Senin, 22 Mei 2017

Makalah Sosiologi (Ruang Kelas Sebagai Sistem)



Ruang Kelas Sebagai Suatu Sistem
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Sosiologi
Dosen Pengampu : Drs. Sabarudin, M.Pd.i


 







Disusun Oleh :
Riza Alfarid (12410059)


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014/2015

BAB I
PENDAHULUAN

Pendidikan terjadi dilingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Lingkungan-lingkungan itu yang banyak mempengaruhi pola pikir dan dan tingkah laku seorang peserta didik. Dan suasana yang diciptakan dari lingkungan-lingkungan tersebut itu yang akan menjadi budaya bagi peserta didik. Dalam suatu lembaga pendidikan terdapat ruang-ruang, dimana dalam ruang kelas tersebut tidak hanya sebatas sebuah ruang yang dibatasi oleh dinding-dinding pada setiap sisinya dan terdiri dari beberapa orang peserta didik yang sedang menuntut ilmu dan dipandu oleh seorang guru dalam proses pembelajaran, namun didalamnya terdapatlah berbagai macam sistem yang berjalan dalam ruang kelas tersebut, mencakup ruang kelas sebagai suatu sistem sosial dan pertukaran serta dinamika-dinamika sosial. 
Kebudayaan sekolah mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap pola perilaku anak didik, terutama dalam proses belajar mengajar. Maka dari tu, segala aspek yang menjadi unsur sekolah berpengaruh pada pola pikir peserta didik. Baik berupa lokasi sekolah, tata kelas, sistem sosial yang ada di sekolah, dan lain sebagainya.
Dalam perspektif sosiologi, kelas merupakan bagian dari mikrososiologi. Di dalam kelas  terdapat kumpulan individu-individu yang membentuk suatu kelompok sosial yang teratur dan memiliki fungsi dan peran yang kompleks dalam kacamata pendidikan.






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Kelas
Ruang Kelas adalah suatu ruangan dalam bangunan sekolah, yang berfungsi sebagai tempat untuk kegiatan tatap muka dalam proses kegiatan belajar mengajar (KBM).  Dalam ruangan ini terdiri dari meja siswa, kursi siswa, meja guru, lemari kelas, papan tulis, serta aksesoris ruangan lainnya yang sesuai. Ukuran yang umum adalah 9m x 8m. Ruang kelas memiliki syarat kelayakan dan standar tertentu, misalnya ukuran, pencahayaan alami, sirkulasi udara, dan persyaratan lainnya yang telah dibakukan oleh pihak berwenang terkait. Posisi kelas ada 2 yaitu kelas berpindah (moving class) dan kelas tetap (remaining class).[1]
Ada dua pengertian kelas yang dihubungkan dengan kata sekolah. Pertama, ruang tempat berjalannya proses pendidikan. Kedua, sejumlah pelajar yang sama-sama menmpuh suatu tingkatan tertentu dalam sebuah lembaga pendidikan. Pada pengertian pertama, kelas merupakan ruangan tertentu dengan arsitektur tertentu juga (sebagai ciri khas ruangan sekolah) tempat kegiatan siswa dalam mengikuti proses pendidikan. Sedangkan kelas dalam pengertian kedua adalah jenjang pendidikan pada tingkatan tertentu.[2]
B.     Pengertian Sistem Sosial
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesi edisi ketiga, ditemukan bahwa kata sistem memiliki tiga arti, yaitu: satu, pertangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas. Dua, susunan teratur dari pandangan, teori, asas, dan sebagainya. Tiga, metode. Dari arti-arti tersebut, dapat dipahami bahwa sistem merupakan suatu keteraturan hubungan antar unsur-unsur atau bagian-bagian sehingga membentuk totalitas.
Kata sosial dapat dipahami debagai pertemanan atau masyarakat. Apabila ditelusuri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga, kata sosial berkenaan dengan dua arti, yaitu: satu, berkenaan dengan masyarakat. Dua, suka memperhatikan kepentingan umum (suka menolong dan menderma), dalam bentuk ragam cakapan. Dapat disimpulkan bahwa kata sosial dapat dipahami sebagai sesuatu yang dihubungkan atau dikaitkan dengan teman, pertemanan, atau masyarakat.
Dari pengertian sistem dan sosial yang telah dijabarkan diatas, maka dapat dipahami bahwa sistem sosial merupakan saling keterkaitan yang teratur antar individu sehingga membentuk totalitas.[3]

C.     Ruang Kelas Sebagai Suatu Sistem Sosial  
Ruang kelas terdiri dari beberapa unsur yang fungsional satu sama lain, yakni guru, murid, dan manajemen sekolah. Status sebagai manajemen sekolah memainkan peran sebagai pengelola dari sisi teknik administratif dan menyediakan sarana prasana yang dibutuhkan. Kemudian status guru diharapkan berperilaku sebagai seorang pendidik, pengasuh serta pemberi motivasi. Adapun status sebagai murid, diharapkan untuk berperilaku sebagai penuntut ilmu pengetahuan, pekerja keras, dan pencari kebenaran. Dalam suatu ruang kelas, antara guru dan murid dengan status dan peran mereka masing-masing mementuk suatujaringan hubungan yang terpola. Pola jaringan hubungan antara guru dan murid akan berdampak terhadap perilaku, kompetensi, kapital sosial dan budaya.

D.    Ruang kelas Sebagai Sistem Interaksi
Interaksi sosial diartikan sebagai suatu tindakan timbal balik atau saling berhubungan antara dua orang atau lebih melalui suatu kontak dan komunikasi dalam ketergantungan satu sama lain secara teratur dan merupakan suatu keseluruhan.[4] Hal ini berarti hubungan guru dan murid dalam suatu ruang kelas dapat dipandang sebagai suatu masyarakat, karena hubungan guru dan murid merupakan suatu interaksi sosial. Selain itu, hubungan guru dan murid dapat dipandang sebagai suatu sistem, yakni sebagai sekumpulan komponen yang saling berhubungan dalam ketergantungan satu sama lain secara teratur dan merupakan suatu keseluruhan. Oleh sebab itu, hubungan guru dan murid dapat disebut sebagai sistem interaksi sosial.

E.    Ruang Kelas dan Pemeliharaan Ketertiban serta Disiplin
Pemeliharaan ketertiban dan disiplin merupakan dua konsep yang berdekatan. Pemeliharaan ketertiban berkaitan dengan kemampuan diri untuk tertib sesuai dengan konstruksi sosial dan hukum yang ada. Adapun disiplin merupakan kemapuan diri untuk taat, patuh, dan berkomitmen sesuai apa yang dipandang baik dan benar dalam kontruksi sosial, budaya, dan hukum. Dapat dipahami bahwa orang yang memilki disiplin akan melakukan pemeliharaan ketertiban. Murid yang disiplin, maka akan memelihara ketertiban, termasuk ketertiban ruang kelas.
Ketika ruang ruang kelas tidak tertib dan disiplin, maka salah satu akar dari persoalan ini mungkin dapat ditelusuri bagaimana guru mensosialisasikan ketaatan terhadap aturan perundangan yang ada dan komitmen terhadap rencana dan tujuan yang telah dirancang. Dari sisi guru ada beberapa hal yang menyebabkan sosialisasi tidak seperti yang diharapkan, yakni kegagalan memainkan peran guru, memahami konsep disiplin, atau ketiadaan dukungan kelembagaan.
Kegagalan memainkan peran guru yang diharapkan, seperti ketidakmampuan dalam mensosialisasikan nilai-nilai dan norma, dapat dialami oleh guru. Ketidakmampuan ini  dapat disebabkan karena persiapan peran sebagai guru yang tidak memadai.
Kegagalan memahami konsep disiplin tidak hanya dialami oleh guru sebagai pendidik, tetapi juga kebanyakan anggota masyarakat Indonesia. Mereka sering mengidentikkan konsep disiplin dengan kemampuan baris-berbaris maupun ketegasan seperti dalam komunitas militer. Konsep disiplin dalam komunitas militer dan non militer sama-sama memiliki esensi yang berkaitan dengan taat akan aturan dan komit terhadap rencana dan tujuan yang ada. Namun, perbedaannya ada dalam hal metode, penghargaan, dan hukuman.
Dalam komunitas militer, disiplin disosialisasikan dalam institusi total, yakni suatu tempat dimana sejumlah individu menghabiskan waktu yang cukup lama terlibat dan berperan dalam kehidupan yang diatur secara formal dan terpisah dari masyarakat luas, dalam hal ini kamp pelatihan militer.[5] Sementara dalam komunitas non militer, disiplin dikonstruksikan dalam ruang sosial yang ditandai oleh kesetaraan, demokrasi, anti kekerasan, dan persahabatan yang merupakan nilai dan norma yang dijunjung tinggi. Keteladanan, harga diri, kesadaran, dan motivasi merupakan metode-metode yang penting dalam penegakan kedisiplinan dalam komunitas non militer, yang selama ini diabaikan, termasuk oleh guru.
Guru tidak bisa mensosialisasikan norma bisa jadi disebabkan ketiadaan dukungan lembaga. Sekolah dalam kenyataanya tidak selalu meilikiaturan tentang kedisiplinan. Kalaupun ada, hanya beberapa pernyataan tentang boleh dan tidaknya sesuatu yang dilakukan oleh siswa selama berada disekolah, sementara sanksi dan hukuman terhadap sesuatu yang dilanggar bersifat tidak tertulis. Jadi, kesaan yang ditimbulkan adalah hukuman tergantung pada siapa yang memutuskannya tanpa standar yang dapat menjadi rujukan.

F.       Iklim Sosial Kelas
Menurut Faisal dan Yasik (1985) terdapat enam iklim sosial yang timbul di kelas yaitu sebagai berikut.

a.       Iklim Terbuka
Pada iklim terbuka ini, segala tingkah laku guru menggambarkan integrasi antara kepribadian seorang guru sebagai individu dan peranannya sebagai leader di dalam kelas. Selain memberikan kritik, guru juga mau menerima kritikan dari para siswa. Hubungan guru dengan siswa bersifat luwes atau fleksibel sehingga suasana yang seperti  ini dapat mempertinggi kreativitas siswa karena mereka dapat berkreasi tanpa adanya beban mental. Dan akibatnya, setiap murid biasanya dapat memperoleh kepuasan dalam melaksanakan tugas hubungan ini serta dapat memperlancar jalannya organisasi di kelas maupun organisasi di sekolah yang lebih luas.

b.      Iklim Mandiri
Dalam iklim mandiri, masing-masing mendasarkan pada kemampuan dan tanggung jawab yang dimiliki. Para siswa mendapatkan kebebasan dari guru untuk mendapatkan kebebasan kebutuhan belajar dan kebutuhan sosial mereka. Mereka tidak terlalu dibebani dengan tugas-tugas yang berat dan menyulitkan mereka. Yang lebih esensial dalam iklim mandiri ini, antara guru dan siswa bekerja sama dengan baik, penuh tenggang rasa, dan penuh kesungguhan hati. Kepercayaan dan tanggung jawab masing-masing membuat guru memberikan kelongggaran sehingga kontrol yang ketat tidak diperlukan karena para murid dipercaya memiliki moral yang cukup tinggi.

c.       Iklim Terkontrol
Dalam iklim terkontrol, titik sentral kebijakan seorang guru adalah menekankan pada pencapaian prestasi siswa di kelas, tetapi di sisi lain justru mengorbankan kepuasan kebutuhan sosial siswa. Karena tuntutan ini, para guru mengajar secara tidak fleksibel atau kaku. Para siswa sibuk dengan kesibukannya sendiri-sendiri sehingga tidak bisa mendapat kesempatan untuk membentuk hubungan kerja yang lebih akrab dan sosialitas tinggi. Fungsi pimpinan sangat dominan karena tidak adanya fleksibilitas dalam organisasi kelas tersebut. Setiap pembelajaran yang telah terjadwal dijalankan secara ketat, dan untuk menjaga keberlangsungan belajarnya guru menerangkan aturan yang keras disertai sanksi fisik atau nonfisik yang berlaku mulai saat itu juga.
e.       Iklim Tertutup
Dalam model ini, seorang guru tidak memberikan kepemimpinan yang memadai kepada para siswa. Ia mengharapkan agar setiap siswa mengembangkan inisiatif masing-masing. Namun ia tidak memberi kebebasan kepada para siswa untuk merealisasikan inisiatif tersebut secara nyata karena tidak adanya keterbukaan dan komunikasi yang efektif. Antara siswa yang satu dengan yang lain kurang dapat bekerja sama dengan baik. Akibatnya, prestasi yang dicapai pun tidak optimal karena seringkali timbul perbedaan persepsi dan pandangan tentang prestasi yang harus ditargetkan. Para guru menerapkan aturan-aturan yang semuanya bersifat sepihak dan kurang memperhatikan kepentingan siswanya.[6]

G.       Dinamika Hubungan Murid-Murid di Ruang Kelas
Beberapa hal yang mempengaruhi dinamika kelas antara lain:

1.      Ukuran Kelas
Ruang kelas yang diisi oleh siswa yang terlalu banyak akan menyulitkan bagi guru untuk melakukakan proses dan pencapaian tujuan pembelajaran seperti yang telah dicita-citakan. Semakin sedikit jumlah peserta didik dalam ruang kelas, maka semakin baik proses dan pencapaian tujuan pembelajaran dan pendidikan. Jumlah yang diidealkan berkisar 20 orang per guru. Dengan jumlah yang demikian ini, maka hubungan sosial antara guru dan murid menjadi lebih intens, akrab, dan lebih personal.
Ruang kelas kecil jika diisi dengan jumlah murid yang sedikit, maka akan lebih dinamis. Jumlah peserta didik yang besar pada ruang kelas kecil akan terkesan lebih sumpek dan ribut. Namun apabila ruang kelas yang besar dan diisi dengan murid yang esar pula, makan guru tidak akan mampu mnguasai secara efektif proses pembelajaran. Sebaliknya apabila ruang kelas yang besar diisi dengan murid yang sedikit, maka akan terkesan senyap.

2.      Konteks Sosial Kelas
Konteks sosial kelas meliputi beberapa aspek dari latar belakang murid seperti usia, jenis kelamin, ras, kesukuan, status sosial dan ekonomi.
Dalam suatu ruang kelas yang heterogen, perbedaan latar belakang yang mencerminkan stratifikasi sosial, akan mepengaruhi interaksi sosial antara guru dengan murid serta antar murid yang berbeda latar belakangnya.
Mengenai homogenitas, warga setiap kelas memiliki ciri homogenitas, antara lain dari segi usia peserta didik. Ada sekolah yang mencoba membuat  homogenitas siswa berdasarkan tingkat kecerdasan. Eberapa siswa yang memiliki kelebihan intelektual ditempatkan dalam satu kelas. Cara ini dianggap sebagai upaya mempertahankan kualitas dan mencari bibit unggul. Homogenitas hanya efektif untuk mengembangkan program-program khusus, sedangkan pendidikan yang ditujukan untuk mencerdaskan semua elemen masyarakat, dengan homogenitas kecerdasan, justru akan terhambat. Anak-anak yang memiliki tingkat kecerdasan kurang baik tidak akan terangsang untuk mengejar kemundurannya. Sebaliknya, dalam keadaan heterogenitas, kesadaran siswa bisa terpicu. Anak-anak yang lambat akan mudah mendapat rangsangan untuk meningkatkan kecerdasannya. Efek buruk dari homogenitas berdasarkan kcerdasan hanya akan menghasilkan dua kemungkinan. Pertama, memperburuk rasa rendah diri siswa yang kurang cerdas. Kedua, memicu kesombongan dikalangan anak-anak yang tergolong cerdas.[7]

3.      Teknologi Kelas
Teknologi kelas berupa pengaturan tempat duduk murid seperi setengah baris atau setengah lingkaran dan penggunaan komputer dapat mempengaruhi dinamika kelas. Secara umum,  anak-anak Indonesia menulis dari kiri ke kanan dan menggunakan tangan kanan. Pencahayaan selalu diposisikan kearah kiri. Kemudian, bila ruang kelas berbentuk segi empat, tempat duduk para siswa di Indonesia berderet dari depan kebelakang dan kesamping. Sementara itu, posisi papan tulis diletakkan ditengah-tengah dan meja guru dipinggirnya, baik sebelah kanan atau sebelah kiri.[8]
Tempat duduk dengan posisi yang demikian berpengaruh terhadap intensitas komunikasi antara siswa dan guru. Tata letak duduk para siswa juga dapat mempengaruhi dinamika kelas. Tata letak duduk siswa yang berbentuk setengah lingkaran maupun lingkaran akan menciptakan ruang kelas lebih dinamis. Karena, tata letak setengah lingkaran atau lingkaran memberikan posisi yang menyebabkan para siswa saling memandang dan mengetahui ekspresi satu sama lain.
      Penggunaan teknologi informasi dalam proses pembelajaran dan pendidikan dapat memperlancar dinamika siswa dalam ruang kelas. Penggunaan komputer oleh peserta didik, perlu diarahkan oleh guru, sehingga proses dan tujuan pembelajaran dan pendidikan dapat dicapai seperti yang diinginkan.












BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ruang Kelas adalah suatu ruangan dalam bangunan sekolah, yang berfungsi sebagai tempat untuk kegiatan tatap muka dalam proses kegiatan belajar mengajar (KBM).  Dalam ruangan ini terdiri dari meja siswa, kursi siswa, meja guru, lemari kelas, papan tulis, serta aksesoris ruangan lainnya yang sesuai. Ukuran yang umum adalah 9m x 8m. Ruang kelas memiliki syarat kelayakan dan standar tertentu, misalnya ukuran, pencahayaan alami, sirkulasi udara, dan persyaratan lainnya yang telah dibakukan oleh pihak berwenang terkait.. Ruang kelas juga dapat diidentifikasikan sebagai sebuah ruang sosial yang didalamnya mencakup ruang kelas sebagai suatu sistem sosial dan sistem pertukaran serta dinamika-dinamika sosial yang ada didalam ruang kelas tersebut. Kelas sebagai sistem sosial dalam kerumunan dapat kita temukan individu-individu yang saling berinteraksi baik antara siswa dengan siswa, guru dengan guru maupun guru dengan siswa dalam setiap harinya. Sehingga dapat dikatakan bahwasanya kelas merupakan sebuah mikrososiologi karena didalamnya selalu terdapat proses interaksi meskipun dalam lingkup yang sempit.
Pemeliharaan ketertiban dan kedisiplinan merupakan dua konsep yang berdekatan. Sikap tertib dan disiplin yang terdapat dalam diri seorang individu bukanlah suatu sikap yang dibawa dari lahir, melainkan melalui proses internalisasi. Jika terdapat suatu kelas yang memiliki kebiasaan tidak tertib dan disiplin, ada dua pihak yang terkait dengan kondisi tersebut, yaitu guru dan peserta didik. Dalam hal ini guru dianggap dalam sosialisasinya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, yaitu kegagalan memainkan peran guru, memahami konsep disiplin, atau tidak adanya dukungan dari lembaga sekolah itu sendiri.




DAFTAR PUSTAKA

Damsar. 2011. Pengantar Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Kencana
Mahmud. 2012. Sosiologi Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia
Wikipedia.Org



[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Ruang_kelas
[2] Mahmud, Sosiologi Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), hal. 171     
[3] Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 96
[4] Ibid., hal. 98
[5] Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan..., hal. 113
[7] Mahmud, Sosiologi Pendidikan..., hal. 172
[8] Ibid., hal. 173

Tidak ada komentar:

Posting Komentar