Senin, 22 Mei 2017

Makalah Thaharoh



A.      Thaharah
1.    Pengertian Thaharah
Thaharah secara bahasa diartiakan annadofatu atau mensucikan, secara estimologi thaharah mempunyai banyak definisi diantaranya adalah menurut para ulama’ fiqih yaitu suatu perbuatan yang menjadikan bolehnya melaksanakan shalat seperti wudhu, mandi, tayammum dan menghilangkan najis. Sedangkan thoharoh sendiri menjad ialat bersuci.[1]Dalam pengertian tersebut mengandung arti bahwa bersuci adalah sesuatu yang sangat vital dalam tahap-tahap peribadatan salah satunya yaitu ibadah sholat.
Dalam Literatur lain disebutkan bahwa Thaharah menurut arti bahasa adalah pembersihan dari segala kotoran, baik yang tampak maupun yang tidak tampak. Adapun arti Thaharah secara syariat adalah meniadakan atau membersihkan hadats dengan air atau debu yang bisa dipakai untuk menyucikan. Selain itu bermakna juga, usaha untuk menghilangkan najis dan kotoran. Disini bisa diambil pengertian akhir bahwa Thaharah Adalah melenyapkan sesuatu yang ada di tubuh yang menjadi hambatan bagi pelaksanaan shalat dan ibadah lainnya.

2.    PembagianThaharah[2]
Thaharah terbagi menjadi dua macam yaitu : Thaharah Batin dan Thaharah Lahir.
a.Thaharah Batin
Yaitu Thaharah dari berbagai macam kemusyrikan dan kemaksiatan. Hal ini bisa dilakukan dengan menguatkan tauhid dan beramal shalih. Thaharah semacam ini lebih penting daripada Thaharah fisik. Sebab tidak mungkin Thaharah fisik ini akan bisa terwujud manakala masih adanya najis kemusyrikan. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis.” (QS. At-Taubah: 28)
SedangkanNabi Muhammad Shallallahu ‘alaihiwasallambersabda,
إِنَّ الْمُؤْمِنَ لاَ يَنْجُسُ
Sesungguhnya orang-orang mukmin itu tidak najis.”(HR. Bukhari Muslim).
Maka dari itu, sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk membersihkan hatinya dari najis kemusyrikan dan keragu-raguan. Yaitu dengan cara ikhlas, bertauhid dan berkeyakinan serta bertekad untuk bias membersihkan diri dan hatinya dari kotoran-kotoran kemaksiatan, pengaruh-pengaruh iri, dengki, suap, tipudaya, sombong, ujub, riya’ dan sum’ah. Semua ini bisa dilakukan dengan cara taubat yang sebenar-benarnya dari semua dosa dan maksiat. Dan thaharah ini merupakan sebagian dari iman.
b. Thaharah Fisik
Yaitu bersuci dari kotoran-kotoran dan najis-najis, dan thaharah ini adalah separuh keimanan yang kedua. Rasulullah Shallallahu ‘alaihiwasallam bersabda, “Bersuci itu separuh dari keimanan.”
Thaharah macam kedua ini dilakukan menurut tatacara yang telah disyariatkan oleh Allah yaitu dengan cara berwudhu’, mandi atau tayamum (ketika sedang tidak ada air), serta membersihkan najis dari pakaian, badan, dan tempat shalat.
Thaharah ini bisa dilakukan dengan dua hal :
1)        Thaharah dengan cara menggunakan air, dan inilah cara Thaharah yang paling pokok. Oleh sebab itu, setiap air yang turun dari langit atau keluar dari perut bumi adalah air yang menempati asal penciptaannya. Maka hukum air tersebut adalah suci dan menyucikan dari segala hadats dan kotoran meskipun sudah mengalami perubahan rasa atau warna atau baunya oleh sebab sesuatu yang bersih. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihiwasallam:
Sesungguhnya air itu dapat menyucikan. Yang tidak bias dibuat najis oleh sesuatupun.”(HR. Abu Dawud).
Di antara macam-macam air tersebut adalah air hujan, mata air, air sumur, air sungai, air lembah, air salju yang mencair, dan air laut. Sehubungan dengan air laut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihiwasallam bersabda:
Air laut itu bias menyucikan dan bangkainya  pun halal.” (H.R. Abu Dawud)
Adapun berkenaan dengan air zam zam telah ditetapkan oleh suatu hadit sdari Ali Radhiyallahu‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihiwasallam pernah meminta dibawakan, satu timba dari air zamzam, lalu air tersebut beliau pakai untuk minum dan untuk berwudu. (HR. Imam Ahmad).
Akan tetapi apabila air itu telah berubah warna, rasa, atau baunya yang disebabkan oleh benda najis, menurut ijma’ (kesepakatan) para ulama, air itu pun najis yang harus dihindari yang artinya tidak boleh lagi digunakan untuk bersuci.
2)      Thaharah dengan memakai debu yang suci. Thaharah ini merupakan ganti dari thaharah dengan air oleh sebab tidak memungkinkan bersuci dengan menggunakan air pada bagian-bagian yang harus disucikan atau karena tidak adanya air, atau karena takut bahaya yang ditimbulkan jika menggunakan air sehingga bisa digantikan dengan debu yang suci.
Allah SubhanahuwaTa’ala berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang  kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.”. (QS. An-Nisa’ : 43)
Rasulullahshallallahu ‘alaihiwasallam bersabda,“Bumi (mana saja) dijadikan sebagai masjid, dan suci bagiku.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan asal hadits ini dari Shahih Al Bukhari dan Muslim).
a)        Mandi
Al- Ghuslu menurut bahasa artinya mengalirkan air kepada sesuatu secara mutlak. Sedangkan menurut istilah syara’ adalah mengalirkan air keseluruh tubuh disertai dengan niat.[3]Adapun Hal-hal yang mewajibkan mandi ada enam macam, tiga berada secara bersama antara laki-laki dan wanita, yakni[4]
1)      Karena terjadinya pertemuan dua kemaluan antara laki-laki dan wanita (persetubuhan) keterangan tentang kewajiban mandi tersebut berdasar pada Hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhary (287) dan Muslim (348)
“dari Abi Hurairohra.dari Nabi saw. Beliau bersabda: “Apabila apabila lelaki sudah duduk di atas empat anggota tubuh wanita (dua paha dan dua betis) lalu dia menimbulkan gairah kuat”, yakni sebagai kiasan dari masuknya dzakar lelaki ke farji wanita.
Dan hadits tersebut sebagai dalil untuk mewajibkannya mandi apabila terjadi persetubuhan, sekalipun tidak mengeluarkan mani (sperma), sebagaimana dijelaskan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Muslim
2)      Keluarnya mani.
Keterangan ini berdasarkan pada Hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhary (278) dan Muslim (313)
dari Ummi Salamah ra. Ia berkata: Ummi Sulain menghadap kepada Rasulullah saw. bertanya:
Wahai Rasulullah, sesungguhnya tidak perlu malu bertanya tentang kebenaran, apakah bagi wanita apabila bermimpi (bermimpi bersetubuh) wajib mandi? Rasulullah saw. menjawab: “Benar, apabila engkau melihat air. Yang dimaksud melihat air di sini adalah keluar mani atau cairan dari wanita ketika bersetubuh.
3)        Mati.
Orang Islam yang mati fardhu kifayah bagi muslim yang hidup untuk memandikannya.
Hadits  Nabi : Dari  Ibnu Abbas sesungguhnya Rasululah saw telah berkata tentang orang yang berihram yang terlempar dari punggung untanya hingga ia meninggal , beliau berkata ” Mandikanlah di olehmu dengan air daun bidara. (HR. Bukharidan Muslim)
4)      Perempuan yang berhenti haid
šštRqè=t«ó¡our Ç`tã ÇÙŠÅsyJø9$# ( ö@è% uqèd ]Œr& (#qä9ÍtIôã$$sù uä!$|¡ÏiY9$# Îû ÇÙŠÅsyJø9$# ( Ÿwur £`èdqç/tø)s? 4Ó®Lym tbößgôÜtƒ ( #sŒÎ*sù tbö£gsÜs?  Æèdqè?ù'sù ô`ÏB ß]øym ãNä.ttBr& ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÎ/º§q­G9$# =Ïtäur šúï̍ÎdgsÜtFßJø9$# ÇËËËÈ

222.  Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri [137] dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci [138]. apabila mereka Telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
5)      Nifas
Nifas termasuk dalam kewajiban untuk mandi karena darah nifas di qiyaskan kepada haid, darah nifas adalah darah haid yang terakumulasi.
6)      Melahirkan

b)        Wudhu
Wudhu merupakan sarana bersuci (thaharah) umat Islam dari hadats kecil. Wudhu memiliki keutamaan yang luar biasa sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits di bawah ini:
1.      Anggota wudhu akan bercahaya di hari kiamat

إِنَّ أُمَّتِى يُدْعَوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ غُرًّا مُحَجَّلِينَ مِنْ آثَارِ الْوُضُوءِ ، فَمَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يُطِيلَ غُرَّتَهُ فَلْيَفْعَلْ
“Sungguh, umatku akan dipanggil (saat akan dihisab) nanti pada hari kiamat dalam keadaan bercahaya di sekitar wajah, tangan dan kaki, karena bekas wudhu. Karena itu, barangsiapa diantara kalian yang ingin melebihkan basuhan wudhunya, maka lakukanlah.” (Muttafaq ‘alaih)
2. Mendapatkan perhiasan di surga sesuai batas wudhunya

تَبْلُغُ الْحِلْيَةُ مِنَ الْمُؤْمِنِ حَيْثُ يَبْلُغُ الْوَضُوءُ
“Perhiasan orang mukmin (di surga) itu sesuai batas wudhunya” (HR. Muslim)
3. Diampuni dosanya

مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ خَرَجَتْ خَطَايَاهُ مِنْ جَسَدِهِ حَتَّى تَخْرُجَ مِنْ تَحْتِ أَظْفَارِهِ
“Barangsiapa berwudhu dan menyempurnakannya, maka semua dosa keluar dari jasadnya, hingga dari ujung kuku-kukunya.” (HR. Muslim)

مَنْ تَوَضَّأَ هَكَذَا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَكَانَتْ صَلاَتُهُ وَمَشْيُهُ إِلَى الْمَسْجِدِ نَافِلَةً
“Barangsiapa berwudhu demikian, maka dosa-dosanya yang telah lalu diampuni. Shalat dan berjalannya menuju masjid menjadi tambahan pahala.” (HR. Muslim)

إِذَا تَوَضَّأَ الْعَبْدُ الْمُسْلِمُ - أَوِ الْمُؤْمِنُ - فَغَسَلَ وَجْهَهُ خَرَجَ مِنْ وَجْهِهِ كُلُّ خَطِيئَةٍ نَظَرَ إِلَيْهَا بِعَيْنَيْهِ مَعَ الْمَاءِ - أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ - فَإِذَا غَسَلَ يَدَيْهِ خَرَجَ مِنْ يَدَيْهِ كُلُّ خَطِيئَةٍ كَانَ بَطَشَتْهَا يَدَاهُ مَعَ الْمَاءِ - أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ - فَإِذَا غَسَلَ رِجْلَيْهِ خَرَجَتْ كُلُّ خَطِيئَةٍ مَشَتْهَا رِجْلاَهُ مَعَ الْمَاءِ - أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ - حَتَّى يَخْرُجَ نَقِيًّا مِنَ الذُّنُوبِ
“Apabila seorang muslim –atau mukmin- berwudhu, maka ketika membasuh wajah, seluruh dosa yang telah dilihat dengan kedua matanya keluar dari wajahnya bersama air –atau tetesan air terakhir. Ketika membasuh kedua tangannya, setiap dosa yang disebabkan pukulan tangannya keluar dari tangannya bersama air –atau tetesan air terakhir. Ketika membasuh kakinya, seluruh dosa karena perjalanan kakinya keluar bersama air -atau tetesan air terakhir. Sehingga, ia pun keluar dalam keadaan bersih dari seluruh dosa.” (HR. Muslim)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:“Maukah kalian aku tunjukkan kepada sesuatu yang dengannya Allah akan menghapuskan dosa-dosa dan menaikkan derajat ?” Para shahabat menjawab: “Mau, wahai Rasulullah !” Beliau bersabda: ”Menyempurnakan wudhu pada saat-saat yang tidak disukai, memperbanyak langkah ke masjid dan menunggu sholat berikutnya setelah melakukan sholat. Maka itulah yang dinamai ribath (berjaga-jaga di garis perbatasan)”. (Shohih. HR. Ahmad II/303 no.8008, Muslim I/219 no.251, Tirmidzi I/72 no.51, dan an-Nasa’i I/89 no.143).
Ribath adalah amalan berjaga-jaga di daerah perbatasan antara daerah kaum muslimin dengan daerah musuh. Maksudnya pahalanya disamakan dengan pahala orang yang melakukan ribath.
4.  Berwudhu Merupakan separuh dari keimanan.
            Hal ini sebagaimana hadits berikut ini yang artinya:
Dari Abu Malik Al-Asy’ari radhiyallaahu ‘anhu, Dia berkata: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bersuci adalah separuh dari keimanan, ucapan ‘Alhamdulillah’ akan memenuhi timbangan, ‘subhanalloh dan alhamdulillah’ akan memenuhi ruangan langit dan bumi, sholat adalah cahaya, dan sedekah itu merupakan bukti, kesabaran itu merupakan sinar, dan Al Quran itu merupakan hujjah yang akan membela atau menuntutmu. Setiap jiwa manusia melakukan amal untuk menjual dirinya, maka sebagian mereka ada yang membebaskannya (dari siksa Allah) dan sebagian lain ada yang menjerumuskannya (dalam siksa-Nya).” (Shohih. HR Muslim I/203 no.223, dan Ahmad V/342 no.22953)
5. Orang yang berwudhu dengan benar dan sempurna maka dosa-dosa yang diperbuat oleh anggota wudhunya akan keluar (terhapus) bersamaan dengan keluarnya tetesan air wudhunya.
 Hal ini sebagaimana hadits berikut ini:
Dari Utsman bin Affan radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang berwudhu lalu membaguskan wudhunya’, keluarlah dosa-dosanya dari badannya bahkan (dosa-dosanya) akan keluar dari bawah kuku-kukunya.”  (Shohih. HR.Muslim I/149 no.601)
6. Penghpus dosa dan pengangkat derajat
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang bersuci dari rumahnya kemudian berjalan ke salah satu rumah dari rumah-rumah Allah (masjid) untuk menunaikan salah satu dari kewajiban-kewajiban yang Allah wajibkan, maka kedua langkahnya salah satunya akan menghapus dosa dan langkah yang lainnya akan mengangkat derajat.”
(HR. Muslim no. 1553)
7. Orang yang selalu berwudhu dengan sempurna akan diberi pilihan masuk surga melalui delapan pintu surga yang dia sukai.
 Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu’anhu, dari Nabi Shallallahu’alaihi wa salam, beliau bersabda:
 “Barang siapa di antara kalian berwudhu lalu menyempurnakan wudhunya, kemudian berkata, aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah Melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan rasul (utusan)-nya, maka akan dibukakan untuknya pintu surga yang delapan dan dia bisa masuk ke dalamnya lewat pintu mana saja yang dikehendakinya.” (Shohih. HR. Muslim I/209 no.234).
Imam Tirmidzi rahimahulloh menambahkan: “Ya Allah jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mensucikan diri.”[5]
a.         Tata Cara Wudhu
1. Niat wudhu di dalam hati, tanpa diucapkan karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah melafadzkan niat setiap kali berwudhu atau di amal ibadah yang lain.
2. Membaca Basmalah “ بِسْمِ اللهِ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوءَ لَهُ وَلاَ وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ
“Tidak ada sholat bagi orang yang tidak berwudhu. Dan tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah ta’ala atasnya.” (HR. Abu Dawud, disahihkan al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abu Dawud [1/179] as-Syamilah)
Syaikh al-Albani rahimahullah mengomentari hadits riwayat Abu Dawud di atas, “Saya katakan, ‘Ini adalah hadits yang sahih’. Pendapat ini dikuatkan oleh al-Mundziri dan al-Hafizh al-’Asqalani. Hadits ini dinilai hasan oleh Ibnu as-Shalah -dalam Nata’ij al-Afkar-. al-Hafizh Ibnu Katsir mengatakan, ‘Ini adalah hadits hasan atau sahih.’ Ibnu Abi syaibah mengatakan, ‘Ini hadits yang sah’.” (Shahih Abu Dawud [1/168-169] as-Syamilah)
3. Membasuh kedua telapak tangan (3 x)
4. Berkumur-kumur  (المَضْمَضَةُ) serta menghirup air ke dalam hidung (الاِسْتِنْشَاقُ / istinsyaq ) dilakukan bersama-sama dengan satu telapak tangan (3 x)
5. Mengeluarkan air dari hidung (الاِسْتِنْثَارُ  / istintsar)  sambil tangan kirinya memegangi hidungnya.
6. Membasuh seluruh muka sampai batasan muka dengan telinga dan dari batas pertumbuhan rambut sampai ujung dagu (3 x).
7. Membasahi telapak tangan kemudian menyela-nyela jenggot.
8. Membasuh kedua tangan dari ujung jari sampai dengan siku (3 x), dimulai dari yang kanan kemudian yang kiri.
9. Mengusap kepala, yaitu dengan membasahi tangan kemudian mengusapkannya dari kepala bagian depan sampai bagian belakang, lalu mengembalikannya ke depan (1 x).
10. Mengusap kedua telinga dengan memasukkan jari telunjuk ke dalam lubang telinga dan mengusap bagian luar (belakang) dengan jempol (1 x)
11. Membasuh kedua kaki, yaitu dari ujung jari sampai dengan mata kaki sambil menyela-nyela jari-jari kaki dimulai dari yang kanan kemudian yang kiri ( 3 x ).
12. Berdoa.
b.        Do’a Sesudah Wudhu
أشهَدُ أنْ لا إلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ ، وَأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ للَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنَ التَّوَّابِينَ ، وَاجْعَلْنِي مِنَ المُتَطَهِّرِينَ,
“Aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah Melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan rasul (utusan)-nya.  Ya Allah jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat, dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mensucikan diri.”
c.         Dalil Tata Cara Wudhu
Dari Ibnu Syihab yang mengatakan bahwa Atha’ bin Yazid al-Laitsi mengabarkan kepadanya
Humran bekas budak Utsman memberitakan kepadanya bahwa Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu meminta diambilkan air wudhu kemudian dia berwudhu dengan membasuh kedua telapan tangannya sebanyak tiga kali. Kemudian dia berkumur-kumur dan ber-istintsar (mengeluarkan air yang dihirup ke hidung, pent). Kemudian dia membasuh wajahnya tiga kali. Kemudian dia membasuh tangan kanannya hingga siku sebanyak tiga kali. Kemudian dia membasuh tangan kiri seperti itu pula. Kemudian dia mengusap kepalanya. Kemudian dia membasuh kaki kanannya hingga mata kaki sebanyak tiga kali. Kemudian dia membasuh kaki kiri seperti itu pula. Kemudian Utsman berkata: Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu berwudhu seperti yang kulakukan tadi. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang berwudhu seperti caraku berwudhu ini kemudian bangkit dan melakukan sholat dua raka’at dalam keadaan pikirannya tidak melayang-layang dalam urusan dunia niscaya dosa-dosanya yang telah berlalu akan diampuni.” Ibnu Syihab mengatakan, “Para ulama kita dahulu mengatakan bahwa tata cara wudhu seperti ini merupakan tata cara wudhu paling sempurna yang hendaknya dilakukan oleh setiap orang.” (HR. Muslim dalam Kitab at-Thaharah, diriwayatkan pula oleh Bukhari dalam Kitab al-Wudhu’ dengan redaksi yang agak berbeda)
d.        Hal-Hal Yang Dapat Membatalkan Wudhu
1.        Apa saja yang keluar dari kemaluan dan dubur, berupa kencing, berak, atau kentut. Allah SWT berfirman yang artinya, "Atau kembali dari tempat buang air."(Al-Maidah:6)
Rasulullah saw. bersabda, "Allah tidak akan menerima shalat seorang di antara kamu yang berhadas sampai ia berwudhu` (sebelumnya)." Maka, seorang sahabat dari negeri Hadramaut bertanya. "Apa yang dimaksud hadas itu wahai Abu Hurairah?" Jawabnya, "Kentut lirih maupun kentut keras." (Muttafaqun `alaih Fathul Bari I: 234, Baihaqi I:117, Fathur Robbani, Ahmad II:75 no:352) Dan hadits ini menurut sebagian mukharrij selain yang disebut di atas tidak ada tambahan (tentang pernyataan orang dari Hadramaut itu), Muslim I:204 no:225, `Aunul Ma`bud I:87 no:60, dan Tirmidzi I: 150 no:76.
"Dari Ibnu Abbas r.a., ia berkata, "Mani, wadi dan madzi (termasuk hadas). Adapun mani, cara bersuci darinya harus dengan mandi besar. Adapun madi dan madzi," maka dia berkata, "cucilah dzakarmu, kemaluanmu, kemudian berwudhu`lah sebagaimana kamu berwudhu` untuk shalat!" (Shahih: Shahih Abu Daud no:190, dan Baihaqi I:115).
2.        Tidur pulas sampai tidak tersisa sedikitpun kesadarannya, baik dalam keadaan duduk yang mantap di atas ataupun tidak. Karena ada hadits Shafwan bin Assal, ia berkata, "Adalah Rasulullah saw. pernah menyuruh kami, apabila kami melakukan safar agar tidak melepaskan khuf kami (selama) tiga hari tiga malam, kecuali karena janabat, akan tetapi (kalau) karena buang air besar atau kecil ataupun karena tidur (pulas maka cukup berwudhu`)." (Hasan: Shahih Nasa`i no:123 Nasa`i I:84 dan Tirmidzi I:65 no:69).
"Dari Ali r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Mata adalah pengawas dubur-dubur; maka barangsiapa yang tidur (nyenyak), hendaklah berwudhu`." (Hasan: Shahih Ibnu Majah no:386. Ibnu Majah I:161 no:477 dan `Aunul Ma`bud I:347 no:200 dengan redaksi sedikit berlainan).
3.         Hilangnya kesadaran akal karena mabuk atau sakit. Karena kacaunya pikiran disebabkan dua hal ini jauh lebih berat daripada hilangnya kesadaran karena tidur nyenyak.
4.        Memegang kemaluan tanpa alas karena dorongan syahwat, berdasarkan sabda Nabi saw.,"Barangsiapa yang memegang kemaluannya, maka hendaklah berwudhu`." (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:388, `Aunul Ma`bud I:507 no:179, Ibnu Majah I:163 no:483, `Aunul Ma`bud I:312 no:180 Nasa`i I:101, Tirmidzi I:56 no:56 no:85).
5.         Makan daging unta sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bara` bin `Azib ra ia berkata, "Rasulullah saw. bersabda, "Berwudhu`lah disebabkan (makan) daging unta, namun jangan berwudhu` disebabkan (makan) daging kambing!" (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:401, Ibnu Majah I:166 no:494, Tirmidzi I:54 no:81, `Aunul Ma`bud I:315 no:182).
c)        TAYAMMUM
1.      TA’RIF
      Tayammum adalah menggunakan tanah yang suci, dengan cara tertentu disertai dengan niat untuk kebolehan shalat. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema`af lagi Maha Pengampun.QS. An Nisa: 43. tayammum dapat menggantikan wudhu dan mandi.
2.      Sebab Kebolehan Tayammum
Sebab utama diperbolehkan tayammum adalah karena ketiadaan air, seperti dalam firman Allah: … kemudian kamu tidak mendapat air (QS. An Nisa: 43) Ketiadaan air itu bisa hakiki atau hukmiy, dan masing-masing memiliki kondisi yang sangat beragam, kami ringkas berikut ini:
a)      Ketiadaan hakiki: yaitu dengan tidak ditemukan air setelah melakukan pencarian baik dialakukan oleh musafir yang jauh ari perkampungan sejauh satu mil, atau di perkampungan yang tidak ada air. Kewajiban awalnya adalah mencari air, jika ada yang dekat, atau dugaan kuat ada air di suatu tempat. Demikianlah pendapat madzhab Hanafi. Sedang menurut madzhab Syafi;iy dan Hanbali kewajiban mencari itu berlaku jika yakin ada air.
Atau mendapatkan air yang tidak cukup untuk bersuci, atau lebih dubutuhkan untuk minum sendiri atau minum makhluk lain, manusia atau hewan, atau lebih dibutuhkan untuk makan. Imam Ahmad berkata: Beberapa orang sahabat melakukan tayammum dan menyimpan air untuk minumnya.
b. Ketiadaan Hukmiy: yaitu keberadaan air yang cukup tetapi ia tidak dapat menggunakannya karena sakit dan menambah sakitnya atau memperlambat kesembuhannya. Atau karena air sangat dingin yang membahayakan manusia jika memakainya dan tidak mampu menghangatkannya. Sahabat Amr bin Ash ra shalat subuh dengan tayammum karena takut celaka jika mandi dengan air dingin dalam perang Dzatussalasil, dan Rasulullah mengiyakannya. HR Ahmad, Abu Daud, dan dishahihkan oleh Al Hakim dan Ibnu Hibban, Al Bukhari memberikan catata hadits ini, Al Mundziri menilainya hadits Hasan, dan Al Hafizh Ibnu Hajar menguatkannya.
Air berada di dekat, tetapi tidak dapat mengambilnya karena ada musuh atau tidak ada alat untuk mengeluarkannya dari sumur.
c. Kehabisan waktu. Jika seseorang merasa takut kehabisan waktu shalat jika menggunakan air, dan cukup waktu jika tayammum lalu shalat, maka tidak wajib mengulang menurut madzhab Malikiy, wajib mengulang menurut madzhab Hanafiy. Tidak boleh tayammum meskipun kehabisan waktu menurut madzhab Hanbali dan Syafi’iy.
d. Tanah Sebagai Alat Tayamum
Tanah yang digunakan adalah yang berada di permukaan bumi. Dari itulah diperbolehkan bertayammum dengan debu dan seluruh benda suci sejenisnya yang ada di muka bumi seperti pasir, batu, semen, dan kapur. Tetapi menurut madzhab Syafi’iy, tayammum hanya diperbolehkan dengan debu atau pasir yang mengandung debu.
3.      Cara Tayammum
Seorang yang hendak bertayammum berniat dahulu, kemudian membaca basamalah, lalu memukulkan telapak tangannya ke atas tanah yang suci dengan sekali atau dua kali tepukan, kemudian diangkat tangannya dan ditiup sehingga tidak ada debu yang membekas di tangan, kemudian mengusapkan dua tangan itu ke muka dan dua telapak tangannya sampai ke pergelangan, seperti yang disebutkan dalam hadits Ammar bin Yasir ra berkata: Rasulullah saw mengutusku dalam satu hajat, lalu saya junub dan tidak menemukan air untuk mandi, kemudian saya berguling-guling di tanah seperti hewan. Dan ketika saya bertemu Nabi saya ceritakan peristiwa itu. Lalu Nabi bersabda: Sesungguhnya kamu cukup dengan memukulkan kedua tanganmu ke tanah dengan sekali pukulan, kemudian tangan kiri mengusap yang kanan dan punggung telapak tangan dan wajah. Muttafaq alaih. Demikianlah madzhab Hanbali dan Maliki. Sedangkan dalam madzhab Hanafi dan Syafi’iy, mereka berpendapat pengusapan tangan harus sampai ke dua siku. Mereka berpegang dengan beberapa hadits dhaif yang tidak sampai menandingi hadits Ammar di atas. Imam Nawawiy, penulis kitab Al Majmu’ Syarah AL Muhadzdzab, dan Ash Shan’aniy penulis kitab Subulussalam, mentarjih/menguatkan pendapat pertama, padahal keduanya bermadzhab Syafi’iy
4.      Hal-Hal Yang Diperbolehkan Dengan Tayammum
        Tayammum adalah pengganti wudhu dan mandi, maka dengan tayammum itu diperbolekan apa saja yang diperbolehkan oleh keduanya, sepeti: Shalat, thawaf, memegang mushaf. Madzhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang bertayammum dapat shalat dengan tayammumnya itu berapa saja shalat fardhu maupun sunnah yang dia mau, sehingga hilang penyebab pembolehan tayammum. Sedangkan menurut madzhab Syafi’iy tayammum hanya bisa dipakai untuk sekali shalat fardhu dan shalat sunnah tidak terbatas.
5.      Hal-Hal Yang Membatalkan Tayammum
      Segala yang membatalkan wudhu, membatalkan tayammum. Tayammum batal jika hilang penyebab pembolehan, seperti sudah mendapati air atau sudah mampu menggunakan air. Akan tetapi jika sudah shalat dengan tayammum kemudian menemukan air maka ia tidak wajib mengulanginya . Sedangkan orang yang tayammum karena junub maka ia harus mandi ketika sudah menemukan air.[6]
B.       Pembagian Air
Jenis air dapat dibagi menjadi empat bagian[7] :
1.        Air Muthlaq (air yang suci dan mensucikan)
Adalah air yang turun dari langit atau yang memancar dari bumi. Menurut pendapat yang shahih dituturkan oleh Imam Syafi’i dalam kitab Al Buwaithi air muthlak adalah air yang terbebas dari penambahan yang menyertainnya atau cukup dengan sebutan air.[8] Hukum air jenis ini adalah suci (thahir) dan dapat digunakan untuk bersuci (muthahir), seperti wudlu, mandi, dan membersihkan najis.[9] Yang termasuk pengertian air muthlaq ini yaitu seperti air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air sumber, air es, dan air embun.
2.        Air Musyammas (air yang suci mensucikan, tapi makruh digunakan)
Adalah air yang terkena sinar matahari. Hukumnya adalah makruh memakainya untuk badan dan tidak makruh untuk pakaian. Dalam pandangan syara’, air yang dipanaskan sinar matahari hukumnya makruh apabila wadahnya selain emas dan perak, seperti besi, tembaga, dan timah. Apabila air yang panas tersebut menjadi dingin lagi, maka hukumnya tidak makruh lagi.  Menurut Imam Nawawi air tersebut hukumnya tidak makruh alias muthlak. Memakai air yang sangat panas atau sangat dingin hukumnya makruh.
3.        Air Musta’mal (air yang suci dan tidak mensucikan)
Adalah air yang lepas dari anggota orang yang sedang berwudhu atau mandi, dan tidak mengenai benda najis. Air musta’mal yaitu air yang sudah pernah digunakan untuk menghilangkan hadats atau najis dan air tersebut tidak berubah atau bertambah dari asalnya. Contoh: air yang telah digunakan untuk berwudhu.
Termasuk jenis air ini juga yaitu air yang kecampuran benda-benda suci sehingga berubah salah satu dari beberapa sifatnya yaitu warna, rasa, atau baunya. Perubahan air ini dapat dibuktikan dengan panca indera atau dengan perkiraan, seperti: kopi, teh, air kunyit.  Namun bila percampuran itu sedikit tidak mengubah nama air seperti sabun dan cuka, maka hukumnya masih suci mensucikan menurut madzhab Hanafi, dan tidak mensucikan menurut Imam Syafi’i dan Maliki.
Mengenai hukumnya, para ulama berbeda pendapat apakah air jenis ini termasuk air muthlak atau bukan. Ada dua pendapat:[10] Pertama, yang paling shahih adalah air musta’mal tidak termasuk air muthlak. Kedua, air musta’mal adalah air muthlak namun tidak boleh digunakan untuk beribadah.
4.        Air Mutanajjis (air suci yang terkena najis)
Air najis ini terbagi menjadi dua:[11]
a.    Air yang sedikit yaitu air yang kurang dari dua qullah. Air ini bisa menjadi najis apabila terkena najis meskipun tidak berubah.
b.    Air yang banyak yaitu air dua qullah atau lebih. Air ini tidak menjadi najis meskipun tidak terkena najis, kecuali apabila berubah warna, rasa, atau baunya.
Menurut Imam Maliki baik air itu banyak atau sedikit namun tidak mengubah salah satu sifatnya maka hukumnya mensucikan. Tidak mensucikan menurut Madzhab Hanafi. Dan mensucikan menurut madzhab Syafi’i jika telah mencapai dua qullah, yang diperkirakan sebanyak volume tempat yang berukuran 60 cm3.
Yang dimaksud air dua qullah menurut ukuran di Baghdad yaitu sebanyak 500 kati (10 jeriken). Ini pendapat yang paling kuat. Ukuran per satu kati menurut pendapat Imam Nawawi adalah 349,16 gr atau bernilai 128 dirham lebih 4/7 dirham.
C.      Najis dan Cara Mensucikannya
1.      DEFINISI NAJIS[12]
Najis (Arab, النجاسة) berasal dari bahasa Arab dari akar kata masdar (verbal noun) najasah yang secara etimologis bermakna kotor (qadzarah - القذارة). Sedangkan dalam terminologi fiqh (syariah), najis adalah sesuatu yang kotor yang diperintahkan oleh syariah untuk suci darinya dan menghilangkannya dari baju dan badan dan dari segala sesuatu yang disyaratkan sucinya saat memakai. Seperti sucinya baju dan badan pada saat melaksanakan shalat dan tawaf umarah dan haji. najis dalam definisi syariah adalah perkara kotor yang mencegah sahnya shalat.
2.      PERKARA NAJIS[13]
Perkara atau sesuatu yang dianggap najis menurut syariah Islam sebagai berikut:
a.       Kencing baik kencing bayi atau kencing orang dewasa.
b.      Tinja (kotoran manusia) atau kotoran hewan
c.       Khamr (mimunam beralkohol).
d.      Bangkai hewan yang mati tanpa disembelih secara syariah dan seluruh anggota badannya seperti daging, tulang, tanduk, kuku, dll kecuali,
(a)    belalang, hewan laut dan hewan sangat kecil yang darahnya tidak mengalir seperti lalat dan sejenisnya. Khusus untuk lalat dan sejenisnya apabila masuk ke air yang sedikit (kurang 2 qullah) dalam keadaan hidup kemudian mati dalam air, maka airnya tetap suci.
(b)   bangkai manusia, hukumnya suci baik muslim atau nonmuslim (kafir).
e.       Darah.
f.       Nanah.
g.      Muntah.
h.      Anjing dan Babi
i.        Madzi yaitu cairan putih encer yang keluar bukan karena syahwat.
j.        Wadi yaitu cairan pekat kental yang keluar setelah kencing atau setelah membawa beban berat.
k.      Mani (sperma) anjing dan babi.
l.        Susu hewan yang tidak halal dagingnya kecuali susu manusia.
Menurut madzhab Hanafi, Tulang bangkai adalah suci. Rambut dan bulu bangkai juga suci menurut madzhab Maliki. Kotoran dan kencing hewan yang halal dimakan hukumnya suci menurut madzhab Hanbali. Harus dibedakan antara najis dan mutanajjis. Najis adalah perkara najis. Sedang mutanajjis adalah benda yang terkena atau tersentuh perkara najis. Najis tidak bisa suci. Sedang mutanajjis dapat suci kalau dihilangkan najisnya.
3.      Tingkatan Najis[14]
Menurut madzhab Syafi'i, tingkatan najis terbagi menjadi 3 (tiga) macam. Yaitu, najis ringan (mukhaffafah), najis sedang/pertangahan (mutasswithah) dan najis berat (mughalladzah).
a.    Najis Mukhoffafah (Ringan)
Najis mukhaffafah adalah najis ringan yang cara menghilangkannya cukup dengan menyiramkan air pada najis tersebut. Najis mukhaffafah terdapat pada kencingnya anak kecil laki-laki yang belum berusia 2 tahun dan tidak makan apa-apa kecuali ASI (air susu ibu).
b.      Najis Mutawassitah (Sedang)
Najis mughalladzah adalah najis yang umum seperti darah, bangkai, koroan manusia atau hewan, muntah, kencing, dll yang cara mensucikannya adalah dengan
c.       Najis Mugholladzah (Berat)
Najis mughalladzah adalah najis kaliber berat yaitu najis anjing dan babi. Yang cara mensucikannya adalah dengan menyiramkan air sebanyak 7 (tujuh) kali salah satunya dicampur dengan debu atau tanah.
4.      Jenis Najis
Ada dua jenis najis yaitu najis hukmiyah (النجاسة الحكمية) dan najis ainiyah (النجاسة العينية).
a.       Najis Hukmiyah (النجاسة الحكمية)
Najis hukmiyah adalah najis yang tidak kelihatan warnanya, baunya dan rasanya.
b.      Najis Ainiyah (النجاسة العينية)
Najis ainiyah adalah sebaliknya najis hukmiyah yaitu najis yang kelihatan warnanya, baunya dan rasanya.
5.      Cara Menghilangkan Najis
Adapun cara menghilangkan najis adalah tergantung dari tingkatan (ringan, sedang, berat) dan jenis najisnya (ainiyah atau hukmiyah).
a.       Cara Menghilangkan/Menyucikan Najis Ringan (Mukhaffafah)
Cara menghilangkan atau mensucikan najis tersebut adalah dengan menyiramkan air suci pada kencing anak tersebut sampai merata walaupun air itu tidak mengalir. Siraman cukup dilakukan satu kali.
b.      Cara Menghilangkan/Menyucikan Najis Sedang (Mutawassitah)
Cara menyucikan najis mutawassitah ainiyah adalah dengan menghilangkan perkara yang najis yakni rasa, warna dan baunya dengan air yang suci dan mensucikan. Apabila sulit menghilangkan warna atau baunya, maka tidak apa-apa (معفو عنه).
Apabila air untuk menyucikan kurang dari 2 (dua) qullah maka harus dengan mengalirkan/menyiramkan air tersebut ke benda yang najis. Apabila air sampai 2 qullah atau lebih, maka tidak disyaratkan mengalirkan air ke benda najis tersebut bahkan boleh memasukkan benda najis tersebut ke air yang sampai 2 qullah atau lebih. Kecuali apabila berubah salah satu dari 3 sifatnya (warna, bau dan rasa) maka air tersebut tetap suci.
c.       Cara Menghilangkan/Menyucikan Najis Berat (Mughalladzah)
Najis mughalladzah (mugholadhoh) adalah najis anjing dan babi. Cara menghilangkannya adalah dengan membasuh najis sebanyak 7 (tujuh) kali dan salah satu dari tujuh itu dicampur dengan debu atau tanah yang suci.
6.      Sabun Sebagai Ganti Debu Dalam Menghilangkan Najis Anjing.[15]
Ada 3 pendapat tentang boleh tidaknya menggunakan benda selain debu/tanah untuk menghilangkan najis mugholadhoh:
Pendapat pertama: Selain debu tidak bisa dipakai sebagai pengganti debu secara mutlak baik ada debu atau karena tidak adanya. Ini pendapat madzhab Syafi'i, Hanbali dan Ibnu Hazm
Pendapat kedua: Selain debu itu dapat berfungsi sebagai ganti dari debu. Baik ada debu atau karena tidak ada. Ini salah satu pendapat dalam madzhab Syafi'i, dan Imam Muzani. Dan pendapat yang masyhur dalam madzhab Hanbali.
Pendapat ketiga: Selain debu dapat berfungsi seperti debu apabila tidak ada debu saja atau apabila ada debu tapi dapat merusak benda yang terkena najis. Ini salah satu pendapat dalam madzhab Syafi'i dan Hanbali (Uraian lebih detail soal perbedaan pendapat ini dapat dilihat di kitab Al-Wasith 1/407).
pendapat dalam madzhab Syafi'i yang menghukumi cukupnya mensucikan najis mughalladzah sekali saja.
7.      Status Air Bekas Membasuh Najis Anjing Babi Pada Basuhan Pertama Sampai Keenam
Al-Mawardi dalam Alhawi Al-Kabir 1/310 membagi pendapat ulama madzhab Syafi'i dalam tiga kategori yaitu najis, suci, najis untuk bekas basuhan pertama s/d keenam, sedang bekas basuhan ketujuh suci.
Bagi yang berpendapat najis, apakah najisnya mugholadzah atau mutawassithoh dan berapa kali harus dibasuh supaya suci ada dua pendapat. Air sisa membasuh wadah yang dijilat anjing
Adapun air yang dipakai dalam basuhan yang tujuh apabila disendirikan dari tiap-tiap basuhan, maka ulama madzhab Syafi'i terbagi dalam 3 pendapat.
Pertama, masing-masing air bekas basuhan itu najis berdasarkan pada hukum asal air bekas menghilangkan najis adalah najis.

Kedua, masing-masing bekas basuhan yang tujuh itu suci. Karena ia air mustakmal.
Dan masing-masing basuhan itu memiliki bagian dalam menyucikan wadah.Ketiga, air basuhan yang ketujuh hukumnya suci. Sedangkan basuhan sebelumnya dari pertama sampai keenam hukumnya najis karena terpisah dari tempat sedang najisnya masih ada.
Apabila mengikuti pendapat ini, maka wajib membasuh benda atau badan yang terkena bekas air basuhan ini. Adapun jumlah basuhan yang harus dilakukan ada dua pendapat: Pertama, cukup dibasuh satu kali saja. Kedua, harus dibasuh menurut jumlah yang tersisa dari tujuh pada basuhan yang terkena.
8.      Najis Anjing Menurut Empat Madzhab
Madzhab yang empat yaitu Syafi'i, Hanafi, Maliki, Hanbali memiliki perbedaan pendapat tentang najisnya anjing sebagai berikut:
a.       Madzhab Syafi'i: menghukumi bahwa seluruh bagian anjing adalah najis baik badan, bulu, lendir, keringat dan air liurnya.
Adapun cara menyucikannya adalah dengan menyiramkan 7 kali air salah satunya dicampur dengan tanah. Namun ada pendapat dalam madzhab Syafi'i yang menyatakan yang wajib dibasuh 7 kali itu adalah yang terkena air ludah anjing sedangkan yang selain itu cukup dibasuh satu kali.
b.      Madzhab Maliki: berpendapat bahwa anjing yang hidup adalah suci baik badannya, bulunya maupun air liurnya. Adapun mencuci wadah yang bekas dijilat anjing maka hukumnya ta'abhudi (sunnah).
c.       Madzhab Hanafi: berpandangan bahwa badan dan bulu anjing itu suci. Sedang air liur anjing adalah najis. Cara menyucikannya cukup 3 (tiga) kali.
d.      Madzhab Hanbali: ada dua pendapat di antara ulama madzhab Hanbali yaitu (a) anjing itu najis baik badannya, bulunya maupun air liurnya; (b) Badan dan bulu anjing itu suci. Hanya air liurnya yang najis.
11.  Cara Menghilangkan Atau Menyucikan Najis Menurut Empat Madzhab
a.       Menghilangkan Najis Dengan Benda Cair Selain Air
Ada dua pendapat ulama dalam soal ini. Pendapat pertama, najis dapat hilang atau suci dengan alat apapun yang suci yang dapat menghilangkan najis. Jadi tidak tertentu pada air saja. Ini pendapat madzhab Hanafi dan pilihan Ibnu Taimiyah (dari madzhab Hanbali). Pendapat kedua, najis tidak bisa dihilangkan kecuali dengan air. Ini pendapat madzhab Maliki, Syafi'i, Hanbali, dan Muhammad dan Zafar dari madzhab Hanafi.
b.      Menghilangkan Najis Dengan Uap
Menurut pendapat Ibnu Taimiyah dari madzhab Hanbali, apabila najis bisa hilang dengan sinar matahari, maka itu dapat menyucikan tempat yang terkena najis. Apabila demikian, maka penghilangan najis dengan uap selagi dapat menghilangkan rasa atau warna atau bau maka itu dapat menghilangkan najis. Pendapat ini tidak disepakati oleh kalangan madzhab yang mengharuskan memakai air untuk menghilangkan najis.
c.       Menghilangkan Najis Dengan Digaruk Dan Digosok
Ada tiga pendapat ulama dalam soal ini:
1)        pertama: Madzhab Hanafi berpendapat bahwa menggosok najis dapat menyucikan pada sandal dan khuf saja (khuf adalah muza atau kaus kaki khusus musim dingin). Maka menggosok tidak dapat menyucikan baju kecuali mani (sperma) saja. Mereka mensyaratkan najis tersebut harus berupa benda padat (jazm). Apabila berupa kencing maka tidak dapat disucikan dengan digosok atau dikerik dan harus dibasuh. Madzhab Hanafi membagi dua tentang apakah disyaratkan dalam benda padat itu kering atau tidak. Imam Abu Hanifah sendiri mensyaratkan harus kering. Kalau basah maka harus dibasuh dengan air. Sedangkan Abu Yusuf tidak mensyaratkan harus kering. Artinya, benda padat yang basah juga bisa disucikan dengan digosok atau dikerik.
2)        kedua, madzhab Maliki membedakan antara kaki wanita dan sandalnya. Apabila kaki terkena najis, maka harus disucikan dengan air. Adapun sandal dan muza (khuf), maka menggosok hanya dapat menyucikan sandal dari kotoran hewan dan kencingnya baik kering atau basah. Apabila najisnya itu selain dari kotoran hewan dan kencingnya, maka harus dibasuh dengan air.
3)        ketiga, wajib membasuh kaki perempuan dan muza secara mutlak. Ini pendapat Qaul Jadid dari madzhab Syafi'i. Adapun pendapat Qaul Qadim dari madzhab Syafi'i adalah membedakan antara kaki wanita dan sandalnya. Maka, kaki wanita harus dibasuh dengan air apabila terkena najis. Dan tidak perlu membasuh najis yang mengenai bagian bawah sandal setelah digosok apabila dalam keadaan kering.










DAFTAR PUSTAKA

Ibnu Qosim Al-Ghozi, fathulqarib Al-mujib,Surabaya: Al-Haramain,
Ahmad Isa Asyur, Fiqh Islam Praktispustakamantiq 1995
Muhammad Dib Al- Bagho, At- TadzhiibFiiadillatiMatniGhoyahWatTaqrib,  Al Haromain Jaya Indonesia
Imam Nawawi, Kitab riyadhus sholihin, Kartasura: Insan Kamil, 2011
al-iskandari.blogspot.com/2008/02/wudhu-dan-tayamum.html
Abu Abdillah Muhamad Al Syafi’i, Fathul Qarib Jilid I, Kudus: Menara, 1982
Imam Nawawi, Al Majmu’ Syarah al Muhadzdzab, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009
Proyek pembinaan prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, Dirjen Binbaga Islam Depag, Jakarta: 1984
Santri Pondok Pesantren Ngalah, Kitab Fiqih Jawabul Masa’il Bermadzhab Empat, Menjawab Masalah Lokal, Nasional dan Internasional, Pasuruan: Yayasan Darut Taqwa, 2013.
Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj,Darul Kutub :Beirut 2011.
Toto Edidarmo, Ringkasan Fiqih Madzhab Syafi’i, Jakarta : PT Mizan Publika, 2012
alkhoirot.net diambil/2012/05/najis.html



[1]Ibnu Qosim Al-Ghozi, fathulqarib Al-mujib,(Surabaya: Al-Haramain, tth.), hal. 3.
[3] Ahmad Isa Asyur, Fiqh Islam Praktispustakamantiq 1995
[4] Muhammad Dib Al- Bagho, At- TadzhiibFiiadillatiMatniGhoyahWatTaqrib, (Al Haromain Jaya Indonesia,tth)
[5] Imam Nawawi, Kitab riyadhus sholihin, (Kartasura: Insan Kamil, 2011), hal. 498.
[6]  al-iskandari.blogspot.com/2008/02/wudhu-dan-tayamum.html diunduh pada 15 september pukul 11.00.
[7] Abu Abdillah Muhamad Al Syafi’i, Fathul Qarib Jilid I, (Kudus: Menara, 1982), hal. 2.
[8] Imam Nawawi, Al Majmu’ Syarah al Muhadzdzab, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), hal. 236-237.
[9] Proyek pembinaan prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, Dirjen Binbaga Islam Depag, (Jakarta: 1984), hal. 12.
[10] Ibid,, hal. 237.
[11] Santri Pondok Pesantren Ngalah, Kitab Fiqih Jawabul Masa’il Bermadzhab Empat, Menjawab Masalah Lokal, Nasional dan Internasional, (Pasuruan: Yayasan Darut Taqwa, 2013), hal. 80.
[12] Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj,(Darul Kutub :Beirut 2011).
[13] Toto Edidarmo, Ringkasan Fiqih Madzhab Syafi’i, (Jakarta : PT Mizan Publika, 2012) hal. 66
[14] Ibid, hal 68
alkhoirot.net diambil/2012/05/najis.html , pada minggu pukul 16.00 WIB

1 komentar:

  1. If you're trying hard to lose pounds then you absolutely have to jump on this totally brand new custom keto diet.

    To produce this keto diet service, licensed nutritionists, personal trainers, and top chefs united to produce keto meal plans that are productive, suitable, cost-efficient, and enjoyable.

    From their first launch in January 2019, 100's of people have already transformed their body and health with the benefits a smart keto diet can give.

    Speaking of benefits: in this link, you'll discover eight scientifically-tested ones given by the keto diet.

    BalasHapus