Ruang Kelas Sebagai Suatu Sistem
Makalah
Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Sosiologi
Dosen
Pengampu : Drs.
Sabarudin, M.Pd.i
Disusun
Oleh :
Riza Alfarid
(12410059)
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU
TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014/2015
BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan terjadi dilingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Lingkungan-lingkungan
itu yang banyak mempengaruhi pola pikir dan dan tingkah laku seorang peserta
didik. Dan suasana yang diciptakan dari lingkungan-lingkungan tersebut itu yang
akan menjadi budaya bagi peserta didik. Dalam suatu lembaga pendidikan terdapat ruang-ruang, dimana
dalam ruang kelas tersebut tidak hanya sebatas sebuah ruang yang dibatasi oleh
dinding-dinding pada setiap sisinya dan terdiri dari beberapa orang peserta
didik yang sedang menuntut ilmu dan dipandu oleh seorang guru dalam proses
pembelajaran, namun didalamnya terdapatlah berbagai macam sistem yang berjalan
dalam ruang kelas tersebut, mencakup ruang kelas sebagai suatu sistem sosial dan
pertukaran serta dinamika-dinamika sosial.
Kebudayaan sekolah mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap
pola perilaku anak didik, terutama dalam proses belajar mengajar. Maka dari tu,
segala aspek yang menjadi unsur sekolah berpengaruh pada pola pikir peserta
didik. Baik berupa lokasi sekolah, tata kelas, sistem sosial yang ada di
sekolah, dan lain sebagainya.
Dalam perspektif sosiologi, kelas merupakan bagian dari
mikrososiologi. Di dalam kelas terdapat kumpulan
individu-individu yang membentuk suatu kelompok sosial yang teratur dan
memiliki fungsi dan peran yang kompleks dalam kacamata pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kelas
Ruang
Kelas adalah suatu ruangan
dalam bangunan sekolah,
yang berfungsi sebagai tempat untuk kegiatan tatap muka dalam proses kegiatan belajar mengajar
(KBM). Dalam
ruangan ini terdiri dari meja siswa, kursi
siswa, meja guru,
lemari kelas, papan tulis,
serta aksesoris ruangan lainnya yang sesuai. Ukuran yang umum adalah 9m x 8m.
Ruang kelas memiliki syarat kelayakan dan
standar
tertentu, misalnya ukuran, pencahayaan
alami, sirkulasi
udara, dan persyaratan lainnya yang telah dibakukan oleh pihak berwenang
terkait. Posisi kelas ada 2 yaitu kelas berpindah (moving class) dan kelas
tetap (remaining class).[1]
Ada dua pengertian kelas yang dihubungkan
dengan kata sekolah. Pertama, ruang tempat berjalannya proses pendidikan.
Kedua, sejumlah pelajar yang sama-sama menmpuh suatu tingkatan tertentu dalam
sebuah lembaga pendidikan. Pada pengertian pertama, kelas merupakan ruangan
tertentu dengan arsitektur tertentu juga (sebagai ciri khas ruangan sekolah)
tempat kegiatan siswa dalam mengikuti proses pendidikan. Sedangkan kelas dalam
pengertian kedua adalah jenjang pendidikan pada tingkatan tertentu.[2]
B. Pengertian Sistem Sosial
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesi edisi ketiga, ditemukan bahwa kata sistem memiliki tiga
arti, yaitu: satu, pertangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan
sehingga membentuk suatu totalitas. Dua, susunan teratur dari pandangan, teori,
asas, dan sebagainya. Tiga, metode. Dari arti-arti tersebut, dapat dipahami
bahwa sistem merupakan suatu keteraturan hubungan antar unsur-unsur atau
bagian-bagian sehingga membentuk totalitas.
Kata sosial
dapat dipahami debagai pertemanan atau masyarakat. Apabila ditelusuri dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga, kata sosial berkenaan dengan dua
arti, yaitu: satu, berkenaan dengan masyarakat. Dua, suka memperhatikan
kepentingan umum (suka menolong dan menderma), dalam bentuk ragam cakapan.
Dapat disimpulkan bahwa kata sosial dapat dipahami sebagai sesuatu yang
dihubungkan atau dikaitkan dengan teman, pertemanan, atau masyarakat.
Dari pengertian
sistem dan sosial yang telah dijabarkan diatas, maka dapat dipahami bahwa
sistem sosial merupakan saling keterkaitan yang teratur antar individu sehingga
membentuk totalitas.[3]
C. Ruang Kelas Sebagai Suatu Sistem
Sosial
Ruang kelas terdiri dari beberapa unsur yang
fungsional satu sama lain, yakni guru, murid, dan manajemen sekolah. Status
sebagai manajemen sekolah memainkan peran sebagai pengelola dari sisi teknik
administratif dan menyediakan sarana prasana yang dibutuhkan. Kemudian status
guru diharapkan berperilaku sebagai seorang pendidik, pengasuh serta pemberi
motivasi. Adapun status sebagai murid, diharapkan untuk berperilaku sebagai
penuntut ilmu pengetahuan, pekerja keras, dan pencari kebenaran. Dalam suatu
ruang kelas, antara guru dan murid dengan status dan peran mereka masing-masing
mementuk suatujaringan hubungan yang terpola. Pola jaringan hubungan antara
guru dan murid akan berdampak terhadap perilaku, kompetensi, kapital sosial dan
budaya.
D. Ruang kelas Sebagai Sistem Interaksi
Interaksi sosial diartikan sebagai suatu
tindakan timbal balik atau saling berhubungan antara dua orang atau lebih
melalui suatu kontak dan komunikasi dalam ketergantungan satu sama lain secara
teratur dan merupakan suatu keseluruhan.[4] Hal ini berarti hubungan guru dan murid dalam
suatu ruang kelas dapat dipandang sebagai suatu masyarakat, karena hubungan
guru dan murid merupakan suatu interaksi sosial. Selain itu, hubungan guru dan
murid dapat dipandang sebagai suatu sistem, yakni sebagai sekumpulan komponen
yang saling berhubungan dalam ketergantungan satu sama lain secara teratur dan
merupakan suatu keseluruhan. Oleh sebab itu, hubungan guru dan murid dapat
disebut sebagai sistem interaksi sosial.
E. Ruang Kelas dan Pemeliharaan Ketertiban serta
Disiplin
Pemeliharaan ketertiban dan disiplin merupakan
dua konsep yang berdekatan. Pemeliharaan ketertiban berkaitan dengan kemampuan
diri untuk tertib sesuai dengan konstruksi sosial dan hukum yang ada. Adapun disiplin merupakan kemapuan diri untuk taat, patuh,
dan berkomitmen sesuai apa yang dipandang baik dan benar dalam kontruksi
sosial, budaya, dan hukum. Dapat dipahami bahwa orang yang memilki disiplin
akan melakukan pemeliharaan ketertiban. Murid yang disiplin, maka akan
memelihara ketertiban, termasuk ketertiban ruang kelas.
Ketika ruang ruang kelas tidak tertib dan
disiplin, maka salah satu akar dari persoalan ini mungkin dapat ditelusuri
bagaimana guru mensosialisasikan ketaatan terhadap aturan perundangan yang ada
dan komitmen terhadap rencana dan tujuan yang telah dirancang. Dari sisi guru
ada beberapa hal yang menyebabkan sosialisasi tidak seperti yang diharapkan,
yakni kegagalan memainkan peran guru, memahami konsep disiplin, atau ketiadaan
dukungan kelembagaan.
Kegagalan memainkan peran guru yang diharapkan,
seperti ketidakmampuan dalam mensosialisasikan nilai-nilai dan norma, dapat
dialami oleh guru. Ketidakmampuan ini dapat disebabkan karena persiapan
peran sebagai guru yang tidak memadai.
Kegagalan memahami konsep disiplin tidak hanya
dialami oleh guru sebagai pendidik, tetapi juga kebanyakan anggota masyarakat
Indonesia. Mereka sering mengidentikkan konsep disiplin dengan kemampuan
baris-berbaris maupun ketegasan seperti dalam komunitas militer. Konsep
disiplin dalam komunitas militer dan non militer sama-sama memiliki esensi yang
berkaitan dengan taat akan aturan dan komit terhadap rencana dan tujuan yang
ada. Namun, perbedaannya ada dalam hal metode, penghargaan, dan hukuman.
Dalam komunitas militer, disiplin
disosialisasikan dalam institusi total, yakni suatu tempat dimana sejumlah
individu menghabiskan waktu yang cukup lama terlibat dan berperan dalam
kehidupan yang diatur secara formal dan terpisah dari masyarakat luas, dalam
hal ini kamp pelatihan militer.[5]
Sementara dalam komunitas non militer, disiplin dikonstruksikan dalam ruang
sosial yang ditandai oleh kesetaraan, demokrasi, anti kekerasan, dan
persahabatan yang merupakan nilai dan norma yang dijunjung tinggi. Keteladanan,
harga diri, kesadaran, dan motivasi merupakan metode-metode yang penting dalam
penegakan kedisiplinan dalam komunitas non militer, yang selama ini diabaikan,
termasuk oleh guru.
Guru tidak bisa mensosialisasikan norma bisa
jadi disebabkan ketiadaan dukungan lembaga. Sekolah dalam kenyataanya tidak
selalu meilikiaturan tentang kedisiplinan. Kalaupun ada, hanya beberapa
pernyataan tentang boleh dan tidaknya sesuatu yang dilakukan oleh siswa selama
berada disekolah, sementara sanksi dan hukuman terhadap sesuatu yang dilanggar
bersifat tidak tertulis. Jadi, kesaan yang ditimbulkan adalah hukuman
tergantung pada siapa yang memutuskannya tanpa standar yang dapat menjadi
rujukan.
F. Iklim Sosial
Kelas
Menurut Faisal dan Yasik (1985) terdapat enam
iklim sosial yang timbul di kelas yaitu sebagai berikut.
a. Iklim Terbuka
Pada iklim terbuka ini, segala tingkah laku
guru menggambarkan integrasi antara kepribadian seorang guru sebagai individu
dan peranannya sebagai leader di dalam kelas. Selain memberikan kritik,
guru juga mau menerima kritikan dari para siswa. Hubungan guru dengan siswa
bersifat luwes atau fleksibel sehingga suasana yang seperti ini dapat
mempertinggi kreativitas siswa karena mereka dapat berkreasi tanpa adanya beban
mental. Dan akibatnya, setiap murid biasanya dapat memperoleh kepuasan dalam
melaksanakan tugas hubungan ini serta dapat memperlancar jalannya organisasi di
kelas maupun organisasi di sekolah yang lebih luas.
b. Iklim Mandiri
Dalam iklim mandiri, masing-masing mendasarkan
pada kemampuan dan tanggung jawab yang dimiliki. Para siswa mendapatkan
kebebasan dari guru untuk mendapatkan kebebasan kebutuhan belajar dan kebutuhan
sosial mereka. Mereka tidak terlalu dibebani dengan tugas-tugas yang berat dan
menyulitkan mereka. Yang lebih esensial dalam iklim mandiri ini, antara guru
dan siswa bekerja sama dengan baik, penuh tenggang rasa, dan penuh kesungguhan
hati. Kepercayaan dan tanggung jawab masing-masing membuat guru memberikan
kelongggaran sehingga kontrol yang ketat tidak diperlukan karena para murid
dipercaya memiliki moral yang cukup tinggi.
c. Iklim
Terkontrol
Dalam iklim terkontrol, titik sentral kebijakan
seorang guru adalah menekankan pada pencapaian prestasi siswa di kelas, tetapi
di sisi lain justru mengorbankan kepuasan kebutuhan sosial siswa. Karena
tuntutan ini, para guru mengajar secara tidak fleksibel atau kaku. Para siswa
sibuk dengan kesibukannya sendiri-sendiri sehingga tidak bisa mendapat
kesempatan untuk membentuk hubungan kerja yang lebih akrab dan sosialitas tinggi.
Fungsi pimpinan sangat dominan karena tidak adanya fleksibilitas dalam
organisasi kelas tersebut. Setiap pembelajaran yang telah terjadwal dijalankan
secara ketat, dan untuk menjaga keberlangsungan belajarnya guru menerangkan
aturan yang keras disertai sanksi fisik atau nonfisik yang berlaku mulai saat
itu juga.
e. Iklim Tertutup
Dalam model ini, seorang guru tidak memberikan
kepemimpinan yang memadai kepada para siswa. Ia mengharapkan agar setiap siswa
mengembangkan inisiatif masing-masing. Namun ia tidak memberi kebebasan kepada
para siswa untuk merealisasikan inisiatif tersebut secara nyata karena tidak
adanya keterbukaan dan komunikasi yang efektif. Antara siswa yang satu dengan
yang lain kurang dapat bekerja sama dengan baik. Akibatnya, prestasi yang
dicapai pun tidak optimal karena seringkali timbul perbedaan persepsi dan
pandangan tentang prestasi yang harus ditargetkan. Para guru menerapkan
aturan-aturan yang semuanya bersifat sepihak dan kurang memperhatikan
kepentingan siswanya.[6]
G. Dinamika
Hubungan Murid-Murid di Ruang Kelas
Beberapa
hal yang mempengaruhi dinamika kelas antara lain:
1. Ukuran Kelas
Ruang kelas yang diisi oleh siswa yang terlalu
banyak akan menyulitkan bagi guru untuk melakukakan proses dan pencapaian
tujuan pembelajaran seperti yang telah dicita-citakan. Semakin sedikit jumlah
peserta didik dalam ruang kelas, maka semakin baik proses dan pencapaian tujuan
pembelajaran dan pendidikan. Jumlah yang diidealkan berkisar 20 orang per guru.
Dengan jumlah yang demikian ini, maka hubungan sosial antara guru dan murid
menjadi lebih intens, akrab, dan lebih personal.
Ruang kelas kecil jika diisi dengan jumlah
murid yang sedikit, maka akan lebih dinamis. Jumlah peserta didik yang besar
pada ruang kelas kecil akan terkesan lebih sumpek dan ribut. Namun apabila
ruang kelas yang besar dan diisi dengan murid yang esar pula, makan guru tidak
akan mampu mnguasai secara efektif proses pembelajaran. Sebaliknya apabila
ruang kelas yang besar diisi dengan murid yang sedikit, maka akan terkesan
senyap.
2. Konteks Sosial
Kelas
Konteks sosial kelas meliputi beberapa aspek
dari latar belakang murid seperti usia, jenis kelamin, ras, kesukuan, status
sosial dan ekonomi.
Dalam suatu ruang kelas yang heterogen,
perbedaan latar belakang yang mencerminkan stratifikasi sosial, akan
mepengaruhi interaksi sosial antara guru dengan murid serta antar murid yang
berbeda latar belakangnya.
Mengenai homogenitas, warga setiap kelas
memiliki ciri homogenitas, antara lain dari segi usia peserta didik. Ada
sekolah yang mencoba membuat homogenitas siswa berdasarkan tingkat
kecerdasan. Eberapa siswa yang memiliki kelebihan intelektual ditempatkan dalam
satu kelas. Cara ini dianggap sebagai upaya mempertahankan kualitas dan mencari
bibit unggul. Homogenitas hanya efektif untuk mengembangkan program-program
khusus, sedangkan pendidikan yang ditujukan untuk mencerdaskan semua elemen
masyarakat, dengan homogenitas kecerdasan, justru akan terhambat. Anak-anak
yang memiliki tingkat kecerdasan kurang baik tidak akan terangsang untuk
mengejar kemundurannya. Sebaliknya, dalam keadaan heterogenitas, kesadaran
siswa bisa terpicu. Anak-anak yang lambat akan mudah mendapat rangsangan untuk
meningkatkan kecerdasannya. Efek buruk dari homogenitas berdasarkan kcerdasan
hanya akan menghasilkan dua kemungkinan. Pertama, memperburuk rasa rendah diri
siswa yang kurang cerdas. Kedua, memicu kesombongan dikalangan anak-anak yang
tergolong cerdas.[7]
3. Teknologi Kelas
Teknologi kelas berupa pengaturan tempat duduk
murid seperi setengah baris atau setengah lingkaran dan penggunaan komputer
dapat mempengaruhi dinamika kelas. Secara umum, anak-anak Indonesia
menulis dari kiri ke kanan dan menggunakan tangan kanan. Pencahayaan selalu
diposisikan kearah kiri. Kemudian, bila ruang kelas berbentuk segi empat,
tempat duduk para siswa di Indonesia berderet dari depan kebelakang dan
kesamping. Sementara itu, posisi papan tulis diletakkan ditengah-tengah dan
meja guru dipinggirnya, baik sebelah kanan atau sebelah kiri.[8]
Tempat duduk dengan posisi yang demikian
berpengaruh terhadap intensitas komunikasi antara siswa dan guru. Tata letak
duduk para siswa juga dapat mempengaruhi dinamika kelas. Tata letak duduk siswa
yang berbentuk setengah lingkaran maupun lingkaran akan menciptakan ruang kelas
lebih dinamis. Karena, tata letak setengah lingkaran atau lingkaran memberikan
posisi yang menyebabkan para siswa saling memandang dan mengetahui ekspresi
satu sama lain.
Penggunaan teknologi informasi dalam proses pembelajaran dan pendidikan dapat
memperlancar dinamika siswa dalam ruang kelas. Penggunaan komputer oleh peserta
didik, perlu diarahkan oleh guru, sehingga proses dan tujuan pembelajaran dan
pendidikan dapat dicapai seperti yang diinginkan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ruang Kelas
adalah suatu ruangan
dalam bangunan sekolah,
yang berfungsi sebagai tempat untuk kegiatan tatap muka dalam proses kegiatan belajar mengajar
(KBM). Dalam
ruangan ini terdiri dari meja siswa, kursi
siswa, meja guru,
lemari kelas, papan tulis,
serta aksesoris ruangan lainnya yang sesuai. Ukuran yang umum adalah 9m x 8m.
Ruang kelas memiliki syarat kelayakan dan
standar
tertentu, misalnya ukuran, pencahayaan
alami, sirkulasi
udara, dan persyaratan lainnya yang telah dibakukan oleh pihak berwenang
terkait.. Ruang kelas juga dapat diidentifikasikan sebagai sebuah
ruang sosial yang didalamnya mencakup ruang kelas sebagai suatu sistem sosial
dan sistem pertukaran serta dinamika-dinamika sosial yang ada didalam ruang
kelas tersebut. Kelas sebagai sistem sosial dalam kerumunan dapat kita temukan
individu-individu yang saling berinteraksi baik antara siswa dengan siswa, guru
dengan guru maupun guru dengan siswa dalam setiap harinya. Sehingga dapat
dikatakan bahwasanya kelas merupakan sebuah mikrososiologi karena didalamnya
selalu terdapat proses interaksi meskipun dalam lingkup yang sempit.
Pemeliharaan ketertiban dan kedisiplinan
merupakan dua konsep yang berdekatan. Sikap tertib dan disiplin yang terdapat
dalam diri seorang individu bukanlah suatu sikap yang dibawa dari lahir,
melainkan melalui proses internalisasi. Jika terdapat suatu kelas yang memiliki
kebiasaan tidak tertib dan disiplin, ada dua pihak yang terkait dengan kondisi
tersebut, yaitu guru dan peserta didik. Dalam hal ini guru dianggap dalam
sosialisasinya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, yaitu kegagalan
memainkan peran guru, memahami konsep disiplin, atau tidak adanya dukungan dari
lembaga sekolah itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Damsar. 2011. Pengantar Sosiologi Pendidikan.
Jakarta: Kencana
Wikipedia.Org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar