Kebijakan Pendidikan Pondok Pesantren
dan Madrasah
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata
Kuliah Kebijakan
Pendidikan
Dosen Pengampu : Drs. Mujahid,
M.Ag.
Disusun Oleh :
Riza
Alfarid (12410059)
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014/2015
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dalam
Undang-undang menyatakan bahwa masyarakat berhak memperoleh pendidikan.Di
Indonesia sendiri banyak lembaga pendidikan baik yang dikelola
pemerintah,swasta maupun yayasan.Lembaga-lembaga pendidikan ini mempunyai
karakteristik tersendiri tergantung dari yayasan yang menyelenggarakannya.bagi
yang memeluk agama islam ada Pondok pesantren yang terfokus mempelajari ajaran
agama secara mendalam,juga ada madrasah yang mengkombinasikan antara pelajaran
agama dengan pelajaran umum,dan sekolah umum yang fokus mempelajari pelajaran
umum. Ketiga lembaga ini sama-sama mempunyai peran untuk memberikan Ilmu dan
memberdayakan masyarakat.Orang tua bisa memilih sesuai dengan minat dan
keinginan anaknya. Bagi orang yang hendak menguasai pendidikan umum mereka bisa
memilih jalur pendidikan umum, bagi mereka yang hendak mendalami dan menguasai
pendidikan agama, mereka bisa memilih lembaga pendidikan pesantren, dan bagi
yang berkeinginan ingin mengerti dan memahami kedua-duanya (agama dan umum)
bisa mengambil jalur madrasah.
Pondok
pesantren dan madrasah adalah instansi yang mempunyai tujuan sama, namun
berbeda dalam pengelolaannya. Diantara kedua lembaga ini masing-masing
mempunyai ciri khas. Dari sini dalam makalah ini ingin membahas lebih jauh
terkait kebijakan pemerintah dengan dua lembaga pendidikan ini.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana kebijakan pendidikan untuk Pondok
Pesantren?
2. Bagaimana kebijakan pendidikan untuk Madrasah?
C. Tujuan
Penulisan
1. Mengetahui
kebijakan pendidikan untuk Pondok Pesantren.
2. Mengetahui kebijakan pendidikan untuk Madrasah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kebijakan Pendidikan Pondok
Pesantren
Pondok pesantren adalah suatu
lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitar,
dengan sistem asrama (komplek) di mana santri-santri menerima pendidikan agama
melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan
dari leadership seseorang atau beberapa orang kiai dengan ciri-ciri khas
yang bersifat kharismatik serta independen dalam segala hal. Menurut lembaga Research
Islam, pesantren adalah ”suatu tempat yang tersedia untuk para santri dalam
menerima pelajaran-pelajaran agama Islam sekaligus tempat berkumpul dan tempat
tinggalnya.[1]
Pada awal tahun70-an, sebagian
kalangan menginginkan pesantren memberikan pelajaran umum bagi para santrinya.[2] Hal ini
melahirkan perbedaan pendapat di kalangan para pengamat dan pemerhati pondok
pesantren. Sebagian berpendapat bahwa pondok pesantren sebagai lembaga
pendidikan yang khas dan unik harus mempertahankan ketradisionalannya. Namun
pendapat lain menginginkan agar pondok pesantren mulai mengadopsi elemen-elemen
budaya dan pendidikan dari luar.[3]
Dari perbedaan itu menghasilkan dua
macam tipe pondok pesantren, dalam menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran
bagai para santrinya, secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam dua
bentuk pondok pesantren:
1.
Pondok
Pesantren Salafiyah, yaitu yang menyelenggarakan pengajaran Alquran dan
ilmu-ilmu agama Islam, serta kegiatan pendidikan dan pengajarannya sebagaimana
yang berlangsung sejak awal pertumbuhannya.
2. Pondok
Pesantren Khalafiyah, yaitu pondok pesantren yang selain menyelenggarakan
kegiatan pendidikan kepesantrenan, juga menyelenggarakan kegiatan pendidikan
formal (sekolah atau madrasah).
Kebijakan Departemen Agama
Dalam Pengembangan Pondok Pesantren.
Pada awal abad kedua puluhan, unsur
baru berupa sistem pendidikan klasikal mulai memasuki pesantren. Sejalan
dengan perkembangan dan perubahan bentuk pesantren, Menteri Agama RI.
Mengeluarkan peraturan nomor 3 tahun 1979, yang mengklasifikasikan pondok
pesantren sebagai berikut:
1.
Pondok Pesantren tipe A, yaitu dimana para santri belajar dan bertempat tinggal
di Asrama lingkungan pondok pesantren dengan pengajaran yang berlangsung secara
tradisional (sistem wetonan atau sorogan).
2.
Pondok Pesantren tipe B, yaitu yang menyelenggarakan pengajaran secara klasikal
dan pengajaran oleh kyai bersifat aplikasi, diberikan pada waktu-waktu
tertentu. Santri tinggal di asrama lingkungan pondok pesantren.
3.
Pondok Pesantren tipe C, yaitu pondok pesantren hanya merupakan asrama
sedangkan para santrinya belajar di luar (di madrasah atau sekolah umum
lainnya), kyai hanya mengawas dan sebagai pembina para santri tersebut.
4.
Pondok Pesantren tipe D, yaitu yang menyelenggarakan sistem pondok
pesantren dan sekaligus sistem sekolah atau madrasah.[4]
Peraturan Pemerintah, dalam hal ini
Menteri Agama yang mengelompokkan pesantren menjadi empat tipe tersebut, bukan
suatu keharusan bagi pondok pesantren tersebut. Namun, pemerintah menyikapi dan
menghargai perkembangan serta perubahan yang terjadi pada pondok pesantren itu
sendiri, walaupun perubahan dan perkembangan pondok pesantren tidak hanya
terbatas pada empat tipe saja, namu akan lebih beragam lagi. Dari tipe yang
sama akan terdapat perbedaan-perbedaan tertentu yang menjadikan satu sama
lain akan berbeda.
Populasi pondok pesantren ini
semakin bertambah dari tahun ke tahun, baik pondok pesantren tipe salafiyah
maupun khalafiyah yang kini tersebar di penjuru tanah air. Pesatnya pertumbuhan
pesantren ini akan sekan mendorong pemerintah untuk melembagakannya secara
khusus. Sehingga keluarlah surat keputusan Menteri Agama Republik
Indonesia nomor 18 tahun 1975 tentang susunan organisasi dan tata kerja
Departemen agama yang kemudian diubah dengan keputusan Menteri Agama RI nomor 1
tahun 2001, dan disempurnakan dengan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia
Nomor 10 Tahun 2010
Sesuai Keputusan Presiden RI No. 165 Tahun 2000
tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Departemen jo Keputusan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 2001 tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama.
Ditjen Kelembagaan Agama Islam terdiri dari :
- Sekretariat Direktorat Jenderal
- Direktorat Madrasah dan Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Umum
- Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren
- Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam
- Direktorat Pendidikan Agama Islam pada Masyarakat dan Pemberdayaan Masjid.
Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 63 Tahun 2005 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005,
mengubah Direktrorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam menjadi Direktorat
Jenderal Pendidikan Islam. Dan sebagai tindak lanjutnya ditetapkanlah Peraturan
Menteri Agama RI Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen
Agama. Direktorat Jenderal Pendidikan Islam dibagi menjadi 5 Direktorat,
yaitu :
- Sekretaris Direktorat Jenderal
- Direktorat Pendidikan Madrasah
- Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren
- Direktorat Pendidikan Tinggi Islam
- Direktorat Pendidikan Agama Islam pada Sekolah
- dan Kelompok Jabatan Fungsional.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009
tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara, dan Peraturan Presiden
Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas dam Fungsi Kementerian Negara
serta Susunan Organiasi, Tugas dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara. Sebagai
tindak lanjutnya ditetapkanlah Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor
10 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementeri Agama. Direktorat
Jenderal Pendidikan Islam dibagi menjadi 5 Direktorat, yaitu :
- Sekretariat Direktorat Jenderal Pendidikan Islam
- Direktorat Pendidikan Madrasah
- Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren
- Direktorat Pendidikan Agama Islam
- Direktorat Pendidikan Tinggi Islam[5]
Dengan tugas,Menyelenggarakan pembinaan dan pelayanan di bidang pendidikan
diniyah dan pondok pesantren berdasarkan kebijakan teknis yang ditetapkan oleh
Direktur Jenderal.
Dan fungsi ;
- Penyiapan bahan perumusan visi, misi, dan kebijakan di bidang pendidikan diniyah dan pondok pesantren;
- Perumusan standar nasional di bidang pendidikan diniyah, penyelenggaraan pendidikan salafiyah, pendidikan al-Qur`an, dan majelis taklim, pendidikan kesetaraan dan wajib belajar, bantuan dan beasiswa, serta pemberdayaan santri dan layanan kepada masyarakat;
- Pelaksanaan bimbingan teknis dan evaluasi pendidikan pada diniyah dan pondok pesantren;
- Pelaksanaan tata usaha dan rumah tangga direktorat.
Dengan keluarnya surat keputusan
tersebut, maka pendidikan pesantren telah mendapatkan perhatian yang sama dari
pemerintah terutama Departemen Agama. Saat ini telah menjadi direktorat
tersendiri yaitu direktorat pendidikan keagamaan dan pondok pesantren yang
bertujuan untuk meningkatkan pelayanan pondok pesantren secara optimal terhadap
masyarakat.
Data yang diperoleh dari kantor
Dinas Pendidikan, Departemen Agama serta Pemerintahan Daerah, sebagaian besar
anak putus sekolah, tamatan sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah, mereka tidak
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, namun mereka tersebar di
pondok pesantren dalam jumlah yang relatif banyak. Kondisi pondok pesantren
yang demikian akhirnya direspon oleh pemerintah. Sehingga lahirlah kesepakatan
bersama antara departemen Agama dan departemen Pendidikan dengan nomor
1/U/KB/2000 dan MA/86/2000 tentang pedoman pelaksanaan pondok pesantren sebagai pola pendidikan dasar.
Secara eskplisit, untuk
operasionalnya, setahun kemudian keluar surat keputusan Direktur Jendral
Kelembagaan Agama Islam, nomor E/239/2001 tentang panduan teknis
penyelenggaraan program wajib belajar pendidikan dasar pada pondok pesantren.
Pelaksanaan
Wajar Dikdas pada pesantren berbeda dengan pola yang biasa dilaksanakan di
sekolah formal SD/MI dan SMP/MTs. Pelaksanaan di
pesantren sedikit pleksibel sehingga tidak mengganggu aktivitas yang sudah
biasa dilakukan di pesantren. Pelaksanaan pembelajaran Wajar Dikdas
menyesuaikan waktu yang tersedia bisa pada pagi hari, siang, ataupun malam
hari. Kurikulum wajib hanya terdiri dari beberapa mata pelajaran saja seperti
Wajar Dikdas tingkat Ula : Bahasa Indonesia, Matematika, IPA,
IPS dan PPKN. Sedangkan Wajar Dikdas tingkat
Wustho : Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, PPKN,
IPA dan IPS.
Lahirnya UU nomor 02 tahun 1989,
yang disempurnakan menjadi UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional pada pasal 30 ayat 1 sampai ayat 4 disebutkan pendidikan keagamaan,
pondok pesantren termasuk bagian dari sistem pendidikan nasional. Merupakan
dokumen yang amat penting untuk menetukan arah dan kebijakan dalam
penanganan pendidikan pada pondok pesantren di masa yang akan datang.[6]
Pasal 30 UU nomor 20
tahun 2003
(1) Pendidikan
keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari
pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2)
Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat
yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli
ilmu agama.
(3)
Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal,
nonformal,dan informal.
(4)
Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja
samanera, dan bentuk
lain yang sejenis.
Dalam Undang-Undang Sisdiknas Nomor
20 Tahun 2003, pemerintah memberikan wewenang penuh kepada Kementerian Agama
Republik Indonesia untuk mengatur penyelenggaraan pendidikan di Madrasah
dan Pondok Pesantren, baik dalam hal pembiayaan, pengadaan dan pengembangan
Sumberdaya manusia, Pengembangan kelembagaan dan sarana, serta peningkatan mutu
lembaga pendidikan agama tersebut.
B. Kebijakan
Pendidikan Madrasah
Madrasah mengandung
arti tempat atau wahana anak mengenyam proses pembelajaran. Maksudnya adalah,
di madrasah inilah anak menjalani proses belajar secara terarah, terpimpin, dan
terkendali. Dengan demikian, secara teknis madsarah menggambarkan proses
pembelajaran secara formal yang tidak berbeda dengan sekolah. Hanya dalam
lingkup kultural, madarasah ini mempunyai konotasi spesifik. Yakni sebagai
lembaga pendidikan yang dalam proses pembelajaran dan pendidikannya
menitikberatkan pada persoalan agama. Kata madrasah, yang secara harfiah
identik dengan sekolah agama, lambat laun sesuai dengan perjalan peradaban
bangsa mengalami perubahan dalam meteri pelajaran yang diberikan kepada anak
peserta didiknya, madrasah dalam kegiatan pembelajarannya mulai menambah dengan
mata pelajaran umum yang tidak melepaskan diri dari makna asalnya yang sesuai
dengan ikatan budayanya, yakni budaya Islam.[7]
Madrasah pada
masa Hindia Belanda mulai tumbuh meskipun memperoleh pengakuan yang
setengah-setengah dari pemerintah Belanda. Tetapi pada umumnya madrasah-
madrasah itu, baik di Minangkabau, Jawa dan Kalimantan, berdiri semata-mata
karena kreasi tokoh dan organisasi tertentu tanpa dukungan dan legitimasi dari
pemerintah. [8]
Kebijakan
yang kurang menguntungkan terhadap pendidikan Islam masih berlanjut pada masa
penjajahan Jepang, meskipun terdapat beberapa modifikasi. Berbeda dengan
pemerintahan Hindia Belanda, pemerintahan Jepang membiarkan dibukanya kembali
madrasah-madrasah yang pernah ditutup pada masa sebelumnya. Namun demikian,
pemerintah Jepang tetap mewaspadai bahwa madrasah-madrasah itu memiliki potensi
perlawanan yang membahayakan bagi pendidikan Jepang di Indonesia.
Memasuki awal
orde lama, pemerintah membentuk departemen agama yang resmi berdiri pada
Tanggal 3 Januari 1946. Lembaga inilah yang secara intensif memperjuangkan
pendidikan islam di Indonesia. Orientasi usaha departemen agama dalam bidang
pendidikan islam bertumpu pada aspirasi umat islam agar pendidikan agama
diajarkan di sekolah-sekolah. Disamping Pada pengembangan madrasah itu sendiri.
Perkembangan
Madrasah pada masa orde lama sejak awal kemerdekaan sangat terkait dengan peran
Departemen Agama yang resmi berdiri pada tanggal 3 Januari 1946, dalam
perkembangan selanjutnya Departemen Agama menyeragamkan nama, jenis dan
tingkatan madrasah sebagaimana yang ada sekarang. Madrasah ini terbagi menjadi
dua kelompok. Pertama, madrasah yang menyelenggarakan pelajaran agama 30%
sebagaimana pelajaran dasar dan pelajaran umum 70%. Kedua, madrasah yang
menyelenggarakan pelajaran agama Islam murni yang disebut dengan Madrasah
Diniyah.
Dalam Undang-
undang No. 4 tahun 1950 Jo No. 12 tahun 1954 tentang dasar-dasar pendidikan dan
pengajaran di sekolah dalam pasal2 ditegaskan bahwa Undang-undang ini tidak
berlaku untuk pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah agama. Dan dalam
pasal 20 ayat 1 disebutkan bahwa pendidikan agama di sekolah bukan masa
pelajaran wajib dan bergantung pada persetujuan orang tua siswa. Dengan
rekomendasi ini, madrasah tetap berada di luar sistem pendidikan nasional, tetapi sudah merupakan langkah pengakuan akan
eksistensi madrasah dalam kerangka pendidikan nasional. [9]
Pada Tanggal 3
Desember 1960 keluar ketetapan MPRS no II/MPRS/1960 tentanng “garis-garis besar
pola pembangunan nasional semesta berencana, tahapan pertama tahun 1961-1969”
ketetapan ini menyebutkan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran di
sekolah-sekolah mulai di sekolah rakyat sampai universitas-universitas
negri,dengan pengertian bahwa murid-murid berhak tidak ikut serta, apabila wali
murid atau murid dewasa menyatakan keberatannya. Namun demikian, dalam
kaitannya dengan madrasah ketetapan ini telah memberi perhatian meskipun tidak
terlalu berarti, dengan merekomondasikan agar madrasah hendaknya berdiri
sendiri sebagai badan otonom dibawah pengawasan departemen pendidikan dan
kebbudayaan. [10]
Pada masa orde baru pemerintah mulai
memikirkan kemungkinan mengintegrasikan madrasah ke dalam pendidikan nasional.
Berdasarkan SKB (Surat Keputusan Bersama) tiga dimensi, yaitu Menteri Agama,
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1975,
Nomor 037/4 1975 dan Nomor 36 tahun 1975 tentang peningkatan mutu pendidikan
pada madrasah ditetapkan bahwa standar pendidikan madrasah sama dengan sekolah
umum, ijazahnya mempunyai nilai yang sama dengan sekolah umum dan lulusannya
dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas dan siswa madrasah dapat
berpindah ke sekolah umum yang setingkat. Lulusan Madrasah Aliyah dapat
melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi umum dan agama.
Pemerintah orde baru melakukan langkah konkrit berupa penyusunan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional. Dalam
konteks ini, penegasan definitif tentang madrasah diberikan melalui
keputusan-keputusan yang lebih operasional dan dimasukkan dalam kategori
pendidikan sekolah tanpa menghilangkan karakter keagamaannya. Melalui upaya ini
dapat dikatakan bahwa Madrasah berkembang secara terpadu dalam sistem pendidikan nasional. [11]
Pada masa orde baru ini madrasah mulai dapat
diterima oleh semua lapisan masyarakat mulai dari masyarakat kelas rendah
sampai masyarakat menengah keatas.
Sedangkan pertumbuhan jenjangnya menjadi 5 (jenjang) pendidikan yang secara
berturut-turut sebagai
berikut :
1) Raudatul Atfal (Bustanul Atfal).
Raudatul Atfal atau Bustanul
Atfal terdiri dari 3 tingkat :
1. Tingkat A untuk anak umur 3-4 tahun
2. Tingkat B untuk
anak umur 4-5 tahun
3. Tingkat C
untuk anak umur 5-6 tahun
2) Madrasah Ibtidaiyah.
Madrasah Ibtidaiyah ialah lembaga
pendidikan yang memberikan pendidikan dan pengajaran rendah serta menjadikan
mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang sekurang-kurangnya
30% disamping mata pelajaran umum.
3) Madrasah Tsanawiyah
Madrasah Tsanawiyah ialah lembaga
pendidikan yang memberikan pendidikan dan pengajaran tingkat menengah pertama
dan menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang
sekurang-kurangnya 30% disamping mata pelajaran umum.
4) Madrasah Aliyah.
Madrasah Aliyah ialah lembaga
pendidikan yang memberikan pendidikan dan pengajaran tingkat menengah keatas
dan menjadikan mata pelajaran agama Islam. Sebagai mata pelajaran dasar yang sekurang-kurangnya 30% disamping mata
pelajaran umum. Dewasa ini Madrasah Aliyah memiliki jurusan-jurusan : Ilmu
Agama, Fisika, Biologi, Ilmu Pengetahuan Sosial dan Budaya.
5) Madrasah Diniyah
Madrasah
Diniyah ialah lembaga pendidikan dan pelajaran agama Islam, yang berfungsi
terutama untuk memenuhi hasrat orang tua agar anak-anaknya lebih banyak
mendapat pendidikan agama Islam. Madrasah Diniyah ini terdiri 3
tingkat :
1.
Madrasah Diniyah Awaliyah ialah Madrasah Diniyah tingkat permulaan dengan kelas
4 dengan jam belajar sebanyak 18 jam pelajaran dan seminggu.
2.
Madrasah Diniyah Wusta ialah Madrasah Diniyah tingkat pertama dengan masa
belajar 2 (dua) tahun dari kelas I sampai kelas II dengan jam belajar sebanyak
18 jam pelajaran dalam seminggu.
3.
Madrasah Diniyah Ula ialah Madrasah Diniyah tingkat menengah atas dengan masa
belajar 2 tahun dari kelas I sampai kelas II dengan jumlah jam pelajaran 18 jam
pelajaran dalam seminggu.
Setelah
melewati sejarah dan waktu yang panjang penuh dengan dinamika, akhirnya
madrasah semakin mendapatkan tempat dan pengakuan dari pemerintah.
Undang-undang sisdiknas tahun 2003 telah semakin mempertegas posisi dan
kedudukan madrasah yang setara dengan sekolah umum lainnya. Oleh karenannya
masyarakat ataupun pemerintah tidak boleh lagi mendikotomikan antara sekolah
umum dengan sekolah agama, karena materi dan kebijakan-kebijakan yang biasanya
melekat pada lembaga pendidikan umum seperti, UAN, KBK dan KTSP juga berlaku
bagi madrasah.
BAB III
ANALISIS
A. Kebijakan Pendidikan Pondok Pesantren
Pesantren sebagai
lembaga pendidikan yang membentuk dan mengembangkan nilai-nilai moral, harus
menjadi pelopor sekaligus inspirator pembangkit moral bangsa. Proses
pengembangan dunia pesantren yang selain menjadi tanggung jawab internal
pesantren, juga harus didukung oleh perhatian yang serius dari pemerintah. Walaupun
peasaantren dulu mempunyai peran yang sangat penting pada masa penjajahan dalam
menuju Indonesia merdeka, selain juga pesantren memiliki pengalaman yang luar
biasa dalam membina dan mengembangkan masyarakat tapi nampaknya pemerintah
kurang memperhatikan perkembangan pesantren sendiri.
Permasalahan yang
timbul saat ini adalah status Permasalahan status pesantren,walaupun sudah ada
undang-undang yang menyatakan bahwa pesantren merupakan bagian dari sistem
pendidikan nasional, tapi dalam kenyataanya, pada umumnya ijazah yang diperoleh
dari lembaga ini belum diakui khususnya pesantren yang tidak mengikuti program
pendidikan nasional. Kebanyakan lembaga pendidikan ini masih seolah tertutup
dengan informasi perkembangan pendidikan dan globalisasi, hal ini dikarenakan
masih adanya asumsi bahwa era globalisasi (tehnologi informasi) dapat menggeser
nilai-nilai historisnya yang masih kental dengan prinsip-prinsip Islam, disini
penting dilakukan pengintegrasian antara ilmu agama sebagai dasar historisnya
dengan teknologi informasi sebagai langkah memodernisasi kemajuan sebuah
lembaga pendidikan Islam madrasah−swasta yang masih terbelakang.
Merujuk pada
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, posisi
dan keberadaan pesantren sebenarnya memiliki tempat yang istimewa. Tinggal
pelaksanaannya saja yang perlu dimaksimalkan.
B.
Kebijakan
Pendidikan Madrasah
Eksistensi madrasah
hingga kini walau peranannya yang demikian besar seolah tak sebanding dengan
kebijakan pemerintah terhadap madrasah sebagai bagian dari pendidikan nasional
selalu diwarnai dengan ragam polemiknya baik dari segi mutu, kurikulum,
kebijakan pemerintah dalam hal penganggaran dan sebagainya.
Permasalahan saat ini yang muncul
pada madrasah adalah ,Dualisme
pengelolaan pendidikan juga terjadi pada pembinaan yang dilakukan oleh
departemen yaitu Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan Departemen
Agama (Depag). Pembinaan Madrasah di bawah naungan Depag berhadapan dengan
Sekolah umum di bawah pembinaan Depdiknas sering menimbulkan kecemburuan sejak
di tingkat (SD dan MI) hingga perguruan tinggi. Dari alokasi dana, perhatian,
pembinaan manajerial, bantuan buku dan media pembelajaran, serta penempatan
guru, hingga pemberian beasiswa pendidikan lanjut sering tidak sama antara yang
diterima oleh sekolah umum (Depdiknas) dengan madrasah (Depag).
Dan hingga kini kepercayaan
masyarakat pada madrasah mulai menurun, disebabkan karena mutu, pengelolaan
lembaga pendidikan madrasah belum terkelolah secara profesionalisme baik dari
segi administrasi, etos kerja, maupun pembaharuan system manajemen. Lembaga
pendidikan madrasah dalam praktek pengelolaannya sebagian besar (khususnya
madrasah swasta) belum tangani sepenuhnya secara professional oleh orang
dibidangnya sehingga hal ini belum memberikan nilai jual dan nilai tawar bagi
masyarakat pada umumnya.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Lahirnya UU nomor 02 tahun 1989,
yang disempurnakan menjadi UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional pada pasal 30 ayat 1 sampai ayat 4 menjadi dasar bagi perkembangan
Pesabtren saat ini,agar menjadi lembaga yang lebih berkualitas dan merupakan
bagian dari psistem pendidikan nasional.UU ini merupakan dokumen yang amat
penting untuk menetukan arah dan kebijakan dalam penanganan pendidikan
pada pondok pesantren di masa yang akan datang.Dalam
Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, pemerintah memberikan wewenang
penuh kepada Kementerian Agama Republik Indonesia untuk mengatur
penyelenggaraan pendidikan di Madrasah dan Pondok Pesantren, baik dalam hal
pembiayaan, pengadaan dan pengembangan Sumberdaya manusia, Pengembangan
kelembagaan dan sarana, serta peningkatan mutu lembaga pendidikan agama
tersebut.
Begitu juga
madrasah,setelah melewati sejarah dan waktu yang panjang penuh dengan dinamika,
akhirnya madrasah semakin mendapatkan tempat dan pengakuan dari pemerintah.
Undang-undang sisdiknas tahun 2003 telah semakin mempertegas posisi dan
kedudukan madrasah yang setara dengan sekolah umum lainnya. Oleh karenannya
masyarakat ataupun pemerintah tidak boleh lagi mendikotomikan antara sekolah
umum dengan sekolah agama, karena materi dan kebijakan-kebijakan yang biasanya
melekat pada lembaga pendidikan umum seperti, UAN, KBK dan KTSP juga berlaku
bagi madrasah.
DAFTAR
PUSTAKA
Mahpuddin
Noor, Potret Dunia Pesantren, Bandung: Humaniora, 2006.
Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan Modernitas, Bandung : Miz an,
1999.
Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya,
Jakarta : Logos Wacana
Ilmu, 1999.
Mujamil
Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi
Institusi, Jakarta : Erlangga,
Nasution, Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
Nurcholish
Madjid, Bilik-Bilik Pesantren,Jakarta: P3M, 1985.
Agama
Republik Indonesia.
Diakses 26 April2015
[1]
Mujamil
Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi
Institusi, (Jakarta : Erlangga, t.t). h. 6.
[2] Mahpuddin Noor, Potret Dunia
Pesantren (Bandung: Humaniora, 2006), h. 56.
[3] Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik
Pesantren (Jakarta: P3M, 1985), h. 126.
[4]
Mahpuddin Noor, Potret Dunia Pesantren (Bandung:
Humaniora, 2006), h. 44.
[5] Sejarah
Pendidikan Islam dan Organisasi Ditjen Pendidikan Islam". Kementerian Agama Republik Indonesia. Diakses 26 April 2015
[6] Ibid, h. 162-163
[10] Ibid. h.130
[11] Ibid. h. 130-131
MAS SAYA COPAS YA....
BalasHapusMAKASIH....
SEMOGA MENJADI AMAL JARIYAH....
kaka, ini termasuk makalah peraturan yang ada dipesantren gasi ?
BalasHapus