juz 3 : 3190 dan Muslim Juz 1 : 406.
[31] Shalat Perspektif Empat Mahdzab,dalam http://excellent165.blogspot.com/2013/05/shalat-prespektif-empat-mazhab_2087.html diakses 16-9-2014 13:21
[32] Ibid.,
[33] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh..., hal.187-198.
[34] HR. Bukhari Juz 1 : 724 dan Muslim Juz 1 : 397.
[35] Abdul Aziz Muhammad Wahab Dkk, Fiqih Ibadah, Jakarta: Amzah 2010, Hal199
[36] Aceng Zakaria, Al Hidayah Edisi Kompilasi, Garut : Ibnu Azka 2003, Hal 74
[37]  Abdul Aziz Muhammad Wahab Dkk, Fiqih Ibadah, Jakarta: Amzah 2010, Hal199
[38] Aceng zakaria, Al Hidayah edisi kompilasi edisi kedua .. Hal 42
[39] Nama tempat di dekat pintu gerbang kota Madinah di sebelah timur kota. Sekarang ia menjadi tempat perhentian kendaraan orang haji yang hendak ke Madinah.
[40] Abdul Qadir Ar Rahbawi, Fiqh Shalat Empat Madzhab, (Yogyakarta: Hikam Pustaka, 2008), hal. 271.
[41] Abdul Qadir Ar Rahbawi, Fiqh Shalat Empat Madzhab, (Yogyakarta: Hikam Pustaka, 2008), hal. 292.
[42] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Algesindo, 2001), hal.

1 komentar:

  1. Water Hack Burns 2 lb of Fat OVERNIGHT

    More than 160 thousand women and men are using a easy and SECRET "liquid hack" to lose 2 lbs each night while they sleep.

    It's scientific and it works all the time.

    You can do it yourself by following these easy steps:

    1) Go get a drinking glass and fill it half full

    2) Proceed to use this crazy HACK

    and become 2 lbs thinner the next day!

    BalasHapus