Senin, 22 Mei 2017

Makalah Pemikiran Mohammed Arkoun



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Islam memiliki peran penting historis bagi kita semua, tetapi pada saat yang sama, pemahaman kita terhadap fenomena ini sangat tidak memadai. Kemunduran Islam terjadi karena disebabkan oleh kalangan umat Islam itu sendiri, setelah ulama Islam mengatakan bahwa pintu ijtihad telah ditutup, seluruh kreatifitas pemikiran umat Islam mulai terpasung dengan adanya kalimat yang telah menjumudkan pemikirannya. Hal ini mengakibatkan maraknya taqlid buta yang yang menjamur dikalangan umat Islam. Praktek munutup diri terhadap apa-apa yang ada di Barat menyebabkan kemunduran dan kejumudan pemikiran Islam semakin melebar. Kreatifitas pemikiran umat Islam telah dipenjara dengan taqlid.
Ada kebutuhan untuk mendorong dan memprakarsai pemikiran yang berani, bebas dan produktif tentang Islam sekarang. Dalam wacana pemikiran islam kontemporer, kajian pemikiran Islam model Mohammed Arkoun mempunyai corak yang sangat berbeda dengan corak pemikiran telaah pemikiran Islam yang selama ini di kenal secara umum, yakni telaah pemikiran Islam model para orientalis.
Maka dari itu pemakalah merasa tertarik membahas pemikiran Mohammad Arkoun tentang Rethinking Islam yang ingin menghidupkan kembali pemikiram Islam dan melepaskan dari taqlid buta dengan metode-metodenya.
B.     Rumusan Masalah
1.       Siapakah Mohammad Arkoun dan apa pemikiran Islam dari Arkoun?
2.       Apa metode yang digunakan dalam pemikiran Mohammad Arkoun?
3.       Apa saja karya-karya dari Mohammad Arkoun?
4.       Apa pemikiran seorang Mohammad Arkoun yang paling exist?

C.     Tujuan Penulisan
1.       Dapat mengenal dan mengetahui pemikiran Islam dari Arkoun.
2.       Mengetahui dan memahami metode yang digunakan dalam pemikiran Mohammad Arkoun.
3.       Mengetahui karya-karya dari Mohammad Arkoun.
4.       Mengetahui dan memahami hasil pemikiran Arkoun yang paling exist.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sekilas Biografi Mohammad Arkoun
Mohammad Arkoun lahir pada tanggal 1 Februari 1928 di Taourito Mimoun, Kabilia sebelah timur Aljir, Aljazair, suatu daerah yang terletak di pegunungan Berber.[1] Keadaan itulah yang menghadapkannya sejak masa mudanya pada tiga bahasa : bahasa Kabilia, bahasa Arab yang dibawa bersama ekspansi Islam sejak abad pertama hijriah, dan bahasa Prancis yang dibawa oleh bangsa yang menguasai Aljazair antara tahun 1830-1962.
Kehidupan Arkoun yang mengenal berbagai tradisi dan kebudayaan merupakan faktor penting bagi perkembangan pemikirannya. Sejak mudanya Arkoun secara intens akrab dengan tiga bahasa: Kabilia, Perancis dan Arab. Bahasa kabilia biasa dipakai dalam bahasa keseharian, bahasa Perancis digunakan dalam bahasa sekolah dan urusan administratif, sementara bahasa Arab digunakan dalam kegiatan-kegiatan komunikasi di masjid.
Sampai tingkat tertentu, ketiga bahasa tersebut mewakili tiga tradisi dan orientasi budaya yang berbeda. Bahkan ketiga bahasa tersebut juga mewakili cara berpikir dan memahami. Bahasa Kabilia, yang tidak mengenal bahasa tulisan, merupakan wadah penyampaian sehimpunan tradisi dan nilai pengarah mengenai kehidupan sosial dan ekonomi yang sudah berusia beribu-ribu tahun. Bahasa Arab merupakan alat pengungkapan tertulis mengenai ajaran keagamaan yang mengaitkan negeri Aljazair ini dengan Timur Tengah. Bahasa Perancis merupakan bahasa pemerintahan dan menjadi sarana akses terhadap nilai dan tradisi ilmiah barat. Karena itu, tidak mengherankan kemudian kalau masalah bahasa mendapatkan perhatian besar dalam bangunan pemikiran Arkoun.
Pendidikan Arkoun dimulai pada sekolah dasar di desa asalnya, kemudian belajar sekolah menengah di kota pelabuhan Oran. Kemudian, Arkoun melanjutkan studi bahasa dan sastra Arab di Universitas Aljir (1950-1954), sambil mengajar bahasa Arab pada sebuah Sekolah Menengah Atas di al-Harach, yang berlokasi di daerah pinggiran ibukota Aljazair. Pada saat perang kemerdekaan Aljazair dari Perancis (1954-1962), Arkoun melanjukan studi tentang bahasa dan sastra Arab di Universitas Sorbonne, Paris. Ketika itu, dia sempat bekerja sebagai engage bahasa dan kesusasteraan Arab di Paris serta mengajar di sebuah SMA (Lycee) di Strasbourg (daerah Perancis sebelah timur laut) dan diminta memberi kuliah di Fakultas Sastra Universitas Strasbourg (1956-1959). Pada tahun 1961, Arkoun diangkat sebagai dosen di Universitas Sorbonne, Paris, sampai tahun 1969, Arkoun menetap di Perancis dan menghasilkan banyak karya yang dipengaruhi oleh perkembangan mutakhir tentang islamologi, filsafat, ilmu bahasa dan ilmu-ilmu sosial di dunia Barat, terutama di dunia tradisi keilmuan Perancis.
Jenjang pendidikan dan pergulatan ilmiah yang ditempuh Arkoun membuat pergaulannya dengan tiga bahasa (Berber Kabilia, Arab dan Perancis) dan tradisi serta kebudayaannya menjadi semakin erat. Di kemudian hari, barangkali inilah yang cukup mempengaruhi perhatiannya yang begitu besar terhadap peran bahasa dalam pemikiran dan masyarakat manusia. Ketiga bahasa tersebut sesungguhnya mewakili tiga tradisi, orientasi budaya, cara berpikir dan cara memahami yang berbeda. Sosok Arkoun yang demikian ini dinilai sebagai cendekiawan yang melibatkan diri dalam berbagai kegiatan dan aksi yang menurutnya penting bagi kemanusiaan, sebab baginya, pemikiran dan aksi haruslah saling berkaitan.

B.     Arkoun dan Pemikiran Islam
1.    Metodologi dan Pendekatan Mohammed Arkoun
Metodologi dan pendekatan yang digunakan Mohammad Arkoun sedikit banyak telah dipengaruhi oleh dua kekuatan tradisi pemikiran yang telah ada, yaitu: tradisi pemikiran budaya Timur Tengah kuno yang memiliki tempat spesial di dalam pemikiran Yunani dan tradisi pemikiran monoteisme yang dipikirkan (dibawa) oleh para Nabi. Sehingga, Arkoun mengemukakan bahwa dirinya sebagai pengguna metodologi historis-kritis yang mencoba merespon rasa keingin tahuannya secara modern, karena metodologi ini dinilainya dapat menelusuri studi tentang pengetahuan mitis yang tidak hanya dibatasi dengan mentalitas lama.
Dengan demikian menurut  Mohammed Arkoun, pada saat ini usaha intelektual utama yang harus dipresentasikan secara luas ke dalam pemikiran tentang Islam dan tentang agama lainnya adalah bagaimana mengevaluasi karakteristik-karakteristik dari sistem ilmu pengetahuan yang historis dan mitis, dengan perspektif epistemologis yang baru.
Tujuan yang ingin diraih dengan proyek ini adalah untuk mengembangkan sebuah strategi epistemologi baru bagi bidang studi perbandingan terhadap budaya, melalui contoh yang dikembangkan oleh Islam sebagai agama dan sebagai sebuah produk sosial sejarah. Arkoun mengajukan pendekatan historis, sosiologis, dan antropologis yang dilakukannya ini bukan dengan tujuan untuk menghilangkan betapa pentingnya pendekatan teologis dan filosofis, namun dengan tujuan untuk memperkaya pendekatan tersebut dengan memasukkan keadaan-keadaan historis dan sosial yang selalu dipraktekkan di dalam Islam.[2]  Metode Arkoun ini disebutnya sebagai salah satu bentuk metode dekonstruksi. Strategi dekonstruksi tersebut hanya mungkin dilakukan dengan epistemologi modern yang kritis.
Historis berperan sebagai metode rekonstruksi makna melalui cara penghapusan relevensi antara teks dengan konteks. Melalui metode historis, yang mewujud dalam bentuk “kritik nalar islami”, teks-teks klasik didekonstruksi menuju rekonstruksi (konteks). Bila metode ini diterapkan pada teks-teks agama, apa yang diburu Arkoun adalah makna-makna baru yang secara potensial bersemayam dalam teks-teks tersebut.
Arkoun menganggap proyek kritik akal Islamnya sebagai tak lain dari perluasan terhadap makna ijtihad klasik. Perpindahan dari ijtihad klasik ke kritik akal Islam adalah usaha mematangkan dan memantapkan posisi ijtihad itu sendiri.[3]
Dengan demikian, nalar kritis seseorang harus dibebaskan dari ontologi, transendentalisme, dan substansionalisme yang mengikat, membatasi kebebasan dan memenjarakannya, terutama di dalam nalar yang dielaborasikan di dalam berbagai macam teologi melalui metafisika dan logika Yunani. Dalam melaksanakan proyek besar tersebut, menurut Arkoun harus dimulai dari suara atau teori yang dianggap Mohammed Arkoun memiliki otoritas, karena hanya dia yang dapat memberikan penampakan Islam pada mentalitas modern yang ilmiah, dan sekaligus juga di dalam pengalaman keagamaan orang Islam. Dalam bahasa yang lain, agar kita dapat mengartikulasikan visi modern tentang Islam yang sekaligus bisa memberikan pengaruh pada komunitas.[4]

2.    Karya – Karya Mohammed Arkoun
Di antara karya-karyanya adalah Rethinking Islam Today, Mapping Islamic  Studies, Genealogy, and Change, The Untought in Contemporary Islamic  Thought, al-Turath: Muhtawahu wa Huwiyyatuhu –sijjabiyatuhu wa salbiyatuhu, Min al-Ijtihad ilal al-Naqd al-‘Aql al-Islami, al-Fikr al-Ushuli wa  Istihalat al-Ta’shil: Nahwa Tarikhin Akhbar li al-Fikr al-Islami, al-Quran  min al-Tafsir bil Mauruth, Lectures de Coran, Min Faysal al-Tafriqah ila  Fasl al-Maqail: Aina huwa al-Fikr al-Islami al-Mu’ashir, The Concept of   Authorithy in Islamic Thought,dan Religion and Society. Sejumlah karya besar Arkoun meliputi[5];
a.     La pensee arabe (Dunia Perkembangan Arab),Paris 1973.
b.     Ouvertures Sura I ‘Islam (Catatan-catatan Pengantar untuk Memahami Islam).
c.     Contribution atitude de Islam humannisme arabae au IV/X siecle : Miskawayh  Philosiphe historien (sumbangan pada Pembahasan Humanisme Arab pada Abad IV/X; Miskawaih sebagai Filsuf dan Sejarawan), Paris, Grancher,1989.
d.    Essais sur la pensce Islamique(Esai-esai tentang Pemikiran Islam),Paris Virin,1973
e.     Lectures de Coran (Tokoh tentang Alquran) Paris, 1982.
f.      Pour une Critique de la Raison Islamique (Demi Kritik Nalar Islami)Paris,1984.

3.   Pemikiran Mohammed Arkoun.
Perhatian Arkoun sangat besar terhadap persoalan Islam yang intinya dapat dikelompokkan dalam pemikiran islam yaitu masalah kemasyarakatan, pemahaman terhadap kitab suci, pengertian etika, serta kaitannya antara islam dan modernitas. Arkoun dalam studinya ia menggunakan pendekatan ilmu sosial untuk memahami Islam sebagai suatu agama yang dianut oleh masyarakat majemuk di zaman modern.
Dalam Islamisasi pengetahuan Barat, Arkoun mempunyai wewenang dan keunikan sendiri dalam menggagas pemikirannya, ia sangat memahami seluk beluk tentang Barat. Kebanyakan pemikirannya terilhami gagasan-gagasan Barat kontemporer, dan juga upaya untuk menghidupkan pemikiran dalam model atau corak baru.[6] Arkoun menganjurkan untuk melakukan usaha pembebasan atas pemikiran Islam dari kejumudan dan ketertutupan dengan pendekatan kajian historis dan kritis dan dengan perangkat pemikiran ilmu pengetahuan Barat mutakhir. Pemikirannya banyak mengarah kepada usaha para peneliti Islam yang mendekati Islam melalui karya-karya tulis dari berbagai tokoh klasik. Mengenai hal yang menyangkut pemikiran logis dan rasional seperti fiqh, terutama Teologi agar melampaui batas studi Islam Tradisional; Hal tersebut tampak bahwa tulisan Arkoun memusatkan perhatian pada tokoh- tokoh besar seperti Miskawaih dan tokoh lainnya.
Landasan utamanya adalah pengetahuan modern yang menjadi pendekatan Arkoun terhadap Islam. Karena, menurutnya sejarah masyarakat islam sangat berkaitan dengan masyarakat Barat. Tidak ada dikotomi antara pemikiran Barat dengan pemikiran Islam. Keduanya harus dihargai. Keduanya perlu dievaluasi, mengingat konteks sejarah ada rumpun dalam “kelompok ahli-ahli kitab” yang menurutnya untuk merevormasi universalitas tanpa merusak partikularitas.[7] Perkembangan mutakhir tentang pemikiran ilmu-ilmu keislaman, telah menerima ilmu ushul fiqih dalam fungsi metodologi projektifnya merupakan suatu dukungan ilmiah dan intelektual bagi sifat agama dalam hukum Islam. Suatu dekontruksi kritis gagasan dan tipe rasionalitas penting untuk secara modern menilai kembali wahyu sebagai gejala budaya dan sejarah yang komplek. Arkoun mendorong adanya islamologi terapan dalam pengembangan pemikiran dan nalar Islam. Menurutnya, berbagai karya klasik saat itu menjadi kajian  penting masyarakat Barat. Suatu pendekatan atau metodologis yang tidak mungkin terabaikan adalah bahwa ada nasib kesejarahan antara barat dan Islam dalam konteks historis.
Catatan penting dalam pemikiran Arkoun adalah tentang perlunya kesadaran dan daya kritis tinggi untuk mencermati khasanah pengetahuan Barat yang dipakai dalam mengkaji nilai Islam. Ia sebenarnya punya filterisasi atas barat untuk memadukannya dengan Islam. Pisau analisisnya adalah perangakat teoritis barat yang digunakannya untuk mengislamisasikan nilai yang terbaratkan. Arkoun juga ingin menyatukan semua perbedaan identitas sesama umat Islam, bahkan dengan nonmuslim. Mencitrakan Islam baik isi nilai keislaman maupun muatan permukaan dari umatnya, agar persepsi yang keliru dari masyarakat barat terhadap islam dapat dihilangkan. Arkoun mencitrakan Islam bukan dengan cara menonjolkan islam dalam keanekaragaman, tapi Islam yang Islami dalam kesatuan.
Arkoun menjabarkan selama beberapa dasawarsa umat Islam seakan lupa tentang segala sesuatu yang berbau Barat juga terkandung berbau Eropa. Menurutnya Eropa perlu dicermati esensi-esensi peradabannya jangan hanya diambil permukaannya saja. Arkoun berusaha menyatakan diri sebagai perwakilan yang mencoba mengedepankan islam apa adanya, baik selaku nilai suci maupun sudah terkontekstualisasi dalam sejarah. Muatan Islam tersebut selain memudahkan kelompok pemula islam, juga memudahkan bagi kelompok yang meremehkan dan memandang Islam sebagai suatu nilai yang sudah tercatatkan sejarah. Dari sisi ini, karya-karya Arkoun sangat melewati batas – batas pemikir sebelumnya mengenahi Islam.
Memikirkan kembali (rethinking) Islam mengandaikan bahwa Mohammed Arkoun tengah mengulang posisi dari ishlah yang sudah dikenal baik – pemikiran reformis yang telah dipresentasikan sejak abad ke-19 oleh aliran salafi. Arkoun ingin menghindari berbagai persamaan antara perspektif modern atau pemikiran kritis radikal yang diaplikasikan pada banyak subjek dan pemikiran ishlahi yang dalam tradisi  Islam merupakan sebuah sikap mitis yang kurang lebih berpaduan dengan pendekatan historis terhadap masalah-masalah yang berhubungan dengan visi keagamaan.
Mohammed Arkoun tidak akan lagi memaksakan pentingnya linguistik dan semiotika dalam memikirkan kembali status kognitif wacana agama. Namun, Arkoun menekankan pada berbagai pandangan yang sudah dikembangkan pada beberapa esai yang dihimpun dalam Critique de la raison Islamique, yang membahas hal-hal berikut[8]:
a.   Alat-alat untuk pemikiran baru
Periodisasi sejarah pemikiran dan sastra selama ini ditentukan oleh peristiwa-peristiwa  politis. Kita sekarang ini berbicara tentang periode Umayyah, Abbasiyah, dan Utsmani. Bagaimanapun, ada lebih banyak kriteria yang mencerahkan yang dapat kita gunakan untuk membedakan periode-periode perubahan dalam sejarah pemkiran. Kita harus mempertimbangkan diskontinuitas-diskontinuitas yang mempengaruhi kerangka kerja konseptual yang digunakan dalam sebuah wilayah kultural yang telah ada (a given cultural space). Konsep-konsep mengenai nalar dan sains (‘ilm) yang digunakan dalam al-Qur’an misalnya, tidak sama dengan yang kemudian dikembangkan oleh kaum falasifa, menurut aliran Platonik dan Arestotelian. Bagaimanapun, konsep-konsep yang dielaborasi dalam wacana al-Qur’an sekarang masih digunakan secara akurat karena episteme yang diperkenalkan al-Qur’an tidak pernah dipertimbangkan secara  intelektual.
Episteme merupakan yang lebih baik bagi studi pemikiran karena ia concen dengan struktur dari wacana itu – postulat-postulat implisit yang mengendalikan konstruksi sintaksis dari wacana itu. Untuk mengontrol  validitas epistemologis dari berbagai wacana, adalah penting untuk menemukan dan menganalisis postulat-postulat  implisitnya. Upaya ini tidak pernah dilakukan untuk semua wacana dalam pemikiran Islam. Itulah mengapa Arkoun harus bersikeras menuntut digunakannya episteme baru yang secara implisit ada dalam jaringan konsep-konsep yang digunakan dalam sains-sains sosial dan kemanusiaan semenjak akhir abad ke-16.
Adalah tidak mungkin misalnya, menggunakan bahasa arab untuk mengekspresikan “masalah Tuhan”, yang menghubungkan Allah dan musykil (masalah yang sangat sulit); Allah tidak bisa dianggap sebagai problematik. Dia dikenal – baik, dipresentasikan dengan baik dalam al-Qur’an; manusia harusnya hanya merenungkan, menginternalisasi, dan mematuhi apa yang diwahyukan Allah Dirinya dalam firman-Nya.  Pembahasan klasik mengenai sifat-sifat Allah tidak bisa diterima oleh semua mazhab; dan akhirnya sifat-sifat itu dihimpun sebagai nama-nama Allah yang paling indah (asma Allah al-husna), tapi ditolak sebagai subjek penelitian ilmiah.

b.  Mode-Mode Pemikiran
Mohammed Arkoun mengklarifikasi dan melakukan diferensiasi antara dua mode pemikiran yang diadopsi oleh para pemikir muslim saat lahirnya modernitas intelektual dalam masyarakat mereka (bukan hanya dalam pemikiran), yaitu sejak permulaan Nahdha di abad ke-19. Arkoun tidak akan menekankan trend yang dikenal baik dari pemikiran reformis salafi yang dipelopori oleh Jamal al-Din al-Afghani dan Muhammad Abduh. Inilah yang Mohammed Arkoun sebut sebagai jalan pemikiran ishlahi yang telah menjadi karakteristik pemikiran Islam sejak wafatnya Nabi. Prinsip-prinsip umum bagi semua pemikir muslim, ‘ulama mujtahidin, sebagaimana bagi para sejarahwan yang mengadopsi kerangka kerja teologis yang diberikan oleh divisi waktu menjadi dua bagian – sebelum/ sesudah hijriah (seperti sebelum/ sesudah masehi) – adalah semua yang mentransendensikan Kebenaran Ilahi yang telah diberikan kepada umat manusia oleh wahyu dan secara konkret direalisasikan oleh Nabi melalui inisiatif-inisiatif historis di Madinah.
Untuk memikirkan kembali Islam, seseorang harus memahami asal-usul sosio-kultural pemikiran ishlahi dan pengruhnya terhadap nasib historis masyarakat-masyarakat tempat pemikiran ini telah atau masih dominan. Untuk menilai validitas epistemologis pemikiran  ishlahi, seseorang memulai dari masalah-masalah radikal dan awal yang berhubungan dengan proses generatif, struktur dan penggunaan ideologis pengetahuan. Dengan ini, dimaksudkan setiap jenis dan level pengetahuan yang dihasilkan oleh manusia yang hidup, bertindak, dan berpikir dalam situasi sosial-historis yang yelah ada. Pemikiran radikal merujuk pada kondisi biologis, historis, linguistik dan semiotik yang diberikan oleh masyarakat sebagai wujud-wujud alami. Dari perspektif ini, Wahyu Islam hanyalah sebuah upaya, di samping upaya-upaya yang lain, untuk emansipasi umat manusia dari batasan-batasan alami kondisi biologis, historis, dan linguistik mereka.

c.   Dari yang tak Terpikirkan ke yang Terpikirkan
Islam dipresentasikan dan dihidupkan sebagai sebuah sistem kepercayaan dan non-kepercayaan yang tidak bisa ditundukkan pada penelitian kritis apapun. Dengan demikian, membagi wilayah menjadi dua bagian: yang tak terpikirkan dan bukan terpikirkan. Kedua konsep ini bersifat historis dan tidak filosofis. Wilayah perspektif dari masing-masing bagian berubah melalui sejarah dan berbeda dari satu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya. Sebelum upaya sistematisasi yang dilakukan oleh Syafi’i mengenai konsep penggunaan sunnah dan ushuli, banyak aspek pemikiran Islam yang masih merupakan wilayah yang terpikirkan. Wilayah itu menjadi tak terpikirkan setelah kemenangan teori Syafi’i dan juga elaborasi dari “kumpulan-kumpulan” otentik. Sama halnya, masalah-masalah yang berhubungan dengan proses historis pengumpulan al-Qur’an dalam sebuah mushaf resmi menjadi semakin tak terpikirkan dibawah tekanan resmi kekhalifahan karena al-Qur’an telah digunakan sejak permulaan negara Islam untuk melegitimasi kekusaan politik dan menyatukan umat. Keputusan resmi terakhir yang menutup setiap pembahasan mengenai bacaan-bacaan mushaf ortodoks yang diterima telahdibuat oleh qadhi Ibn Mujahid setelah adanya percobaan Ibn Shumbudh (abad ke-4 H/ 10 M).
d.  Masyarakat Kitab
Mohammed Arkoun memperkenalkan konsep ini sebagai suatu kategori historis untuk memperdalam analisi mengenai agama-agama wahyu. Pertama menekankan fakta yang signifikan bahwa tiga agama wahyu belum pernah ditelti secara komparatif. Bahkan, masih ada literatur deskriptif, terutama mengenai Islam dan Kristen, tengah dikembangkan sesuai dengan dialog Islam-Kristen,  tapi postulat-postulat teologis yang diterima dalam masing-masing tradisi masih mendominasi berbagai analsis tentang agama-agama wahyu.
Arkoun menyebut masyarakat-masyarakat  Kitab yang telah dibentuk sejak abad  pertengahan oleh kitab sebagai sebuah fenomena religius dan kultural. Kitab itu sendiri mempunyai dua makna dalam persperktif ini. Kitab Langit (The Heavenly Book)yang dijaga oleh Tuhan dan memuat semua firman Tuhan yang disebut Umm al-Kitab dalam al-Qur’an.
e.   Strategi Dekonstruksi
Hingga kini kita telah mempresentasikan unsur-unsur dan kekuatan-kekuatan yang bertindak dalamMasyarakat Kitab. Ini tidak cukup memikirkan dalam cara baru mengenai pertentangan antara masyarakat-masyarakat kitab dan masyarakat-masyarakat sekular. Memikirkan tentang pertentangan ini berarti memikirkan dari perspektif baru mengenai nasib manusia dengan dua akibat historis utama. Masyarakat Kitab, seperti halnya dengan masyarakat sekular, telah menunjukkan batas-batas intelektual dan kegagalan-kegagalan empirik dari paradigma respektif mereka bagi tindakan historis.
Mamikirkan situasi historis kita yang baru merupakan sebuah usaha positif. Tidak bermaksud mengajukan kritik negatif terhadap upaya-upaya sebelumnya pada emansipasi eksistensi manusia sebagai mana kita ingin memberikan jawaban-jawaban yang relevan bagi persoalan-persoalan yang tertunda dan menekan. Inilah mengapa Arkoun lebih suka berbicara mengenai strategi dekonstruksi, kita harus mendekonstruksi  imaginaire sosial yang telah distrukturkan selama berabad-abad oleh fenomena Kitab sperti halnya dengan kekuatan-kekuatan sekular dari peradaban material sejak abad ke-17.
f.    Wahyu dan Sejarah
Strategi dekonstruksi mengarah pada konfrontasi mutlak yang menentukan dalam masyarakat-masyarakat kitab. Ketika kita menemukan fungsi imaginaire sosial seperti menghasilkan sejarah kelompok, kita tidak bisa lagi mempertahankan teori tentang wahyu seperti yang telah dielaborasi sebelumnya, yaitu sebagai citra-citra yang dihasilkan fenomena kompleks dari intervensi profetik.
Al-Qur’an menekankan pentingnya manusia untuk mendengar, menyadari, merefleksikan, menembus, memahami, dan merenungkan. Semua kata kerja ini merujuk pada aktivitas-aktivitas intelektual yang mengarah pada suatu jenis rasionalisasi yang didasarkan pasa paradigma eksistensial yang diungkapkan bersama sejarah keselamatan. Sejarah merupakan inkarnasi aktual  dari wahyu sebagiamana ia diinterpretasikan oleh para ulama dan disimpan dalam kenangan kolektif. Wahyu memelihara kemungkinan memberi sebuah legitimasi “transenden” bagi tatanan sosial dan proses historis yang diterima oleh kelompok itu. Namun kemungkinan ini fapat dipertahankan hanya sealam sistem kognitif yang didasarkan pada imaginaire sosial, tidak digantikan oleh suatu rasionalitas baru, rasionalitas yang lebih masuk akal berkaitan dengan organisasi yang berbeda dari wilayah sosial historis. Inilah satu alasan bagi pertentangan yang sudah dikenal antara kaum falasifa dan mutkallimun, atau fuqaha.

C.  Pemikiran Mohammad Arkoun yang Exist
1.    Tradisi Hermeneutik
Arkoun dengan pemikirannya berusaha memperkenalkan pendekatan pemikiran hermeneutika sebagai methodologi kritis yang akan memunculkan informasi, makna dan pemahaman baru ketika suatu teks dan aturan di dekati dengan cara pandang baru, terutama dengan menggunakan metode hermeneutika histories-kontekstual. Karena sikap dari setiap pengarang, teks dan pembaca tidaklah lepas dari konteks sosial, politis, psikologis, teologis dan konteks lainnya dalam ruang dan waktu tertentu. Maka dalam memahami sejarah yang di perlukan bukan hanya transfer makna, melainkan juga transformasi makna. Pemahaman tradisi Islam selalu terbuka dan tidak pernah selesai, dalam istilah lain bahwa pintu ijtihad belumlah tertutup karena pemaknaan dan pemahamannya selalu berkembang seiring dengan perkembangan ummat Islam yang selalu terlibat dalam penafsiran ulang dari zaman ke zaman. Ketika mendekati (membaca dan memahami) Al Qur’an dan tradisi keislaman muncullah tiga kesimpulan:
a.       Sebagian kebenaran pernyataan Al Qur’an baru akan kelihatan di masa depan.
b.      Kebenaran yang ada pada Al-Qur’an berlapis-lapis atau berdimensi majemuk, sehingga potensi pluralitas pemahaman terhadap kandungan Al-Qur’an adalah hal yang sangat wajar dan lumrah atau bahkan di kehendaki oleh Qur’an sendiri.
c.       Terdapat doktrin dan tradisi keislaman histories-aksidental sehingga tidak ada salahnya jika doktrin dan tradisi keislaman itu di pahami ulang dan di ciptakan tradisi baru. Kesimpulan yang terakhir ini bisa menyangkut ayat-ayat soal pembagian harta waris, posisi wanita dalam masyarakat, dan hubungan ummat Islam dengan agama lain.[9]
2.    Pembacaan Al-Qur’an
Arkoun menyadari bahwa dengan kelahiran teks Alqur’an, perubahan mendasar di kalangan umat dalam memahami wahyu telah terjadi. Raison graphique (nalar grafis) telah mendominasi cara berpikir umat sehingga logos kenabian (prophetique) didesak oleh logos pengajaran (professoral). Selain itu, kemiskinan usaha untuk memahami wahyu dari segala dimensinya juga telah terjadi. Untuk itulah tujuan qira’ah menurut Arkoun adalah untuk comprendre,  yakni mengerti komunikasi kenabian yang hendak disampaikan lewat teks yang bersangkutan dengan cara mengoptimalkan setiap kemungkinan untuk mereproduksi makna.[10] Arkoun melihat, paling tidak ada tiga macam cara pembacaan Alqur’an:
a.       Secara liturgis, yaitu memperlakukan teks secara ritual yang dilakukan saat shalat, doa-doa tertentu dan ibadah yang lain yang bertujuan untuk “mereaktualisasikan saat awal ketika Nabi mengujarkannya untuk pertama kali” agar didapatkan kembali kondisi seperti “ujaran I”. Dengan cara ini, manusia melakukan komunikasi rohani secara horisontal maupun vertikal dan sekaligus melakukan pembatinan kandungan wahyu.
b.      Secara eksegesis yang berfokus utama pada “ujaran 2”, yaitu ujaran yang termaktub di dalam mushaf.
c.       Dengan cara memanfaatkan temuan-temuan metodologis yang disumbangkan oleh ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu bahasa.
3.    Pluralisme Agama
Mohammed Arkoun menyatakan bahwa Islam akan meraih kejayaannya jikalau umat Islam mau membuka diri terhadap pluralisme pemikiran dan Pluralisme bisa dicapai bila pemahaman agama dilandasi paham kemanusiaan, sehingga umat Islam bisa bergaul dengan siapa pun. Arkoun mengungkapkan, humanisme Timur Tengah muncul pada abad ke-10 di Irak dan Iran yang didasarkan pada pendekatan humanis terhadap manusia. Para ahli teologi, hukum, ilmuwan, dan ahli-ahli filsafat berkumpul dalam satu Majelis dengan saling berhadapan muka untuk berbicara dan bertukar pikiran. Namun, memasuki abad ke-13, umat Islam mulai melupakan filsafat maupun debat teologi.
Dalam Islam klasik, kata Arkoun, ketika debat didasarkan pada pendekatan keragaman budaya, keragaman pemikiran, dan keragaman teologi, terjadilah perdebatan yang seru bagaimana menginterpretasikan AlQuran dan mengelaborasi dengan hukum yang didasarkan pada teks suci. Dengan tetap mempertahankan pluralisme, seseorang akan tetap menjadi kritis, baik dalam filsafat maupun teologi. Pluralisme inilah yang hilang dalam Islam sehingga Islam harus berusaha memunculkan kembali dan mempertahankan kebebasan bagi setiap muslim untuk berpartisipasi dalam ijtihad. Pemahaman ini penting untuk membangun demokrasi di negara-negara Islam dan untuk memulihkan kembali kebebasan berpikir dalam Islam.

BAB III
PENUTUP
A.        Kesimpulan

Pada saat ini usaha intelektual utama yang harus dipresentasikan secara luas ke dalam pemikiran tentang Islam dan tentang agama lainnya adalah bagaimana mengevaluasi karakteristik-karakteristik dari sistem ilmu pengetahuan yang historis dan mitis, dengan perspektif epistemologis yang baru.
 Tujuan yang ingin diraih dengan proyek ini adalah untuk mengembangkan sebuah strategi epistemologi baru bagi bidang studi perbandingan terhadap budaya, melalui contoh yang dikembangkan oleh Islam sebagai agama dan sebagai sebuah produk sosial sejarah. Arkoun mengajukan pendekatan historis, sosiologis, dan antropologis yang dilakukannya ini bukan dengan tujuan untuk menghilangkan betapa pentingnya pendekatan teologis dan filosofis, namun dengan tujuan untuk memperkaya pendekatan tersebut dengan memasukkan keadaan-keadaan historis dan sosial yang selalu dipraktekkan di dalam Islam.
Catatan penting dalam pemikiran Arkoun adalah tentang perlunya kesadaran dan daya kritis tinggi untuk mencermati khasanah pengetahuan Barat yang dipakai dalam mengkaji nilai Islam. Ia sebenarnya punya filterisasi atas barat untuk memadukannya dengan Islam. Pisau analisisnya adalah perangakat teoritis barat yang digunakannya untuk mengislamisasikan nilai yang terbaratkan. Arkoun juga ingin menyatukan semua perbedaan identitas sesama umat Islam, bahkan dengan nonmuslim. Mencitrakan islam baik isi nilai keislaman maupun muatan permukaan dari umatnya, agar persepsi yang keliru dari masyarakat barat terhadap islam dapat dihilangkan. Arkoun mencitrakan Islam bukan dengan cara menonjolkan islam dalam keanekaragaman, tapi Islam yang Islami dalam kesatuan. Adapun essai yang dikembangkan oleh Arkoun yang didalamnya membahas mengenai: alat-alat untuk pemikiran baru, mode-mode pemikiran, dari yang tak terpikirkan ke yang terpikirkan, masyarakat Kitab, strategi dekonstruksi, dan wahyu dan sejarah. Pemikiran Arkoun sangat fenomenal, diantaranya yang exist yakni mengenai tradisi hermenetik, pembacaan Al-Quran, dan pluralisme agama.
DAFTAR PUSTAKA

Arkoun, Mohammed. 2005. Islam Kontemporer menuju dialog antar agama. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Taufik, Akhmad,dkk. 2004. Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada
Meuleman, Johan Hendrik, 1996. Tradisi Kemodernan dan Metamodernisme. Yogyakarta.
http://jendelapemikiran.wordpress.com/2008/04/14/mohammad-arkoun-membuka-pluralisme-beragama/, diakses pada hari Jum’at tgl.22-11-13 jam 13.00 WIB.
http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/04/mohammed-arkoun-dan-pemikiran-post.html diakses pada hari Jum’at tgl.22-11-13 jam 13.00 WIB.
http://supraptiwulaningsih.blogspot.com/2012/12/v-behaviorurldefaultvmlo.html


[1].  Mohammad Arkoun, ”Islam Kontemporer menuju dialog antar agama”, hlm.5
[2]. http://jendelapemikiran.wordpress.com/2008/04/14/mohammad-arkoun-membuka-pluralisme
[3] Luthfi Assyaukany, ”Islam dalam Konteks Pemikiran Pasca-Moderne: Pendekatan Menuju Kritik Akal Islam”, dalam jurnal Ulumul Qur’an, nomor 1, vol. V 1994, h. 25.
[4]. Mohammed Arkoun, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001 hlm 8
[5]. Akhmad Taufik, M.Pd, dkk, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, hlm. 205
[6]. Ibid, hlm. 207
[7]. Akhmad Taufik, M.Pd, dkk, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, hlm. 207
[8]. http://supraptiwulaningsih.blogspot.com/2012/12/vbehaviorurldefaultvmlo.html
[9]. Johan Hendrik Meuleman, Tradisi Kemodernan dan Metamodernisme, Yogyakarta, 1996, hlm 26
                [10]. http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/04/mohammed-arkoun-dan-pemikiran-post.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar