BAB II
PEMBAHASAN
A.
Adzan
dan Iqamah
1. Pengertian
dan keutamaan adzan dan iqomah
Adzan merupakan syi’ar agama yang
dimaksudkan untuk mengajak dan memberitahukan kepada khalayak bahwa waktu
sholat telah tiba, dan shalat berjamaah akan segera dilaksanakan. Perintah
untuk mengumandangkan adzan dan iqomah setiap kali kita hendak mendirikan
shalat, dan terlebih lagi shalat berjamaah tersiratkan dalam Alquran. Firman
Alloh: siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada
Alloh, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata:”sesungguhnya aku termasuk
orang-orang yang menyerah diri?” (QS. Fushilat (41):33). Ditegaskan dalam hadis
dari Malik bin Hawaris. Berkata,Rasululloh bersabda: “Apabila waktu sholat
telah tiba, maka salah seorang diantara kamu hendaklah mengumandangkan adzan”.
2. Etika
Adzan dan Iqomah
Adzan dan Iqomah haruslah dilakukan
sebaik mungkin, berikut tuntunan yang telah diajarkan rosululloh[1]:
a. Didasari
niat untuk beribadah kepada Alloh
b. Dilakukan
setelah masuk waktu sholat
c. Dikumandangkan
dalam bahasa arab
d. Bersungguh-sungguh
dalam adzan dan iqomah
e. Adzan
hendaklah dilakukan oleh satu orang
f. Dalam
keadaan suci dari hadas dan najis
g. Dilakukan
orang yang sudah baligh
h. Menjawab
adzan dan iqomah
i.
Membaca shalawat
setelah adzan
j.
Berdoa setelah adzan
Apabila adzan
telah dikumandangkan, selain dianjurkan membaca shalawat atas nabi, kita juga
dianjurkan untuk berdoa. Adapun doa yang telah Rasululloh ajarkan setelah
mengumandangkan adzan sebagai berikut:
اللهم
رب هده الدعوةالتامة, والصلاةالقائمة, ات محمداالوسيلةوالفضيلة, وابعثه
مقامامحموداالذيوعدته
Ya Alloh, Tuhan
pemilik panggulan yang sempurna (adzan) ini dan sholat wajib yang didirikan.
Berilah wasilah (derajat di surga, yang tidak akan diberikan kepada selain
kepada Nabi) dan fadilah kepada Muhammad. Dan bangkitkanlah beliau sehingga
bisa menempati maqom terpuji yang telah Engkau janjikan.
Sedangkan bagi
yang mendengarkan adzan maka hendaknya mengucapkan:
لاحول
ولاقوةالابالله
Tidak ada daya
dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Alloh.
Kemudian
dilanjutkan dengan bacaan sebagai berikut:
وأناأشهدأن
لاإله إلاالله وحده لاشريك له وأشهدأن محمداعبده ورسوله, رضيت بالله ربا,
وبمحمدرسولا, وبالإسلامدينا
Dan aku bersaksi bahwa
tiada Tuhan melainkan Alloh Yang Maha Esa tiada sekutu bagiNya dan RasulNya.
Aku rido kepada Alloh sebagai Tuhan dan Muhammad sebagai Rasul dan Islam
sebagai agamaku.
Demikianlah tuntunan Rasululloh
berkenaan dengan masalah adzan dan iqomat.
3. Hukum
adzan dan iqomat
Adzan dan iqomat termasuk
ritual/syariat dalam islam. Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum
keduanya. Sekelompok ulama mengatakan, kedua wajib. Ini adalah pendapat Atha’,
Ahmad, Mujahid, dan Daud azh Zhahiri. Jumhur fuqoha mengatakan, keduanya
sunnah. Ini adalah pendapat Hanafiah, Syafi’iah dan Malikiah. Sebagian ulama
mengatakan, adzan hukumnya fardu kifayah bagi penduduk suatu kampung atau
negeri, cukup bagi mereka satu adzan dan ia sunnah disebabkan banyaknya jamaah
yang ingin mendirikan shalat lima waktu.Sedangkan iqomah hukunya sunnah bagi
setiap jamaah yang ingin mendirikan sholat fardu. Sebagian fuqoha berkata bahwa
iqomah wajib hukumnya[2].
Bagi siapa yang tidak sholat dengan
berjamaah, ia tidak perlu menyerukan adzan dan iqomah, jika di sekelilingnya
tidak ada orang yang mendengar seruan adzannya, jika ada orang yang mendengar,
ia boleh adzan bole tidak, akan tetapi sunnah baginya untuk menyerukan iqomat,
baik bagi laki laki maupun perempuan. Sebagian fuqoha yang lain mengatakan,
bahwa seorang perempuan tidak menyerukan iqomahm sebagaimana ia tidak wajib
untuk menyerukan adzan.
4. Perbedaan-perbedaan
pendapat di dalam adzan[3]
Taswib pada adzan subuh
Taswib artinya ucapan: الصلاةخيرمنالنوم
Dalam adzan subuh disyariatkan dua
kali adzan, yaitu adzan awal yang dilakukan sebelum waktu shalat subuh yang
fungsinya untuk membangunkan yang masih tidur dan memberikan aba-aba waktu bagi
yang sedang salat tahajjud, karena waktu sudah hampir subuh. Dan ini tidak
harus di bulan puasa saja.
Sebagian ulama berpendapat taswib
itu dilakukan di adzan kedua shalat subuh, berdasarkan alasan berikut:
a. Hanyasanya
adzan awal tidak memakai lafadz; الصلاةخيرمنالنوم dan dilakukan di adzan subuh (al-Sunan wa al Mubtadiat, hal:
49)
b. Dari
Abu Mahdzurah, ia berkata: aku bertanya :” ya Rasululloh, ajarkanlah kepadaku
sunnatnya adzan”. Lalu Nabi mengajarkannya seraya bersabda: “Apabila keadaan
shalat subuh katakanlah olehmu الصلاةخيرمنالنوم, الله اكبرالله اكبرلااله
الاالله, (HR. Ahmad dan Abu Daud; Nailu al-Authar,
2: 50)
Keterangan
Dalam sanad
hadis tersebut ada nama Muhammad bin Abdi al-Malik bin Abi Mahdzurah, serta
harits bin Ubaid, sedangakn yang pertama tidak dikenal dan orang yang kedua
jadi bahan perbincangan (Nailu al-Authar, 2: 50)
Hadis-hadis yang
menyatakan bahwa taswib pada adzan awal subuh ialah:
a. Dari
Bilal ra., berkata: “Rasululloh telah memerintah kepadaku untuk tidak bertaswib
dalam (adzan) shalat kecuali pada shalat subuh”. (HR. Ahmad; Fathu al-Rabbani,
3:16)
Jelas sudah
bahwa adzan bilal itu terjadi pada adzan awal subuh (karena yang biasa adzan
subuh ialah Ibnu Umi Maktum)
b. Dari
Abi Mahdzurah ra., ia berkata: “aku suka adzan pada zaman Nabi pada shalat
subuh, maka jika aku ucapkan HAYYA ALA AL-FALAH, lalu aku ucapkan ; AL-SHALATU
KHOIRUN MIN AL-NAUM, pada adzan awal”. (HR. Ahmad; sanadnya sahih; Fathu
al-Rabbani, 3:21)
c. Menurut
hadis Ibnu Huzaimah, dari Anas ia berkata: “Termasuk sunnah nabi apabila
seorang muadzin mengucapkan; HAYYA ALA AL-FALAH, di adzan fajar, ia
mengucapkan; ASSHALATU KHAIRUN MIN AL-NAUM,
hadis ini telah di sahihkan ibnu al Sakan.
Dalam riwayat
nasai, bahwa الصلاةخيرمنالنومpada
awal subuh, hadis ini merupakan taqyid (pengikat)terhadap riwayat-riwayat yang
mutlak. Maksudnya dalam satu hadis dinyatakan dengan mutlak ialah tanpa
menyebut adzan awal, dan dalam hadist ini dinyatakan dengan muqayyad (terikat)
dengan sebutan adzan awal. Jadi tentu saja yang kita amalkan itu yang
muqayyadnya sesuai dengan qaidah; HAMLU AL-MUTLAQ ALA AL-MUQAYYAD (menarik yang
mutlak atas muqayyad).
Kesimpulan
Dari keterangan
tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa taswib itu di adzan awal, bukan di
adzan subuh mengingat;
a. Ada
hadis yang dengan tegas menyatakan bahwa taswib itu di adzan awal.
b. Bilal
suka mengumandangkan taswib sedangkan Bilal adalah muadzin di adzan awal,
karena adzan subuh suka dikumandangkan oleh Ibnu Ummi Maktum.
c. Hadis
Abi Mahdzurah yang menyatakan taswib di adzan subuh hadisnya daif dan
bertentangan dengan hadis dari Abu Mahdzurah sendiri yang menyatakan taswib di
adzan awal yang derajat hadisnya shahih.
d. Ash
San’ani juga dalam kitabnya Subulu as Salam menyimpulkan bahwa disyariatkan
taswib itu di adzan awal awal karena fungsi adzan awal itu untuk membangunkan yang
masih tidur, sedangkan adzan subuh untuk memmberi tahu waktu shalat dan
langsung mengajak shalat subuh.
5. Adzan
dan iqomah di telinga bayi yang baru dilahirkan
Masih banyak umat islam yang
mempraktekan adzan untuk bayi yang baru dilahirkan yaitu adzan di telinga kanan
dan iqomah di telinga kiri, inilah alasan mereka: termasuk sunnah, adzan pada
telinga kanan bayi dan iqomah pada telinga kiri bayi, agar yang pertama kali
mengetuk telinganya adalah nama Alloh. (Fiqh Sunnah, 3: 329)
Dasar
keterangan :
a. Dari
Abi Rafi’ dia berkata; “Saya melihat rasululloh adzan pada telinga Husain
ketika Fatimah melahirkannya”. (HR. Ahmad. Demikian juga Abu Dawud dan Tirmizi
dan ia mensahihkannya, dan keduanya (Abu Dawud serta Tirmidzi) mengatakan
hasan. Nailu al authar, 5:154)
b. Ibnu
al Sinni telah meriwayatkan hadis yang marfu’ dan Husain bin Ali dengan lafadz
: Siapakah yang melahirkan seorang anak, kemudian adzan di telinga kanan dan
qamat di telinga kiri, maka ia tidak akan diganggu oleh Ummu as Sibyan”. (Nailu
al Authar, 5: 155). Ummu as shibyan adalah gangguan jin.
Penjelasan:
c. Hadis
Abi Rafi’ itu daif, tidak dapat dijadikan hujjah atas dasar: pada sanadnya ada
seorang bernama Ashim bin Ubaidillah bin Ashim bin Umar bin Katab. Imam malik
mengatakan dia tercela/cacat. Menurut Ibnu Main ia daif hadisnya, serta tidak
dapat dijadikan hujjah, juga ia telah diperbincangakan oleh yang lain. Abu
Hatim Muhammad al Butsi telah mengkritik riwayat hadis ini, juga yang lainnya.
(Tuhfatu al Ahwadzi, 5: 107)
Yang menjadi perbincangan dalam hadis
ini ialah Ashim bin Ubaidillah, dia itu daif. Menurut imam Bukhari munkaru al
Hadis (Nailu al Authar, 5: 155). Menurut Bukhari: setiap orang yang kami
nyatakan munkaru al hadis, maka ia tidak dapat dijadikan hujjah. Dalam ungkapan
lain beliau menyatakan “ tidak halal meriwayatkannya”. (Fathu al Mughits, 1:
346).
Hadis tersebut
juga diriwayatkan oleh Tabrani dalam al Kabir, dalam sanadnya terdapat seorang
yang bernama Hammad bin Syuaib dan dia daif sekali. (Majmau al Zawaid, 4:60).
Berkata Ibnu Huzaimah: “Saya tidak berhujjah dengannya karena jelek
hafalannya”, demikian diriwayatkan dalam Mizanu al I’tidal. (Tuhfatu al
Ahwadzi, 5: 108)
d. Hadis
tersebut diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam sanadnya ada nama Marwan bin Salim
al Ghifari, dia itu martuk (ditinggalkan). (Majmau al Zawaid). Menurut
pengarang kitab Tuhfatu al Azwadi, imam Nawawi telah mengatakan dalam Syarah
Jamiu al Shagiri, sanad hadis itu daif.
Kesimpulan:
Dari keterangan
tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa:
a) Adzan
itu hanya disyariatkan untuk sholat, itupun tidak semua shalat tetapi hanya
untuk shalat fardu saja.
b) Hadis-hadis
yang menganjurkan adzan karena kelahiran bayi tidak ada yang sahih.
Membaca shalawat
kepada Nabi Saw setelah adzan
a. Dari
‘Abdillah bin Umar ra., sesungguhnya ia mendengar Nabi Saw bersabda: “apabila kamu mendengar adzan, maka
ucapkanlah seperti yang diucapkan muadzin , kemudian becalah shalawat atasku,
karena siapa yang membacakan shalawat atasku Alloh pasti memberinya rahmat
sepuluh. Kemudian mintalah kepadaku wasilah, ialah tempat di surga yang tidak
layak kecuali untuk seorang hamba Alloh, dan aku berharap meraihnya. Maka siapa
yang memintakan wasilah untukku, ia pasti mendapatkan syafaatku”. (HR. Jamaah,
kecuali Bukhari dan Ibnu Majah; Nailu al Authar, 2: 61)
b. Adapun
membaca shalawat atas Nabi Saw., dengan suara yang keras seperti adzan sampai
orang-orang yang bodoh beranggapan bahwa itu termasuk lafadz adzan, maka cara
ini adalah bidah yang jelek. Orang yang pertama kali mengadakannya ialah Raja
Shalif Najmuddin bin Yusuf pada akhir abad keenam. Padahal sebaik baik petunjuk
ialah petunjuk Nabi, kemudian Salafu as Shalih. (ta’liq bulughul mahram, hal:
41)
Kesimpulan:
Dari keterangan
diatas, dapat disimpulkan bahwa:
1. Orang
yang mendengarkan adzan diperintahkan untuk mengucapkan sebagaimana yang
diucapkan muadzin.
2. Setelah
selesai adzan dianjurkan untuk berdoa dan membaca shalawat kepada Nabi.
3. Membaca
shalawat kepada Nabi hendaklah dengan suara perlahan sebagaimana diwaktu
berdoa, jangan dengan suara keras apalagi dinyanyikan.
B.
Syarat-Syarat
Shalat
1. Mengetahui
telah masuk waktu (mengerjakan sholat setelah diketahui bahwa waktunya telah
masuk)
Dalam soal ini dicukupi dengan kemampuan
mengira-ngira. Maka apabila telah meyakini
atau telah berat persangkaan bahwa waktu telah masuk dibolehan kita
shalat.
2. Suci
dari hadats besar
Syarat-syarat ini ditunjukkan oleh kitabullah, sunah
rosul dan ijma’ .
3. Suci
badan, pakaian dan tempat yang kita bershalat dari najasah hissiyah.
Jika kita tidak sanggup mengilangkannya, hendaklah
kita bershalat juga dalam keadaan bernajasah itu dengan tidak perlu mengulangi
lagi shalat itu.
Apabila kita mengetahui najasah dipertengahan
shalat, hendaklah kita menghilangkannya, kemudian kita meneruskan shalat itu dengan
tidak memulainya lagi dari permulaan (mengulangi mengerjakannya)
Apabila seseorang bershalat sedangkan dibadannya ada
najasah, dengan sengaja tidak membersihkannya maka berartilah dia meninggalkan
suatu yang wajib, walaupun shalatnya sah.
4. Menutupi
aurat
a. Aurat
laki-laki
Aurat yang disepakati wajib
ditutupi oleh orang laki-laki diwaktu bershalat ialag qubul dan dubur (
kemaluan dan dubur). Adapun yang selain demikian itu, yaitu paha, pusar dan
lutut diperselisihkan oleh para ulama’. Perbedaannya, ada yang
mengatakannyaaurat dan ada pula ada yang mengatakan bukan.
b. Aurat
wanita
Aurat wanita didalam shalat menurut
jumhur ulama: “ seluruh badannya selain dari muka dan dua telapak tangannya”
c. Menghadap
kiblat
Wajib menghadap
Al Masjidil Haram dikala bershalat
C.
Rukun
Shalat
Kata arkan adalah bentuk
plural dari kata rukn, menurut arti bahasa berarti sisi yang kuat,
merujuk pada firman Allah SWT dalam menceritakan Nabi Luth as:
أَوْءَاوِى إِلَىرُكْنٍ شَدِيْدٍ
Atau kala aku dapat berlindung kepada
keluarg ayang kuat (tentu aku lakukan)(QS. Hud:80)
Sedangkan menurut terminologi rukn
berarti sesuatu yang menjadi bagian dari sesuatu yang lain dan keabsahannya
bergantung pada sesuatu tersebut.[4]
Dalam shalat
terdapat hal-hal yang bersifat fardhu dan rukun yang menjadi syarat sahnya
shalat, sehingga apabila salah satu rukun ini tertinggal karena sengaja, lupa,
atau tidak tahu, maka shalatnya menjadi batal.[5]
Rukun Shalat diantaranya meliputi:
1.
Niat
Niat secara etimologi
berarti menyengaja. Menurut terminology, niat adalah menyengaja suatu perbuatan
karena mengikuti perintah Allah supaya diridhoi-Nya.[6]
Menurut ulama Maliki dan Syafi’i niat termasuk dalam rukun shalat, tetapi
menurut golongan Hanbali dan Hanafi, niat adalah syarat.[7]
2.
Takbiratul Ikhram
Shalat tidak akan sempurna tanpa takbiratul ihram. Nama
takbiratul ihram ini berdasarkan pada sabda Nabi Muhammad SAW ;“Kunci
shalat adalah bersuci, dan yang mengharamkannya (dari perbuatan sesuatu selain
perbuatan shalat) adalah takbir dan penghabisannya adalah salam” (HR.
Ahmad)[8]
Takbiratul ihram adalah ucapan Allahu Akbar. Menurut Maliki, Hambali dan Syafi’I, tidak
boleh diganti dengan lafadhz lain namun boleh berubah jika akbar-Nya
hanya ditambah “al” (dengan memakai alif dan lam menjadi Allah al-Akbar /
Allah al-Akbar). Dan Hanafi berpendapat boleh diganti dengan kata lain yang
sesuai atau yang sama artinya dengan kata-kata tersebut. Seperti “Allahu
al-A’dzam” dan “Allahu al-Jalil”.[9]
3.
Berdiri
Seluruh madzhab telah sepakat bahwa berdiri bagi yang mampu/kuat berdiri
dalam sholat wajib adalah termasuk rukun. Maka orang tidak kuasa berdiri boleh
shalat sambil duduk, kalau tidak kuasa duduk maka boleh dengan berbaring, dan
kalau tidak kuasa berbaring boleh dengan melentang, dan kalau masih tidak kuasa
juga maka shalatlah dengan sebisanya, sekalipun dengan isyarat. Yang penting
shalat tidak ditinggalkan selama nyawa dan iman masih ada. Pada shalat fardhu
diwajibkan berdiri karena berdiri adalah rukunnya sholat. Tetapi pada shlat
sunnat berdiri itu tidak menjadi rukun.[10]
Allah SWT berfirman: ”Peliharalah shalat-shalat (kalian), dan
(peliharalah) shalat wustha. Berdirilah untuk Allah (dalam shalat kalian)
dengan khusyu.” (QS. Al-Baqarah : 238). Dan sabda Rasulullah SAW kepada
‘Imran bin Husain ketika bertanya kepada beliau sedang ia menderita penyakit
bawasir: “Salatlah dengan berdiri, jika tidak mampu maka sambil duduk, dan jika
tidak mampu juga maka sambil berbaring miring. (HR Bukhari)
4.
Membaca
surah Al-Fatihah pada setiap rakaat
Dari Ubadah bin Shamit, bahwa
Rasulullah bersabda:”Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca
Al-Fatihah.”[11]
Ini adalah pendapat mayoritas ulama, berseberangan dengan pendapat kalangan
ulama mahdzab Hanafi yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah mutlaknya
bacaan yang berasal dari al-Qur’an, jadi bukan hanya dikhususkan pada bacaan
Al-Fatihah. Sesuai al-Qur’an surat
Muzammil ayat 20, “Bacalah apa yang mudah bagimu dari al-Qur’an”.
Membaca al-Fatihah hanya diwajibkan pada dua rakaat pertama saja. Boleh
meninggalkan basmalah karena ia tidak termasuk bagian dari surat.[12]
Pembacaan
surat al-Fatihah harus benar dan terdengar, dan yang paling utama adalah dapat
terdengar oleh dirinya sendiri jika ia tidak berposisi sebagai imam. Adapun
bagi yang tidak mampu seperti orang yang tidak bisa membaca dan bisu, maka ia
tidak wajib membacanya, melainkan cukup berdiri dan diam saja, disunahkan
berdzikir dan mengikuti orang yanng bacaannya bagus. Sedangkan orang yang mampu
membaca dengan baik satu ayat atau beberapa ayat al-Fatihah atau selain dari
surat al-fatihah maka ia boleh mengulang-ulang bacannya tersebut. Jika ia
memang tidak mampu membaca al-Qur’an dengan baik sama sekali, maka ia cukup
mengucapkan takbir, membaca tahlil, dan membaca tasbih, sebagaimana hadis
narasi Rifa’ah bin Rafi’ bahwasanya Rasulullah SAW pernah bersabda pada orang
yang buruk shalatnya:”Jika kau memiliki hafalan Al-Qur’an maka bacalah. Jika
tidak maka pujilah Allah, bacalah takbir, dan tahmid kepada-Nya, keimudian
ruku’.[13]
Bacaan
al-Fatihah juga disyaratkan harus berbahasa Arab dan tidak diperbolehkan
membaca dengan menggunakan bahasa selain bahasa arab, meskipun di luar shalat.
Jika membaca dengan selain bahasa arab, maka shalatnya batal, karena Nabi tidak
pernah membaca al-Qur’an selain dengan bahasa arab dan hal tersebut juga tidak
pernah dilansir dari para sahabat. Allah SWT berfirman: “(ialah) al-Qur’an
dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan (di dalamnya) supaya mereka
bertakwa (QS. Az-Zumar: 28)juga dalam QS. Asy-Syu’ara: 195. Ini adalah pendapat
mayoritas ulama.[14]
5.
Ruku’
Semua Ulama sepakat bahwa ruku’ adalah wajib dilakukan
di dalam shalat. Namun mereka berbeda pendapat tantang wajib atau tidaknya berthuma’ninah
di dalam ruku’, yakni ketika ruku’ semua anggota badan harus diam. Imam
Hanafi: yang mewajibkan semata-mata membungkukkan badan dengan lurus dan tidak
wajib thuma’ninah. Madzhab-madzhab yang lain: wajib membungkuk sampai
dua telapak tangan orang yang shalat itu berada pada dua lututnya dan
diwajibkan berthuma’ninah dan tidak bergerak ketika ruku’.[15]
Perintah ruku’ Sebagaimana firman
Allah ”Wahai orang-orang yang beriman, ruku’lah dan sujudlah kalian.”
(QS. Al-Hajj : 77)
Diriwayatkan
dari Abu Mas‟ud Al-Anshari Al-Badri y ia berkata, Rasulullah bersabda; ”Tidak
sah shalat seorang yang tidak menegakkan punggung di dalam ruku‟ dan sujud.”[16]
Ruku’ ini dilakukan dengan tuma’ninah,
artinya berhenti dengan tenang setelah berdiri. Namun menurut ulama Hanafi tuma’ninah
bukanlah termasuk rukun, ia hanya merupakan salah satu wajib-wajibnya saja.[17]
6.
Bngkit
dari ruku’ dan berdiri tegak (i’tidal) dengan tuma’ninah
Hal
ini berdasarkan hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda terhadap orang
yang buruk shalatnya; ”Kemudian bangunlah hingga engkau tuma‟ninah (di
dalam) berdiri i‟tidal tersebut).”[18]
Atau dari Aisyah: Nabi bila mengangkat kepalanya dari ruku’ beliau tidak sujud
sebelum tegak lebih dulu (HR Muslim)[19]
Imam Hanafi: tidak
wajib mengangkat kepala dari ruku’ yakni I’tidal dan dibolehkan untuk langsung
sujud, namun hal itu makruh. Madzhab-madzhab lain; wajib mengangkat kepalanya
dan ber’itidal serta disunnahkan membaca tasmi’ , yaitu mengucapkan “samiallahu
liman hamidah”.[20]
7.
Sujud
Diriwayatkan
dari Ibnu ‟Abbas, ia berkata, Rasulullah bersabda; ”Tidak (sempurna) shalat seseorang
yang tidak menempelkan hidungnya ke tanah (ketika sujud), (seperti) ia
menempelkan dahi(nya ke lantai).”[21]
Anggota sujud ada tujuh, sebagaimana hadits dari Ibnu ‟Abbas ia berkata, bahwa
Nabi bersabda; ”Aku diperintahkan untuk bersujud di atas tujuh tulang; dahi
–beliau juga berisyarat dengan tangannya ke hidungnya,- kedua (telapak) tangan,
kedua (lutut) kaki, serta ujung jari-jemari kaki.”[22]
Semua Ulama mazhab
sepakat bahwa sujud itu wajib dilakukan dua kali pada setiap rakaat. Mereka
berbeda pendapat tentang batasnya. Apakah yang menempel itu semua anggota yang
tujuh (dahi, dua telapak tangan, dua lutut dan dua ujung jari kaki) atau hanya
sebagian. Imam Syafi’I, Maliki dan Hanafi: yang wajib menempel hanya dahi,
sedangkan yang lainnya adalah sunnah. Namun Hanafi berpendapat yang wajib dalah
dahi atau hidung. Hambali : yang diwajibkan itu semua anggota yang tujuh secara
sempurna, bahkan Hambali menambah hidung, sehingga menjadi delapan. Ulama empat
mazhab pun berbeda pendapat dalam hal apakah kedua telapak tangan wajib dibuka
saat sujud seperti dahi dan hidung. Mazhad Hanafi dan Hambali berpendapat tidak
wajib. Sedangkan mazhab Maliki berpendapat wajib. Adapun mazhab Syafi’I ada dua
pendapat (wajib dan tidak), namun yang paling shahih dari mazhab Syafi’I adalah
yang berpendapat wajib.[23]
8.
Duduk
diantara dua sujud dengan tuma’ninah
Berdasarkan
hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah a bersabda terhadap orang yang buruk
shalatnya; ”Kemudian angkatlah hingga engkau duduk (diantara dua sujud)
dengan tuma‟ninah.”[24]
Ulama empat mazhab
telah sepakat bahwa duduk diantara dua sujud adalah masyru’ (disyariatkan
dalam shalat), namun mereka berbeda tentang hukumnya; apakah wajib atau tidak. Imam
Malik berpendapat sunnah. Adapun mazhab Syafi’I dan imam Ahmad dan Abu Hanifah
berpendapat wajib, hanya saja Abu Hanifah tidak mensyaratkan harus lurus tegak
duduk (cukup dengan setengah duduk yang condong pada duduk; tidak condong pada
sujud).[25]
9.
Duduk
terakhir selama membaca tasyahud
Duduk
akhir yang dimaksud yaitu duduk di akhir shalat meskipun tidak didahului oleh
duduk pertama seperti shalat yang dua rakaat, duduk akhir merupakan salah satu
fardhu shalat menurut kesepakatan ulama (ijma’), karena tanpa adanya duduk
akhir, tidak dapat dibayangkan adanya tasyahud dan salam. Para ulama berselisih
pendapat dalam menentukan ukuran duduk akhir, apakah kira-kira kadar dua kali
salam, ataukah kira-kira kadar membaca tasyahud dan membaca shalawat, ataukah
kira-kira kadar bacaan tasyahud dan dua salam. Kadar terakhir inilah yang
dirajihkan karena Nabi Muhammad SAW terbiasa dengan hal tersebut dan beliau
bersabda: “Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat”. Ini adalah
pendapat yang dinyatakan oleh kalangan ulama mahdzab Hanbali.[26]
Adapun yang menyatakan
bahwa tahiyat di dalam shalat dibagi menjadi dua bagian. Pertama yaitu tahiyat
yang terjadi setelah dua rakaat yang pertama dari shalat magrib dan isya’,
dhuhur dan ashar dan tidak di akhiri dengan salam. Yang kedua adalah tahiyat
yang di akhiri dengan salam, baik pada shalat yang dua rakaat, tiga atau
empat rakaat. Imam Hambali: tahiyat yang pertama itu wajib.
Mazhab-mazhab lain: hanya sunnah, bukan wajib. Imam Syafi’I, Hambali: tahiyat
yang akhir adalah wajib sedangkan menurut Maliki dan Hanafi hanya sunnah,
bukan wajib.[27]
10.
Membaca
tasyahud akhir
Dalil
kefardhuan tasyahud adalah bahwa Nabi SAW selalu melakukannya dan terus-menerus
membiasakannya. Ibnu Mas’ud berkata: sebelum difardhukannya tasyahud, kami
biasa membaca dalam shalat : Assalamu ‘ala Allah. Assalamu ‘ala Jibril wa
Mikail. Rasulullah bersabda: “Jangan ucapkan demikian, sebab Allah
adalah Sang Maha Salam (Damai), akan tetapi ucapkanlah: At-tahiyyat wa
ash-shalawat wa aththayyibat.[28]
Bacaan
tasyahud yang paling sempurna adalah versi Ibnu Abbas, ia bertutur: Rasulullah
SAW mengajari kami tasyahud sebagaimana beliau mengajari kami al-Qur’an. Beliau
berucap: Attahiyyatul mubarokattushalawat tuthayyibatulillah dan seterusnya.
An-Nawawi: Imam Syafi’i dan sebagian murid Imam Malik mengatakan bahwa bacaan
tasyahud versi ibnu Abbas adalah yang paling afdhal, karena ada tambahan kata
“al-mubarokat” sesuai dengan firman Allah SWT: Tahiyyatan min’indillahi
mubarakatantoyyibah (QS. An-Nur:61)[29]
Ulama empat mazhab
telah sepakat bahwa membaca do’a tasyahud akhir adalah disyariatkan
dalam shalat, namun mereka berbeda pendapat dalam hal apakah wajib atau tidak. Mazhab
Hanafi dan Maliki berpendapat sunnah, sedangkan mazhab Syafi’I dan Hambali
berpendapat wajib.
11.
Membaca
shalawat atas nabi dalam tasyahud akhir
Bacaan
shalawat Nabi, adalah :”Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad dan
keluarga Muhammad sebagaimana Engkau melimpahkan shalawat kepada Ibrahim dan
keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia. Ya Allah,
limpahkanlah keberkahan kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana
Engkau melimpahkan keberkahan kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya
Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.”[30]
Para ulama empat mazhab
telah sepakat bahwa bershalawat pada Nabi Muhammad di do’a tasyahud akhir
adalah masyru’ (disyariatkan). Waktu membacanya ialah ketika duduk akhir
sesudah membaca tasyahud akhir. Namun mereka berbeda pendapat dalam hal
kefardhuannya. Mazhab Maliki dan Hanafi berpendapat tidak wajib (hanya sunnah)
sedangkan mazhab Syafi’I dan Hambali berpendapat wajib. Adapun membaca shalawat
atas keluarga beliau menurut Syafi’I tidak wajib, melainkan sunnah, namun
sebagian Ulama mazhab Syafi’I ada yang mewajibkannya. Adapun menurut mazhab
Hambali adalah afdhol (lebih baik) jika juga bershalawat pada keluarga beliau.[31]
12.
Membaca
salam
Jumhur
ulama‟ berpendapat bahwa ucapan salam yang termasuk rukun shalat adalah salam
yang pertama saja. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari „Ali ia
berkata, Rasulullah bersabda;”Kunci shalat adalah bersuci. Pengharamnya
adalah takbir dan penghalalnya adalah salam.” Mereka telah sepakat bahwa salam dimasyru’kan dalam shalat, namun
mereka berbeda pendapat dalam empat hal, yaitu tentang berapa jumlah salam,
mana salam yang wajib, apakah salam termasuk bagian fari shalat atau sudah
keluar dari shalat, dan apakah wajib niat keluar dari shalat saat mengucapkan
salam.
Bilangan salam adalah
dua kali menurut mazhab Hanafi, Syafi’I dan Hambali. Sedangkan menurut mazhab
Maliki, bilangan salam adalah satu bagi imam shalat atau orang yang shalat
sendirian, namun bagi makmum ada tiga salam, yaitu selam ke kanan, lalu ke kiri
dan kemudian lurus kedepan sebagai jawab bagi salamnya imam.
Dan hukum mengucapkan
salam menurut imam Syafi’I, Maliki dan Hambali adalah wajib sedangkan Hanafi
tidak wajib.sedangkan bilangan salam yang wajib, menurut Imam Hambali wajib
mengucapkan salam dua kali, sedangkan Imam-imam yang lain hanya mencukupkan
satu kali saja yang wajib. Mazhab Maliki, Syafi’I dan Hambali berpendapat bahwa
salam salam termasuk dalam shalat, sedangkan mazhab Hanafi berpendapat
sebaliknya (salam bukan termasuk bagian dari ibadah shalat).
Mazhab Maliki, Hambali
dan sebagian besar Syafi’iyah berpendapat wajib hukumnya niat keluar dari
shalat saat salam. Sedangkan mazhab Hanafi dan sebagian Ulama Syafi’iyah
berpendapat tidak wajib, dan niat keluar dari shalat itu tidak perlu diniatkan,
tapi cukup dengan melakukan sesuatu yang membatalkan shalat setelah salam, maka
sudah termasuk keluar dari shalat.[32]
13.
Menertibkan
rukun-rukun shalat
Hal
ini karena Rasulullah melakukan rukun-rukun shalat dengan tertib, dan beliau
bersabda; “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”[33]
Dan juga hadits musi‟ (orang yang buruk shalatnya), yang
diriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata; ”Rasulullah masuk masjid, lalu ada
seorang laki-laki yang masuk (masjid) dan shalat. Kemudian ia datang memberi
salam kepada Rasulullah. Rasulullah menjawab salamnya dan bersabda, ”Kembalilah
ulangi shalatmu, karena engkau belum shalat.” Maka orang tersebut melakukan
shalat lagi seperti shalatnya yang sebelumnya. Kemudian ia datang menemui Nabi
dan memberi salam (kepada beliau). Rasulullah bersabda, ”Wa‟alaikas Salam
(bagimu keselamatan), Kembalilah ulangi shalatmu, karena engkau belum shalat.” Sampai
ia melakukannya sebanyak tiga kali. Maka orang tersebut berkata, ”Demi yang
telah mengutusmu dengan (membawa) kebenaran, aku tidak dapat melakukan yang
lebih baik selain ini, (maka) ajarilah aku.” Rasulullah bersabda, ”Jika
engkau berdiri mengerjakan shalat maka bertakbirlah, kemudian bacalah (ayat)
Al-Qur‟an yang mudah bagimu, lalu ruku‟lah hingga engkau tenang (tu‟maninah)
dalam ruku‟, kemudian bangunlah hingga engkau tegak berdiri, lalu sujudlah
hingga engkau tenang dalam sujud, kemudian bangunlah hingga engkau tenang dalam
duduk. Lakukanlah yang demikian itu dalam semua shalatmu.”[34]
D.
Sunnah
dalam Shalat
Shalat memiliki
beberapa kesunnahan yang sebaiknya dipelihara dan diperhatikan agar shalatnya
menjadi sempurna dan berbuah pahala. Sunah-sunah ini tidak wajib dilakukan
dalam shalat, namun orang yang melakukanya maka ia akan mendapat tambahan
pahala. Sedang orang yang meninggalkanya tidak berdosa sebagaimana sunah-sunah
lainya. Adapun sunah sunah shalat terbagi menjadi dua bagian[35] :
1. Sunah
Ab’adh
Sunah
Ab’adh adalah amalan amalan dalam sholat yang sangat dituntut, jika
ditinggalkan dengan sengaja atau tidak, disunatkan sujud sahwi
a. Membaca tasyahud awal (kesatu)
b. Duduk di saat tasyahud awal
c. Membaca shalawat atas Nabi saw pada
tasyahud awal
d. Membaca shalawat atas keluarganya
pada tasyahhud awal
e. Membaca do’a qunut yaitu membacanya
sewaktu bangkit (berdiri) dari ruku pada raka’at kedua di shalat subuh
f. Membaca shalawat atas Rasulallah saw
dan keluarganya sebagai penutup do’a qunut pada shalat subuh.
Untuk huruf e dan f itu mengalami
perbedaan pendapat, ada beberapa ulama yang telah menganjurkan qunut subuh,
bahkan ada yang menganggapnya sebagai sunah ab’ad, yang apabila ditinggalkan
harus sujud sahwi. Adapaun pendapat yang mengharuskan qunut subuh adalah[36]
عن ابى هريرة
قال كان رسول الله ص اذا رفع راءسه من الركوع فى الصلاة الصبح فى الركعة الثانية
رفع يديه فيدعو بهذا الدعا اللهم اهد نى فيمن هديت الخز –رواه الحاكم وصححه
·
“dari abu hurairah ra, ia berkata adalah
rasulullah SAW apabila mengangkat kepalanya dari ruku pada shaat subuh dirakaat
kedua, ia mengangkat tanganya seraya berdoa .. ALLAHUMMA IHDINI FIMAN
HADAYTA…sampai akhir (HR hakim dan disahihkanya)
Adapun dalil yang menunjukan tidak disyariatkan qunut
subuh kecuali qunut nazilah adalah sebagai berikut:
رواه ابن حباان والخطيب وانب خزيمة
عن اس ان النبي ص كان لاييقنت في الصلاة الصبح الا اذا دعا لقوم او دعا على
قوم-فقه سنة-
·
Ibnu hibban dan al
khatib dan ibnu khuzaimah telah meriwayatan dari anas, bahwa nabi SAW tidak
qunut pada shalat subuh, kecuali mendoakan keselamat untuk satu kaum atau
mendoakan kecelakaan untuk mereka.
2.
Sunah Haiat
Sunah Haiat adalah amalan amalan sunat dalam sholat,
jika ditinggalkan dengan sengaja atau tidak , tidak disunatkan sujud sahwi.
Sunah haiat ini sangat dianjurkan untuk dikerjakan agar menambah banyak pahala.
Sunah-sunah tersebut di antaranya[37]:
a. Mengangkat kedua tangan sejajar
dengan bahu ketika bertakbiratul ihram, ketika akan ruku, ketika bangkit dari
ruku, ketika berdiri setelah tasyahud awal.
عَنْ
ابْنِ عُمَر رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلاةَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَذْوَ
مَنْكِبَيْهِ
،
وَإِذَا كَبَّرَ لِلرُّكُوعِ ، وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ
رَفَعَهُمَا كَذَلِكَ (رواه الشيخان)
Sesuai
dengan hadits dari Ibnu Umar ra, “Bahwasanya Nabi saw apabila beliau
melaksanakan shalat, beliau mengangkat kedua tangannya sampai sejajar dengan
kedua bahu beliau, kemudian membaca takbir. Apabila beliau ingin ruku, beliau
pun mengangkat kedua tangannya seperti itu, dan begitu pula kalau beliau
bangkit dari ruku” (HR Bukhari Muslim).
b. Meletakkan tangan kanan di atas
tangan kiri di bawah dada dan di atas pusar. Hal ini . berdasarkan hadist:
عَنْ وَائِل بِنْ حِجْر رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : صَلَّيْت مَعَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَوَضَعَ يَده الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى
عَلَى صَدْرِهِ (ابن حزيمة في صحيحه)
Dari Wail bin Hijr ra, “Saya pernah salat bersama Nabi saw,
kemudian beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kiri di atas dadanya”
(HR Ibnu Huzaimah dalam shahih-nya)
c. Membaca
do’a iftitah dilakukan
sebelum membaca
ta’awwudh (‘Audzubillahi minas syaitonir rajim),
d. Membaca
ta’awwudh (A’udzubillaahi minasy syaithoonirojiim) sebelum membaca surat
al-Fatihah dengan perlahan-lahan. Firman Allah,
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ
فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ – النحل ﴿٩٨
Artinya: “Maka apabila
kamu membaca Al-quran, maka hendaklah kamu memohon perlindungan kepada Allah
dari setan yang terkutuk.” (Qs An-Nahl ayat: 98)
e.
Membaca amin (aamiin) setelah
membaca surat al-Fatihah. Hal ini disunahkan kepada setiap orang yang shalat,
baik sebagai imam maupun makmum jika mendengar bacaan imamnya atau shalat
sendirian.
f.
Membaca sesuatu dari ayat
al-Qur’an setelah membaca surat al-Fatihah pada shalat Subuh atau shalat-shalat
lainya. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah saw
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقْرَأُ فِي الظُّهْرِ : وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى ، وَفِي
الْعَصْرِ نَحْوَ ذَلِكَ ، وَفِي الصُّبْحِ
بِأَطْوَلَ مِنْ ذَلِكَ (رواه الشيخان)
Dari Jabir bin Samrah ra,
“Rasulullah saw ketika shalat Duhur membaca surat “Wallaili idza yaghsya”, dan
pada shalat Ashar sama seperti itu panjangnya, dan pada shalat subuh membaca
surat lebih panjang dari itu” (HR Bukhari Muslim).
g. Memperpanjang
raka’at pertama dari raka’at yang kedua.
Sesuai
dengan hadits dari Abu Qatadah ra, ia berkata: Nabi saw pernah membaca dalam
dua rakaat pertama pada shalat dzuhur surat al-Fatihah dan dua surat. Beliau
membaca surat yang panjang pada raka’at pertama dan membaca surat yang pendek
pada raka’at kedua, dan kadang-kadang memperdengarkan kepada kami dalam membaca
ayat. Dan beliau membaca pada shalat ashar surat Fatihah dan dua surat, beliau
membaca surat yang panjang pada raka’at pertama dan surat yang pendek pada
raka’at kedua, begitu pula beliau membaca surat yang panjang pada raka’at
pertama pada shalat subuh dan membaca surat pendek pada raka’at yang kedua”
(HR. Bukhari)
h. Mengeraskan
bacaan Al-Fatihah dan surat pada waktu shalat jahriah (yang dikeraskan
bacaannya). Yaitu mengeraskan suara pada kedua raka’at shalat subuh, dan dua
rakaat yang pertama pada shalat Magrib dan Isya, dan kedua raka’at shalat
Jumat.. Hal ini disunahkan bagi imam dan bagi yang shalat sendiri.
i.
Merendahkan suara pada
shalat yang dipelankan bacaannya (sirriah), yaitu pada shalat dzuhur, ashar,
dan di raka’at ketiga pada shalat maghrib, dan di raka’at ketiga dan keempat
pada shalat isya. (mengikuti perbuatan salaf)
j.
Merenggangkan kedua
tangan dari lambung saat sujud dan ruku.
k. Bertasbih
pada waktu ruku dan sujud. Yaitu membaca “Subhana Rabbiyal ‘adzim” waktu ruku
dan membaca: ” Subhana rabbiyal ‘ala”.waktu sujud.
l.
Membaca “sami’allahu liman hamidah” sewaktu bangkit dari
ruku’. Sesuai dengan hadist:
عَنْ
أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ قَالَ: رَبَّنَا
لَكَ
الْحَمْدُ مِلْءُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، وَمِلْءُ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ
بَعْدُ، أَهْلَ الثَّنَاءِ وَالْمَجْدِ، أَحَقُّ مَا قَالَ الْعَبْدُ، وَكُلُّنَا
لَكَ عَبْدٌ: اللهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلَا
مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ (رواه
مسلم)
Dari Abu
Sa’id al-Khudhri, ia berkata: sesungguhnya Rasulallah saw jika bangkit dari
rukunya membaca: “Pujian sepenuh langit, pujian sepenuh bumi, pujian sepenuh
antara keduanya dan pujian sepenuh apa saja yang Engkau kehendakinya setelah
itu. Pemilik segala sanjungan dan pujian, sepantasnya apa yang dikatakan
seorang hamba dan kita semua hamba bagiMu. Ya Allah tidak ada Dzat yang mampu
menghalangi terhadap orang yang Engkau berikan sesuatu kepadanya. Dan tidak
ada Dzat yang mampu memberikan sesuatu kepada orang yang Engkau halangi. Dan
tiada berguna orang yang mempunyai keberuntungan di hadapan keberuntungan dari
pada-Mu”. (HR Muslim)
m. Mendahulukan kedua lutut kemudian
kedua tangan, hidung, dan kening jika hendak sujud.
عَنْ وَائِلٍ ابْنِ حِجْر رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَآلِهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ وَضَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ
(حسن أبو داود و الترمذي و النسائي)
Dari Wail bin Hijr ra, ia berkata:
“Saya melihat Nabi saw sujud, ia meletakan kedua lututnya sebelum kedua
tangannya” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasai’)
n.
Iftirasy yaitu duduk diatas
tumit kaki pada setiap duduk setelah sujud dan pada tasyahud awal kecuali pada
tasyahud akhir maka disunahkan duduk tawarruk yaitu memasukan kaki kiri ke kaki
kanan dengan posisi di atas paha.
o.
Do’a ketika duduk antara dua
sujud.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمَا أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَانَ
يَقُوْلُ بَيْنَ السَجْدَتَيْنِ رَبّ اغْفِرْ لِي وارْحَمْنِي واجْبُرْنِي
وَارْفَعْنِي وَارْزُقْنِي وَاهْدِني (أبو داود و الترمذي و الحاكم بإسناد جيد)
Sesuai dengan yang diajarkan Nabi
saw dalam haditsnya yang diriwayatkan dari Ibnu Umar ra, ia berkata:
“Sesungguhnya Rasulallah saw berdo’a antara dua sujud: “Rabbighfirli warhamni
wajburni warfa’ni warzuqni wahdini wa’afini”
p. Duduk
istirahat yaitu duduk sebentar setelah bangun dari sujud yang kedua dalam
raka’at pertama dan raka’at ketiga. Dalam hal ini terjadi perselisihan paham[38],
ada yang menyatakan bahwa duduk istirahat itu disyariatkan oleh nabi ada juga
yang tidak, adapun dalil yang menunjukan disyari’atkanya duduk istirahat menurut imam syafi’i:
عَنْ
مَالِكٍ بْنِ الحُوَيْرِثِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ إذَا كَانَ فِي الرَكْعَةِ الْأُولَى
وَالثَّالِثَةُ َمْ يَنْهَضْ حَتَّى يَسْتَوِيَ قَاعِدًا (رواه البخاري)
Dari Malik
bin al-Huwairist ra ia berkata: “Sesungguhnya Rasulallah saw (setelah bangun
dari sujud) pada raka’at pertama dan ketiga, beliau tidak langsung berdiri
kecuali duduk sempurna (sembentar)” (HR Bukhari)
Adapun
pendapat lain yang menyatakan tidak disyariatkanya duduk istirahat adalah
sebahai berikut: “ menurut imam malik, hanafi, ahmad ialah duduk tersebut tidak
disyariatkan. Dan yang jelas nabi melakukan hal tersebut disaat nabi tua dan
lemah badanya” (bulughul maram hal 61)
q. Membaca
do’a setelah tasyahud akhir sebelum salam
اَللَّهُمَّ
إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ
فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ
Artinya:
“Ya Allah, Sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari siksaan kubur, siksa
neraka Jahanam, fitnah kehidupan dan kematian, serta dari kejahatan fitnah
Almasih Dajjal”
r.
Memberi salam dengan memalingkan kepalanya ke kiri dan kanan
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُسَلِّمُ
عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ خَدِّهِ السَّلَامُ
عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ (حسن
صحيح أبو داود والترمذي)
Dari Abdullah ra, ia berkata:
sesungguhnya Rasulallah saw memberi salam ke kiri dan ke kanan sehingga
terlihat pipi beliau yang putih ”Assalamu ’alaikum warahmatullh, assalamu
’alikum wa rahmatallah” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, hadist hasan shahih)
s. Salam
kedua itu sunah. Salam pertama di dalam shalat termasuk rukun shalat yang tidak
boleh ditinggalkan. Jika seseorang buang angin, misalnya sebelum salam pertama
sempurna selesai, maka shalatnya batal. Hal ini berbeda dengan salam kedua.
Sebab salam kedua masuk ke kategori sunah-sunah shalat, bukan rukunnya. Jika
tertinggal, maka shalatnya tidaklah batal. [islamnya muslim]
E.
Macam-Macam
Shalat Sunnah
Macam-Macam Shalat
Sunnah
1. Shalat
‘Id
Shalat
‘id atau shalat hari raya hukumnya adalah sunnah muakkad karena Rasulullah
tetap melakukan shalat ‘id selama beliau hidup. Shalat ‘id ada 2, yaitu:
a. Shalat
Sunnah Idul Fitri
b. Shalat
Sunnah Idul Adha
Dasar hukum:
Firman Allah swt
فَصَلِّ
لِرَبِّكَ وَانْحَرْ [١٠٨:٢]
“ Maka dirikanlah shalat; dan berkurbanlah”
(Alkautsar/108:2)
Dari Ibnu Abbas, “ sesungguhnya Nabi saw shalat hari
raya 2 rakaat. Beliau tidak shalat sebelum dan sesudahnya.”
Tempat shalat ‘id yang lebih baik adalah di tanah
lapang, kecuali kalau ada halangan seperti hujan dan sebagainya. Alamah Ibnul
Qayyim berkata, “biasanya Rasulullah saw. Melakukan shalat dua hari raya pada
tempat yang dinamakan mushalla[39].
Beliau tidak pernah shalat ‘id di masjid kecuali satu kali, yaitu ketika mereka
kehujanan.” Apalagi ketika dipandang dari sudut keadaan shalat hari raya itu
untuk syiar agama, maka lebih baik dilaksanakan ditanah lapang.
Sebagian ulama berpendapat, “lebih baik di masjid
sebab masjid adalah tempat yang mulia.”
2. Shalat
Tarawih
Shalat
tarawih ialah salat malam pada bulan Ramadhan, hukumnya sunah muakkad, boleh
dikerjakan munfarid ataupun berjamaah. Waktunya yaitu sesudah shalat isya dan
sampai terbit fajar.
Dasar
hukum:
“Abu
Hurairah telah menceritakan bahwasanya Nabi Saw. selalu menganjurkan untuk
melakukan qiyam dibulan Ramadhan, tetapi tidak memerintahkan mereka dengan
perintah yang tegas (wajib). Untuk itu beliau bersabda ‘Barang siapa
mengerjakan salat (sunnah di malam hari) bulan Ramadhan karena iman dan
mengharap pahala (Allah), niscaya doa-doanya yang terdahulu diampuni.’ ”(HR.
Bukhari dan Muslim)
Jumlah
rakaat shalat tarawih:
Menurut
riwayat ahli hadist, Rasulullah tiga kali shalat di masjid bersama-sama dengan
orang banyak, yaitu pada malam tanggal 23, 25, dan 27 Ramadhan. Jumlah rakaat
yang ia kerjakan bersama-sama adalah delapan rakaat.
Dari Jabir “Sesungguhnya Nabi saw. telah
shalat bersama-sama mereka delapan rakaat, kemudian beliau shalat Witir.”
(akhrajahu ibnu Hibban).
Ada
riwayat yang mengatakan bahwa sesudah mereka shalat berjamaah di masjid, mereka
shalat lagi di rumah.
Jumlah
rakaat dalam shalat tarawih juga ada yang 20 rakaat. Jumlah tersebut
sebagaimana dijelaskan Umar bin Khattab melalui perbuatannya ketika terakhir
kali berkumpul dengan para shahabat yag shalat dibelakang seorang imam. Para
sahabat sepakat dengan beliau. Rasulullah saw. bersabda:
“Peganglah
sunnahku dan sunnah khulafaur Rasyidin dengan pegangan yang erat.”[40]
Ringkasnya,
bilangan rakaat shalat tarawih bermacam-macam dilakukan oleh umat islam sejak
masa Nabi saw. hingga masa sahabat.
3. Shalat
Tahajjud
Shalat
tahajjud ialah shalat pada waktu malam, lebih baik jika dikerjakan sesudah
larut malam, dan sesudah tidur. Bilangan rakaatnya tidak dibatasi, boleh
sekuatnya.
Sabda
Rasul saw.:
Dari
Abu Hurairah, “Tatkala Nabi ditanya orang, ‘apakah shalat yang lebih utama
selain shalat fardhu lima?’ Jawab beliau, ‘shalat padda waktu tengah malam’.”
Firman
Allah swt.
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ
نَافِلَةً لَّكَ عَسَىٰ أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُودًا [١٧:٧٩]
Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu
ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang
terpuji.
4. Shalat
Dhuha
Shalat
dhuha ialah shalat sunnah dua rakaat atau lebih, sebanyak-banyaknya 12 rakaat.
Shalat ini dikerjakan ketika matahari naik setinggi tombak sampai matahari tergelincir.
Sabda
Rasulullah saw.
Dari
Anas, “Nabi saw. berkata, ‘Barang siapa shalat duha 12 rakaat, Allah akan
membuatkan baginya istana disurga’.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
5. Shalat
Istikharah
Shalat
Istikharah adalah shalat sunnah dua rakaat yang disunnahkan bagi orang yang
bermaksud memilih dan mencari tahu yang terbaik dari beberapa pilihan hal yang mubah.[41]
Dasar
hukum:
Dari
Jabir bin Abdullah, “Rasulullah saw. mengajar kami untuk meminta petunjuk dari
beberapa perkara yang penting. Beliau berkata, ‘Apabila salah seorang diantara
kamu menghendaki suatu pekerjaan, hendaklah ia salat dua rakaat, Kemudian
berdoalah: Allahumma… sampai akhir’.”
6. Shalat
Witir
Shalat
witir artinya shalat ganjil (satu rakaat, tiga rakaat, lima rakaat, tujuh
rakaat, Sembilan rakaat, atau sebelas rakaat). shalat witir adalah shalat
sunnah. Dalam riwayat dari Ali, dia berkata : “shalat witir bukanlah kewajiban
seperti shalat fardhu, tetapi Rasulullah saw. pernah bersabda, ‘Sesungguhnya
Allah ganjil dan Allah menyukai ganjil, maka shalat witirlah kalian wahai
pengemban AlQur’an’.”
Sabda
Rasul saw. :
Dari
Abu Ayyub, “Nabi saw. berkata, ‘Witir itu hak. Maka siapa yang suka mengerjakan
lima rakaat kerjakanlah; siapa yang suka tiga rakaat kerjakanlah; dan siapa
yang suka satu rakaat kerjakanlah’.”
Dari
Aisyah, “Nabi saw. shalat sebelas rakaat diantara setelah shalat isya sampai
terbit fajar. Beliau memberi salam tiap-tiap dua rakaat dan yang penghabisannya
satu rakaat.”[42]
Menurut
ulama’ Hanafiyah shalat witir adalah wajib. Wajib disini adalah fardhu yang
bersifat amali (wajib secara
perbuatan) bukan wajib i’tiqadi
(wajib secara keyakinan) yang tidak menyebabkan kafir bila diingkari.
Dasar
hukum:
Riwayat
dari Buraidah, dia berkata: “Rasulullah saw. bersabda, ‘shalat witir adalah haq
(sangat dianjurkan), siapa yang tidak mengerjakan shalat witir maka tidak
termasuk golongan kami’. Beliau mengucapkannya tiga kali.” (HR. Abu Daud)
DAFTAR PUSTAKA
Al Rahbawi,
Abdul Qadir, Salat Empat Madzab, Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa.
Amin,
Samsul Munir dan Haryanto Al-Fandi, etika beribadah berdasarkan Alquran dan
sunnah, jakarta: amzah, 2011.
Anonimus, Shalat
Perspektif Empat Mahdzab,dalam http://excellent165.blogspot.com/2013/05/shalat-prespektif-empat-mazhab_2087.html
diakses 16-9-2014 13:21
Ar Rahbawi,
Abdul
Qadir,
Fiqh
Shalat Empat Madzhab,
Yogyakarta: Hikam Pustaka, 2008
Sulaiman Rasjid, Fiqh
Islam, Bandung: Algesindo, 2001.
Syaikh Mutawalli Al-Sya’rawi, Tirulah Shalat
Nabi: Jangan Asal Shalat, Bandung:
Mizania, 2007.
Wahab,
Abdul Aziz Muhammad,
Dkk, Fiqih Ibadah, Jakarta: Amzah 2010.
Zakaria,
Aceng, Al Hidayah Edisi Kompilasi, Garut : Ibnu Azka 2003, Hal 74
[1]
Samsul Munir Amin dan
Haryanto Al-Fandi, etika beribadah berdasarkan Alquran dan sunnah, jakarta:
amzah, 2011, hal., 103-112
[2]
Ibid, hal., 121
[3]
Aceng Zakaria, Al Hidayah Edisi Kompilasi, Garut : Ibnu Azka 2003, Hal
74
hal 164-179
[4]
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah, Jakarta: Amzah, 2010, hal. 187
[5]Syaikh
Mutawalli Al-Sya’rawi, Tirulah Shalat Nabi: Jangan Asal Shalat, Bandung: Mizania, 2007, hal. 164.
[6]Shalat
Perspektif Empat Mahdzab,dalam http://excellent165.blogspot.com/2013/05/shalat-prespektif-empat-mazhab_2087.html
diakses 16-9-2014 13:21
[7]Abdul Qadir Al Rahbawi, Salat
Empat Madzab, Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, hal. 15.
[8]HR. Tirmidzi Juz 1 : 3, Abu Dawud
: 61, dan Ibnu Majah : 275. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani 5
dalam Irwa‟ul Ghalil : 301
[9] ibid.
[10]Shalat
Perspektif Empat Mahdzab,dalam http://excellent165.blogspot.com/2013/05/shalat-prespektif-empat-mazhab_2087.html
diakses 16-9-2014 13:21
[11] Muttafaq ‟alaih. HR. Bukhari Juz
1 : 723 dan Muslim Juz 1 : 394.
[12]
Shalat Perspektif Empat Mahdzab,dalam http://excellent165.blogspot.com/2013/05/shalat-prespektif-empat-mazhab_2087.html
diakses 16-9-2014 13:21
[13]Abdul Aziz Muhammad Azzam dan
Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh..., hal. 192.
[14] Ibid.,
[15]
Shalat Perspektif Empat Mahdzab,dalam http://excellent165.blogspot.com/2013/05/shalat-prespektif-empat-mazhab_2087.html
diakses 16-9-2014 13:21
[16] HR. Tirmidzi Juz 2 : 265, lafazh
ini miliknya, Abu Dawud : 855, dan Ibnu Majah 871. Hadits ini dishahihkan oleh
Syaikh Al-Albani 5 dalam
Shahih At-Targhib wat Tarhib Juz 1 : 526.
[17]
Abdul Qadir Al Rahbawi, Salat...,
hal. 224.
[18]HR. Bukhari Juz 1 : 724 dan
Muslim Juz 1 : 397.
[19] Abdul Qadir Al Rahbawi, Salat...,
hal. 225.
[20]
Shalat Perspektif Empat Mahdzab,dalam http://excellent165.blogspot.com/2013/05/shalat-prespektif-empat-mazhab_2087.html
diakses 16-9-2014 13:21
[21]HR.
Daraquthni : 348. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani 5 dalam Shifat
Shalat.
[22] Muttafaq ‟alaih. HR. Bukhari Juz
1 : 776 dan Muslim Juz 1 : 490, lafazh ini miliknya.
[23] Shalat Perspektif Empat Mahdzab,dalam http://excellent165.blogspot.com/2013/05/shalat-prespektif-empat-mazhab_2087.html
diakses 16-9-2014 13:21
[24] HR.
Bukhari Juz 1 : 724 dan Muslim Juz 1 : 397.
[25]
Shalat Perspektif Empat Mahdzab,dalam http://excellent165.blogspot.com/2013/05/shalat-prespektif-empat-mazhab_2087.html
diakses 16-9-2014 13:21
[26]
Abdul Aziz Muhammad Azzam
dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah..., hal. 196.
[27] Shalat Perspektif Empat
Mahdzab,dalam http://excellent165.blogspot.com/2013/05/shalat-prespektif-empat-mazhab_2087.html diakses 16-9-2014 13:21
[29]
HR. Tirmidzi Juz 1 : 3, Abu
Dawud : 61, dan Ibnu Majah : 275. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani 5 dalam Irwa‟ul
Ghalil : 301. 122 HR. Bukhari Juz 1 : 605.
[31]
Shalat Perspektif Empat Mahdzab,dalam http://excellent165.blogspot.com/2013/05/shalat-prespektif-empat-mazhab_2087.html
diakses 16-9-2014 13:21
[32]
Ibid.,
[33] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan
Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh..., hal.187-198.
[35]
Abdul Aziz Muhammad Wahab Dkk, Fiqih Ibadah, Jakarta: Amzah 2010, Hal199
[36]
Aceng Zakaria, Al Hidayah Edisi Kompilasi, Garut : Ibnu Azka 2003, Hal
74
[37]
Abdul Aziz Muhammad Wahab Dkk, Fiqih Ibadah,
Jakarta: Amzah 2010, Hal199
[38]
Aceng zakaria, Al Hidayah edisi kompilasi edisi kedua .. Hal 42
[39] Nama tempat di dekat pintu
gerbang kota Madinah di sebelah timur kota. Sekarang ia menjadi tempat
perhentian kendaraan orang haji yang hendak ke Madinah.
[40] Abdul Qadir Ar Rahbawi, Fiqh
Shalat Empat Madzhab, (Yogyakarta: Hikam Pustaka, 2008), hal. 271.
[41]
Abdul Qadir Ar Rahbawi,
Fiqh Shalat Empat Madzhab, (Yogyakarta: Hikam Pustaka, 2008), hal. 292.
[42]
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Algesindo, 2001),
hal.
Water Hack Burns 2 lb of Fat OVERNIGHT
BalasHapusMore than 160 thousand women and men are using a easy and SECRET "liquid hack" to lose 2 lbs each night while they sleep.
It's scientific and it works all the time.
You can do it yourself by following these easy steps:
1) Go get a drinking glass and fill it half full
2) Proceed to use this crazy HACK
and become 2 lbs thinner the next day!