Senin, 22 Mei 2017

Makalah Kebijakan Pesantren dan Madrasah



       Kebijakan Pendidikan Pondok Pesantren dan Madrasah
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kebijakan
Pendidikan
Dosen Pengampu : Drs. Mujahid, M.Ag.
 







Disusun Oleh :
Riza Alfarid (12410059)


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014/2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam Undang-undang menyatakan bahwa masyarakat berhak memperoleh pendidikan.Di Indonesia sendiri banyak lembaga pendidikan baik yang dikelola pemerintah,swasta maupun yayasan.Lembaga-lembaga pendidikan ini mempunyai karakteristik tersendiri tergantung dari yayasan yang menyelenggarakannya.bagi yang memeluk agama islam ada Pondok pesantren yang terfokus mempelajari ajaran agama secara mendalam,juga ada madrasah yang mengkombinasikan antara pelajaran agama dengan pelajaran umum,dan sekolah umum yang fokus mempelajari pelajaran umum. Ketiga lembaga ini sama-sama mempunyai peran untuk memberikan Ilmu dan memberdayakan masyarakat.Orang tua bisa memilih sesuai dengan minat dan keinginan anaknya. Bagi orang yang hendak menguasai pendidikan umum mereka bisa memilih jalur pendidikan umum, bagi mereka yang hendak mendalami dan menguasai pendidikan agama, mereka bisa memilih lembaga pendidikan pesantren, dan bagi yang berkeinginan ingin mengerti dan memahami kedua-duanya (agama dan umum) bisa mengambil jalur madrasah.
Pondok pesantren dan madrasah adalah instansi yang mempunyai tujuan sama, namun berbeda dalam pengelolaannya. Diantara kedua lembaga ini masing-masing mempunyai ciri khas. Dari sini dalam makalah ini ingin membahas lebih jauh terkait kebijakan pemerintah dengan dua lembaga pendidikan ini.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana kebijakan pendidikan untuk Pondok Pesantren?
2.      Bagaimana kebijakan pendidikan untuk Madrasah?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui kebijakan pendidikan untuk Pondok Pesantren.
2.      Mengetahui kebijakan pendidikan untuk Madrasah.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kebijakan Pendidikan Pondok Pesantren


Pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (komplek) di mana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari leadership seseorang atau beberapa orang kiai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatik serta independen dalam segala hal. Menurut lembaga Research Islam, pesantren adalah ”suatu tempat yang tersedia untuk para santri dalam menerima pelajaran-pelajaran agama Islam sekaligus tempat berkumpul dan tempat tinggalnya.[1]
Pada awal tahun70-an, sebagian kalangan menginginkan pesantren memberikan pelajaran umum bagi para santrinya.[2] Hal ini melahirkan perbedaan pendapat di kalangan para pengamat dan pemerhati pondok pesantren. Sebagian berpendapat bahwa pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan yang khas dan unik harus mempertahankan ketradisionalannya. Namun pendapat lain menginginkan agar pondok pesantren mulai mengadopsi elemen-elemen budaya dan pendidikan dari luar.[3]
Dari perbedaan itu menghasilkan dua macam tipe pondok pesantren, dalam menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran bagai para santrinya, secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam dua bentuk pondok pesantren:
1.       Pondok Pesantren Salafiyah, yaitu yang menyelenggarakan pengajaran Alquran dan ilmu-ilmu agama Islam, serta kegiatan pendidikan dan pengajarannya sebagaimana yang berlangsung sejak awal pertumbuhannya.
2.      Pondok Pesantren Khalafiyah, yaitu pondok pesantren yang selain menyelenggarakan kegiatan pendidikan kepesantrenan, juga menyelenggarakan kegiatan pendidikan formal (sekolah atau madrasah).

Kebijakan Departemen Agama Dalam Pengembangan Pondok Pesantren.
Pada awal abad kedua puluhan, unsur baru berupa sistem pendidikan klasikal mulai memasuki pesantren. Sejalan dengan  perkembangan dan perubahan bentuk pesantren, Menteri Agama RI. Mengeluarkan peraturan nomor 3 tahun 1979, yang mengklasifikasikan pondok pesantren sebagai berikut:
1.       Pondok Pesantren tipe A, yaitu dimana para santri belajar dan bertempat tinggal di Asrama lingkungan pondok pesantren dengan pengajaran yang berlangsung secara tradisional (sistem wetonan atau sorogan).
2.      Pondok Pesantren tipe B, yaitu yang menyelenggarakan pengajaran secara klasikal dan pengajaran oleh kyai bersifat aplikasi, diberikan pada waktu-waktu tertentu. Santri tinggal di asrama lingkungan pondok pesantren.
3.      Pondok Pesantren tipe C, yaitu pondok pesantren hanya merupakan asrama sedangkan para santrinya belajar di luar (di madrasah atau sekolah umum lainnya), kyai hanya mengawas dan sebagai pembina para santri tersebut.
4.    Pondok Pesantren tipe D, yaitu yang menyelenggarakan sistem pondok pesantren dan sekaligus sistem sekolah atau madrasah.[4]

Peraturan Pemerintah, dalam hal ini Menteri Agama yang mengelompokkan pesantren menjadi empat tipe tersebut, bukan suatu keharusan bagi pondok pesantren tersebut. Namun, pemerintah menyikapi dan menghargai perkembangan serta perubahan yang terjadi pada pondok pesantren itu sendiri, walaupun perubahan dan perkembangan pondok pesantren tidak hanya terbatas pada empat tipe saja, namu akan lebih beragam lagi. Dari tipe yang sama akan terdapat perbedaan-perbedaan tertentu  yang menjadikan satu sama lain akan berbeda.
Populasi pondok pesantren ini semakin bertambah dari tahun ke tahun, baik pondok pesantren tipe salafiyah maupun khalafiyah yang kini tersebar di penjuru tanah air. Pesatnya pertumbuhan pesantren ini akan sekan mendorong pemerintah untuk melembagakannya secara khusus. Sehingga keluarlah surat  keputusan Menteri Agama Republik Indonesia nomor 18 tahun 1975 tentang susunan organisasi dan tata kerja Departemen agama yang kemudian diubah dengan keputusan Menteri Agama RI nomor 1 tahun 2001, dan disempurnakan dengan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010
Sesuai Keputusan Presiden RI No. 165 Tahun 2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen jo Keputusan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama. Ditjen Kelembagaan Agama Islam terdiri dari :
  1. Sekretariat Direktorat Jenderal
  2. Direktorat Madrasah dan Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Umum
  3. Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren
  4. Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam
  5. Direktorat Pendidikan Agama Islam pada Masyarakat dan Pemberdayaan Masjid.
Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2005 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005, mengubah Direktrorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam menjadi Direktorat Jenderal Pendidikan Islam. Dan sebagai tindak lanjutnya ditetapkanlah Peraturan Menteri Agama RI Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama. Direktorat Jenderal Pendidikan Islam dibagi menjadi 5 Direktorat, yaitu :
  1. Sekretaris Direktorat Jenderal
  2. Direktorat Pendidikan Madrasah
  3. Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren
  4. Direktorat Pendidikan Tinggi Islam
  5. Direktorat Pendidikan Agama Islam pada Sekolah
  6. dan Kelompok Jabatan Fungsional.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara, dan Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas dam Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organiasi, Tugas dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara. Sebagai tindak lanjutnya ditetapkanlah Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementeri Agama. Direktorat Jenderal Pendidikan Islam dibagi menjadi 5 Direktorat, yaitu :
  1. Sekretariat Direktorat Jenderal Pendidikan Islam
  2. Direktorat Pendidikan Madrasah
  3. Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren
  4. Direktorat Pendidikan Agama Islam
  5. Direktorat Pendidikan Tinggi Islam[5]
Dengan tugas,Menyelenggarakan pembinaan dan pelayanan di bidang pendidikan diniyah dan pondok pesantren berdasarkan kebijakan teknis yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
Dan fungsi ;
  • Penyiapan bahan perumusan visi, misi, dan kebijakan di bidang pendidikan diniyah dan pondok pesantren;
  • Perumusan standar nasional di bidang pendidikan diniyah, penyelenggaraan pendidikan salafiyah, pendidikan al-Qur`an, dan majelis taklim, pendidikan kesetaraan dan wajib belajar, bantuan dan beasiswa, serta pemberdayaan santri dan layanan kepada masyarakat;
  • Pelaksanaan bimbingan teknis dan evaluasi pendidikan pada diniyah dan pondok pesantren;
  • Pelaksanaan tata usaha dan rumah tangga direktorat.

Dengan keluarnya surat keputusan tersebut, maka pendidikan pesantren telah mendapatkan perhatian yang sama dari pemerintah terutama Departemen Agama. Saat ini telah menjadi direktorat tersendiri yaitu direktorat pendidikan keagamaan dan pondok pesantren yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan pondok pesantren secara optimal terhadap masyarakat.
Data yang diperoleh dari kantor Dinas Pendidikan, Departemen Agama serta Pemerintahan Daerah, sebagaian besar anak putus sekolah, tamatan sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah, mereka tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, namun mereka tersebar di pondok pesantren dalam jumlah yang relatif banyak. Kondisi pondok pesantren yang demikian akhirnya direspon oleh pemerintah. Sehingga lahirlah kesepakatan bersama antara departemen Agama dan departemen Pendidikan dengan nomor 1/U/KB/2000 dan MA/86/2000 tentang pedoman pelaksanaan pondok pesantren  sebagai pola pendidikan dasar.
Secara eskplisit, untuk operasionalnya, setahun kemudian keluar surat keputusan Direktur Jendral Kelembagaan Agama Islam, nomor E/239/2001 tentang panduan teknis penyelenggaraan program wajib belajar pendidikan dasar pada pondok pesantren. Pelaksanaan Wajar Dikdas pada pesantren berbeda dengan pola yang biasa dilaksanakan di sekolah formal SD/MI dan SMP/MTs. Pelaksanaan di pesantren sedikit pleksibel sehingga tidak mengganggu aktivitas yang sudah biasa dilakukan di pesantren. Pelaksanaan pembelajaran Wajar Dikdas menyesuaikan waktu yang tersedia bisa pada pagi hari, siang, ataupun malam hari. Kurikulum wajib hanya terdiri dari beberapa mata pelajaran saja seperti Wajar Dikdas tingkat Ula : Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS dan PPKN. Sedangkan Wajar Dikdas tingkat Wustho : Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, PPKN, IPA dan IPS.
Lahirnya UU nomor 02 tahun 1989, yang disempurnakan menjadi UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada pasal 30 ayat 1 sampai ayat 4 disebutkan pendidikan keagamaan, pondok pesantren termasuk bagian dari sistem pendidikan nasional. Merupakan dokumen yang amat penting untuk menetukan arah dan kebijakan  dalam penanganan pendidikan pada pondok pesantren di masa yang akan datang.[6]
Pasal 30 UU nomor 20 tahun 2003
(1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
(3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal,dan informal.
(4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja
samanera, dan bentuk lain yang sejenis.
Dalam Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, pemerintah memberikan wewenang penuh kepada Kementerian Agama  Republik Indonesia untuk mengatur penyelenggaraan pendidikan di Madrasah dan Pondok Pesantren, baik dalam hal pembiayaan, pengadaan dan pengembangan Sumberdaya manusia, Pengembangan kelembagaan dan sarana, serta peningkatan mutu lembaga pendidikan  agama tersebut.



B.     Kebijakan Pendidikan Madrasah
Madrasah mengandung arti tempat atau wahana anak mengenyam proses pembelajaran. Maksudnya adalah, di madrasah inilah anak menjalani proses belajar secara terarah, terpimpin, dan terkendali. Dengan demikian, secara teknis madsarah menggambarkan proses pembelajaran secara formal yang tidak berbeda dengan sekolah. Hanya dalam lingkup kultural, madarasah ini mempunyai konotasi spesifik. Yakni sebagai lembaga pendidikan yang dalam proses pembelajaran dan pendidikannya menitikberatkan pada persoalan agama. Kata madrasah, yang secara harfiah identik dengan sekolah agama, lambat laun sesuai dengan perjalan peradaban bangsa mengalami perubahan dalam meteri pelajaran yang diberikan kepada anak peserta didiknya, madrasah dalam kegiatan pembelajarannya mulai menambah dengan mata pelajaran umum yang tidak melepaskan diri dari makna asalnya yang sesuai dengan ikatan budayanya, yakni budaya Islam.[7]
Madrasah pada masa Hindia Belanda mulai tumbuh meskipun memperoleh pengakuan yang setengah-setengah dari pemerintah Belanda. Tetapi pada umumnya madrasah- madrasah itu, baik di Minangkabau, Jawa dan Kalimantan, berdiri semata-mata karena kreasi tokoh dan organisasi tertentu tanpa dukungan dan legitimasi dari pemerintah. [8]
 Kebijakan yang kurang menguntungkan terhadap pendidikan Islam masih berlanjut pada masa penjajahan Jepang, meskipun terdapat beberapa modifikasi. Berbeda dengan pemerintahan Hindia Belanda, pemerintahan Jepang membiarkan dibukanya kembali madrasah-madrasah yang pernah ditutup pada masa sebelumnya. Namun demikian, pemerintah Jepang tetap mewaspadai bahwa madrasah-madrasah itu memiliki potensi perlawanan yang membahayakan bagi pendidikan Jepang di Indonesia.
Memasuki awal orde lama, pemerintah membentuk departemen agama yang resmi berdiri pada Tanggal 3 Januari 1946. Lembaga inilah yang secara intensif memperjuangkan pendidikan islam di Indonesia. Orientasi usaha departemen agama dalam bidang pendidikan islam bertumpu pada aspirasi umat islam agar pendidikan agama diajarkan di sekolah-sekolah. Disamping Pada pengembangan madrasah itu sendiri.
 Perkembangan Madrasah pada masa orde lama sejak awal kemerdekaan sangat terkait dengan peran Departemen Agama yang resmi berdiri pada tanggal 3 Januari 1946, dalam perkembangan selanjutnya Departemen Agama menyeragamkan nama, jenis dan tingkatan madrasah sebagaimana yang ada sekarang. Madrasah ini terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, madrasah yang menyelenggarakan pelajaran agama 30% sebagaimana pelajaran dasar dan pelajaran umum 70%. Kedua, madrasah yang menyelenggarakan pelajaran agama Islam murni yang disebut dengan Madrasah Diniyah.
Dalam Undang- undang No. 4 tahun 1950 Jo No. 12 tahun 1954 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah dalam pasal2 ditegaskan bahwa Undang-undang ini tidak berlaku untuk pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah agama. Dan dalam pasal 20 ayat 1 disebutkan bahwa pendidikan agama di sekolah bukan masa pelajaran wajib dan bergantung pada persetujuan orang tua siswa. Dengan rekomendasi ini, madrasah tetap berada di luar sistem pendidikan nasional, tetapi sudah merupakan langkah pengakuan akan eksistensi madrasah dalam kerangka pendidikan nasional. [9]
Pada Tanggal 3 Desember 1960 keluar ketetapan MPRS no II/MPRS/1960 tentanng “garis-garis besar pola pembangunan nasional semesta berencana, tahapan pertama tahun 1961-1969” ketetapan ini menyebutkan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai di sekolah rakyat sampai universitas-universitas negri,dengan pengertian bahwa murid-murid berhak tidak ikut serta, apabila wali murid atau murid dewasa menyatakan keberatannya. Namun demikian, dalam kaitannya dengan madrasah ketetapan ini telah memberi perhatian meskipun tidak terlalu berarti, dengan merekomondasikan agar madrasah hendaknya berdiri sendiri sebagai badan otonom dibawah pengawasan departemen pendidikan dan kebbudayaan. [10]
Pada masa orde baru pemerintah mulai memikirkan kemungkinan mengintegrasikan madrasah ke dalam pendidikan nasional. Berdasarkan SKB (Surat Keputusan Bersama) tiga dimensi, yaitu Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1975, Nomor 037/4 1975 dan Nomor 36 tahun 1975 tentang peningkatan mutu pendidikan pada madrasah ditetapkan bahwa standar pendidikan madrasah sama dengan sekolah umum, ijazahnya mempunyai nilai yang sama dengan sekolah umum dan lulusannya dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas dan siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat. Lulusan Madrasah Aliyah dapat melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi umum dan agama.
 Pemerintah orde baru melakukan langkah konkrit berupa penyusunan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional. Dalam konteks ini, penegasan definitif tentang madrasah diberikan melalui keputusan-keputusan yang lebih operasional dan dimasukkan dalam kategori pendidikan sekolah tanpa menghilangkan karakter keagamaannya. Melalui upaya ini dapat dikatakan bahwa Madrasah berkembang secara terpadu dalam sistem pendidikan nasional. [11]
 Pada masa orde baru ini madrasah mulai dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat mulai dari masyarakat kelas rendah sampai masyarakat menengah keatas.
            Sedangkan pertumbuhan jenjangnya menjadi 5 (jenjang) pendidikan yang secara berturut-turut sebagai
berikut :
  1)   Raudatul Atfal (Bustanul Atfal).
Raudatul Atfal atau Bustanul Atfal terdiri dari 3 tingkat :
1.      Tingkat A untuk anak umur 3-4 tahun
2.      Tingkat B untuk anak umur 4-5 tahun
3.      Tingkat C untuk anak umur 5-6 tahun
2) Madrasah Ibtidaiyah.
Madrasah Ibtidaiyah ialah lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan dan pengajaran rendah serta menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang sekurang-kurangnya 30% disamping mata pelajaran umum.
3) Madrasah Tsanawiyah
Madrasah Tsanawiyah ialah lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan dan pengajaran tingkat menengah pertama dan menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang sekurang-kurangnya 30% disamping mata pelajaran umum.
4) Madrasah Aliyah.
Madrasah Aliyah ialah lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan dan pengajaran tingkat menengah keatas dan menjadikan mata pelajaran agama Islam. Sebagai mata pelajaran dasar yang sekurang-kurangnya 30% disamping mata pelajaran umum. Dewasa ini Madrasah Aliyah memiliki jurusan-jurusan : Ilmu Agama, Fisika, Biologi, Ilmu Pengetahuan Sosial dan Budaya.
5) Madrasah Diniyah
Madrasah Diniyah ialah lembaga pendidikan dan pelajaran agama Islam, yang berfungsi terutama untuk memenuhi hasrat orang tua agar anak-anaknya lebih banyak mendapat pendidikan agama Islam. Madrasah Diniyah ini terdiri 3 tingkat :
1.      Madrasah Diniyah Awaliyah ialah Madrasah Diniyah tingkat permulaan dengan kelas 4 dengan jam belajar sebanyak 18 jam pelajaran dan seminggu.
2.      Madrasah Diniyah Wusta ialah Madrasah Diniyah tingkat pertama dengan masa belajar 2 (dua) tahun dari kelas I sampai kelas II dengan jam belajar sebanyak 18 jam pelajaran dalam seminggu.
3.      Madrasah Diniyah Ula ialah Madrasah Diniyah tingkat menengah atas dengan masa belajar 2 tahun dari kelas I sampai kelas II dengan jumlah jam pelajaran 18 jam pelajaran dalam seminggu.
Setelah melewati sejarah dan waktu yang panjang penuh dengan dinamika, akhirnya madrasah semakin mendapatkan tempat dan pengakuan dari pemerintah. Undang-undang sisdiknas tahun 2003 telah semakin mempertegas posisi dan kedudukan madrasah yang setara dengan sekolah umum lainnya. Oleh karenannya masyarakat ataupun pemerintah tidak boleh lagi mendikotomikan antara sekolah umum dengan sekolah agama, karena materi dan kebijakan-kebijakan yang biasanya melekat pada lembaga pendidikan umum seperti, UAN, KBK dan KTSP juga berlaku bagi madrasah.
















BAB III
ANALISIS
A.    Kebijakan Pendidikan Pondok Pesantren
Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang membentuk dan mengembangkan nilai-nilai moral, harus menjadi pelopor sekaligus inspirator pembangkit moral bangsa. Proses pengembangan dunia pesantren yang selain menjadi tanggung jawab internal pesantren, juga harus didukung oleh perhatian yang serius dari pemerintah. Walaupun peasaantren dulu mempunyai peran yang sangat penting pada masa penjajahan dalam menuju Indonesia merdeka, selain juga pesantren memiliki pengalaman yang luar biasa dalam membina dan mengembangkan masyarakat tapi nampaknya pemerintah kurang memperhatikan perkembangan pesantren sendiri.
Permasalahan yang timbul saat ini adalah status Permasalahan status pesantren,walaupun sudah ada undang-undang yang menyatakan bahwa pesantren merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional, tapi dalam kenyataanya, pada umumnya ijazah yang diperoleh dari lembaga ini belum diakui khususnya pesantren yang tidak mengikuti program pendidikan nasional. Kebanyakan lembaga pendidikan ini masih seolah tertutup dengan informasi perkembangan pendidikan dan globalisasi, hal ini dikarenakan masih adanya asumsi bahwa era globalisasi (tehnologi informasi) dapat menggeser nilai-nilai historisnya yang masih kental dengan prinsip-prinsip Islam, disini penting dilakukan pengintegrasian antara ilmu agama sebagai dasar historisnya dengan teknologi informasi sebagai langkah memodernisasi kemajuan sebuah lembaga pendidikan Islam madrasah−swasta yang masih terbelakang.
Merujuk pada Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, posisi dan keberadaan pesantren sebenarnya memiliki tempat yang istimewa. Tinggal pelaksanaannya saja yang perlu dimaksimalkan.




B.     Kebijakan Pendidikan Madrasah
Eksistensi madrasah hingga kini walau peranannya yang demikian besar seolah tak sebanding dengan kebijakan pemerintah terhadap madrasah sebagai bagian dari pendidikan nasional selalu diwarnai dengan ragam polemiknya baik dari segi mutu, kurikulum, kebijakan pemerintah dalam hal penganggaran dan sebagainya.
Permasalahan saat ini yang muncul pada madrasah adalah ,Dualisme pengelolaan pendidikan juga terjadi pada pembinaan yang dilakukan oleh departemen yaitu Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan Departemen Agama (Depag). Pembinaan Madrasah di bawah naungan Depag berhadapan dengan Sekolah umum di bawah pembinaan Depdiknas sering menimbulkan kecemburuan sejak di tingkat (SD dan MI) hingga perguruan tinggi. Dari alokasi dana, perhatian, pembinaan manajerial, bantuan buku dan media pembelajaran, serta penempatan guru, hingga pemberian beasiswa pendidikan lanjut sering tidak sama antara yang diterima oleh sekolah umum (Depdiknas) dengan madrasah (Depag).
Dan hingga kini kepercayaan masyarakat pada madrasah mulai menurun, disebabkan karena mutu, pengelolaan lembaga pendidikan madrasah belum terkelolah secara profesionalisme baik dari segi administrasi, etos kerja, maupun pembaharuan system manajemen. Lembaga pendidikan madrasah dalam praktek pengelolaannya sebagian besar (khususnya madrasah swasta) belum tangani sepenuhnya secara professional oleh orang dibidangnya sehingga hal ini belum memberikan nilai jual dan nilai tawar bagi masyarakat pada umumnya.






BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan

Lahirnya UU nomor 02 tahun 1989, yang disempurnakan menjadi UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada pasal 30 ayat 1 sampai ayat 4 menjadi dasar bagi perkembangan Pesabtren saat ini,agar menjadi lembaga yang lebih berkualitas dan merupakan bagian dari psistem pendidikan nasional.UU ini merupakan dokumen yang amat penting untuk menetukan arah dan kebijakan  dalam penanganan pendidikan pada pondok pesantren di masa yang akan datang.Dalam Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, pemerintah memberikan wewenang penuh kepada Kementerian Agama  Republik Indonesia untuk mengatur penyelenggaraan pendidikan di Madrasah dan Pondok Pesantren, baik dalam hal pembiayaan, pengadaan dan pengembangan Sumberdaya manusia, Pengembangan kelembagaan dan sarana, serta peningkatan mutu lembaga pendidikan  agama tersebut.
Begitu juga madrasah,setelah melewati sejarah dan waktu yang panjang penuh dengan dinamika, akhirnya madrasah semakin mendapatkan tempat dan pengakuan dari pemerintah. Undang-undang sisdiknas tahun 2003 telah semakin mempertegas posisi dan kedudukan madrasah yang setara dengan sekolah umum lainnya. Oleh karenannya masyarakat ataupun pemerintah tidak boleh lagi mendikotomikan antara sekolah umum dengan sekolah agama, karena materi dan kebijakan-kebijakan yang biasanya melekat pada lembaga pendidikan umum seperti, UAN, KBK dan KTSP juga berlaku bagi madrasah.



DAFTAR PUSTAKA
Mahpuddin Noor, Potret Dunia Pesantren, Bandung: Humaniora, 2006.
Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan Modernitas, Bandung : Miz an, 1999.
Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta : Logos Wacana
Ilmu, 1999.
Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi
Institusi, Jakarta : Erlangga,
Nasution,  Sosiologi Pendidikan,  Jakarta: Bumi Aksara, 1995. 
Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren,Jakarta: P3M, 1985.
Agama Republik Indonesia. Diakses 26 April2015



[1] Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta : Erlangga, t.t). h. 6.
[2] Mahpuddin Noor, Potret Dunia Pesantren (Bandung: Humaniora, 2006), h. 56.
[3] Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren (Jakarta: P3M, 1985), h. 126.
[4] Mahpuddin Noor, Potret Dunia Pesantren (Bandung: Humaniora, 2006), h. 44.
[5] Sejarah Pendidikan Islam dan Organisasi Ditjen Pendidikan Islam". Kementerian Agama Republik Indonesia. Diakses 26 April 2015
[6] Ibid, h. 162-163

[7] Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan Modernitas, (: Miz Bandung an, Cet. 2, 1999), h. 19
[8] Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 114-115


[9] Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 130-131


[10] Ibid. h.130
[11] Ibid. h. 130-131

2 komentar:

  1. MAS SAYA COPAS YA....
    MAKASIH....
    SEMOGA MENJADI AMAL JARIYAH....

    BalasHapus
  2. kaka, ini termasuk makalah peraturan yang ada dipesantren gasi ?

    BalasHapus