BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam
memiliki peran penting historis bagi kita semua, tetapi pada saat yang sama,
pemahaman kita terhadap fenomena ini sangat tidak memadai. Kemunduran Islam terjadi karena disebabkan oleh
kalangan umat Islam itu sendiri, setelah ulama Islam mengatakan bahwa pintu
ijtihad telah ditutup, seluruh kreatifitas pemikiran umat Islam mulai terpasung
dengan adanya kalimat yang telah menjumudkan pemikirannya. Hal ini
mengakibatkan maraknya taqlid buta yang yang menjamur dikalangan umat Islam. Praktek munutup diri terhadap apa-apa yang ada di
Barat menyebabkan kemunduran dan kejumudan pemikiran Islam semakin melebar.
Kreatifitas pemikiran umat Islam telah dipenjara dengan taqlid.
Ada
kebutuhan untuk mendorong dan memprakarsai pemikiran yang berani, bebas dan
produktif tentang Islam sekarang. Dalam wacana pemikiran islam kontemporer,
kajian pemikiran Islam model Mohammed Arkoun mempunyai corak yang sangat
berbeda dengan corak pemikiran telaah pemikiran Islam yang selama ini di kenal
secara umum, yakni telaah pemikiran Islam model para orientalis.
Maka dari itu pemakalah merasa tertarik membahas
pemikiran Mohammad Arkoun tentang Rethinking Islam yang ingin menghidupkan
kembali pemikiram Islam dan melepaskan dari taqlid buta dengan metode-metodenya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Siapakah Mohammad Arkoun dan apa pemikiran Islam
dari Arkoun?
2.
Apa metode yang digunakan dalam pemikiran
Mohammad Arkoun?
3.
Apa saja karya-karya dari Mohammad Arkoun?
4.
Apa pemikiran
seorang Mohammad Arkoun yang paling exist?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Dapat mengenal dan mengetahui pemikiran Islam
dari Arkoun.
2.
Mengetahui dan memahami metode yang
digunakan dalam pemikiran Mohammad Arkoun.
3.
Mengetahui karya-karya dari Mohammad Arkoun.
4.
Mengetahui dan memahami hasil pemikiran
Arkoun yang paling exist.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sekilas
Biografi Mohammad Arkoun
Mohammad Arkoun
lahir pada tanggal 1 Februari 1928 di Taourito Mimoun, Kabilia sebelah timur
Aljir, Aljazair, suatu daerah yang terletak di pegunungan Berber.[1]
Keadaan itulah yang menghadapkannya sejak masa mudanya pada tiga bahasa :
bahasa Kabilia, bahasa Arab yang dibawa bersama ekspansi Islam sejak abad
pertama hijriah, dan bahasa Prancis yang dibawa oleh bangsa yang menguasai
Aljazair antara tahun 1830-1962.
Kehidupan Arkoun yang
mengenal berbagai tradisi dan kebudayaan merupakan faktor penting bagi
perkembangan pemikirannya. Sejak mudanya Arkoun secara intens akrab dengan tiga
bahasa: Kabilia, Perancis dan Arab. Bahasa kabilia biasa dipakai dalam bahasa
keseharian, bahasa Perancis digunakan dalam bahasa sekolah dan urusan
administratif, sementara bahasa Arab digunakan dalam kegiatan-kegiatan
komunikasi di masjid.
Sampai tingkat tertentu,
ketiga bahasa tersebut mewakili tiga tradisi dan orientasi budaya yang berbeda.
Bahkan ketiga bahasa tersebut juga mewakili cara berpikir dan memahami. Bahasa
Kabilia, yang tidak mengenal bahasa tulisan, merupakan wadah penyampaian
sehimpunan tradisi dan nilai pengarah mengenai kehidupan sosial dan ekonomi
yang sudah berusia beribu-ribu tahun. Bahasa Arab merupakan alat pengungkapan
tertulis mengenai ajaran keagamaan yang mengaitkan negeri Aljazair ini dengan
Timur Tengah. Bahasa Perancis merupakan bahasa pemerintahan dan menjadi sarana
akses terhadap nilai dan tradisi ilmiah barat. Karena itu, tidak mengherankan
kemudian kalau masalah bahasa mendapatkan perhatian besar dalam bangunan
pemikiran Arkoun.
Pendidikan
Arkoun dimulai pada sekolah dasar di desa asalnya, kemudian belajar sekolah
menengah di kota pelabuhan Oran. Kemudian, Arkoun melanjutkan studi bahasa dan
sastra Arab di Universitas Aljir (1950-1954), sambil mengajar bahasa Arab pada
sebuah Sekolah Menengah Atas di al-Harach, yang berlokasi di daerah pinggiran
ibukota Aljazair. Pada saat perang kemerdekaan Aljazair dari Perancis
(1954-1962), Arkoun melanjukan studi tentang bahasa dan sastra Arab di
Universitas Sorbonne, Paris. Ketika itu, dia sempat bekerja sebagai engage bahasa dan kesusasteraan Arab di
Paris serta mengajar di sebuah SMA (Lycee) di Strasbourg (daerah Perancis
sebelah timur laut) dan diminta memberi kuliah di Fakultas Sastra Universitas
Strasbourg (1956-1959). Pada tahun 1961, Arkoun diangkat sebagai dosen di
Universitas Sorbonne, Paris, sampai tahun 1969, Arkoun menetap di Perancis dan
menghasilkan banyak karya yang dipengaruhi oleh perkembangan mutakhir tentang
islamologi, filsafat, ilmu bahasa dan ilmu-ilmu sosial di dunia Barat, terutama
di dunia tradisi keilmuan Perancis.
Jenjang
pendidikan dan pergulatan ilmiah yang ditempuh Arkoun membuat pergaulannya
dengan tiga bahasa (Berber Kabilia, Arab dan Perancis) dan tradisi serta
kebudayaannya menjadi semakin erat. Di kemudian hari, barangkali inilah yang cukup
mempengaruhi perhatiannya yang begitu besar terhadap peran bahasa dalam
pemikiran dan masyarakat manusia. Ketiga bahasa tersebut sesungguhnya mewakili
tiga tradisi, orientasi budaya, cara berpikir dan cara memahami yang berbeda.
Sosok Arkoun yang demikian ini dinilai sebagai cendekiawan yang melibatkan diri
dalam berbagai kegiatan dan aksi yang menurutnya penting bagi kemanusiaan,
sebab baginya, pemikiran dan aksi haruslah saling berkaitan.
B.
Arkoun dan
Pemikiran Islam
1.
Metodologi dan Pendekatan Mohammed Arkoun
Metodologi dan pendekatan
yang digunakan Mohammad Arkoun sedikit banyak telah dipengaruhi oleh dua
kekuatan tradisi pemikiran yang telah ada, yaitu: tradisi pemikiran budaya
Timur Tengah kuno yang memiliki tempat spesial di dalam pemikiran Yunani dan
tradisi pemikiran monoteisme yang dipikirkan (dibawa) oleh para Nabi. Sehingga,
Arkoun mengemukakan bahwa dirinya sebagai pengguna metodologi historis-kritis
yang mencoba merespon rasa keingin tahuannya secara modern, karena metodologi
ini dinilainya dapat menelusuri studi tentang pengetahuan mitis yang tidak
hanya dibatasi dengan mentalitas lama.
Dengan demikian menurut Mohammed Arkoun,
pada saat ini usaha intelektual utama yang harus dipresentasikan secara luas ke
dalam pemikiran tentang Islam dan tentang agama lainnya adalah bagaimana
mengevaluasi karakteristik-karakteristik dari sistem ilmu pengetahuan yang
historis dan mitis, dengan perspektif epistemologis yang baru.
Tujuan yang ingin diraih
dengan proyek ini adalah untuk mengembangkan sebuah strategi epistemologi baru
bagi bidang studi perbandingan terhadap budaya, melalui contoh yang
dikembangkan oleh Islam sebagai agama dan sebagai sebuah produk sosial sejarah.
Arkoun
mengajukan pendekatan historis, sosiologis, dan antropologis yang dilakukannya ini
bukan dengan tujuan untuk menghilangkan betapa pentingnya pendekatan teologis
dan filosofis, namun dengan tujuan untuk memperkaya pendekatan tersebut dengan
memasukkan keadaan-keadaan historis dan sosial yang selalu dipraktekkan di
dalam Islam.[2]
Metode Arkoun ini disebutnya sebagai salah satu bentuk metode dekonstruksi.
Strategi dekonstruksi tersebut hanya mungkin dilakukan dengan epistemologi
modern yang kritis.
Historis berperan sebagai metode rekonstruksi
makna melalui cara penghapusan relevensi antara teks dengan konteks. Melalui
metode historis, yang mewujud dalam bentuk “kritik nalar
islami”, teks-teks klasik didekonstruksi menuju rekonstruksi (konteks). Bila
metode ini diterapkan pada teks-teks agama, apa yang diburu Arkoun adalah
makna-makna baru yang secara potensial bersemayam dalam teks-teks tersebut.
Arkoun menganggap proyek kritik akal Islamnya
sebagai tak lain dari perluasan terhadap makna ijtihad klasik. Perpindahan dari
ijtihad klasik ke kritik akal Islam adalah usaha mematangkan dan memantapkan
posisi ijtihad itu sendiri.[3]
Dengan demikian, nalar kritis seseorang harus
dibebaskan dari ontologi, transendentalisme, dan substansionalisme yang
mengikat, membatasi kebebasan dan memenjarakannya, terutama di dalam nalar yang
dielaborasikan di dalam berbagai macam teologi melalui metafisika dan logika
Yunani. Dalam melaksanakan proyek besar tersebut, menurut Arkoun harus dimulai
dari suara atau teori yang dianggap Mohammed Arkoun memiliki otoritas, karena
hanya dia yang dapat memberikan penampakan Islam pada mentalitas modern yang
ilmiah, dan sekaligus juga di dalam pengalaman keagamaan orang Islam. Dalam
bahasa yang lain, agar kita dapat mengartikulasikan visi modern tentang Islam
yang sekaligus bisa memberikan pengaruh pada komunitas.[4]
2.
Karya – Karya Mohammed Arkoun
Di antara karya-karyanya
adalah Rethinking Islam Today, Mapping Islamic Studies, Genealogy, and Change, The Untought in
Contemporary Islamic Thought,
al-Turath: Muhtawahu wa Huwiyyatuhu –sijjabiyatuhu wa salbiyatuhu, Min
al-Ijtihad ilal al-Naqd al-‘Aql al-Islami, al-Fikr al-Ushuli wa Istihalat al-Ta’shil: Nahwa Tarikhin Akhbar li
al-Fikr al-Islami, al-Quran min
al-Tafsir bil Mauruth, Lectures de Coran, Min Faysal al-Tafriqah ila Fasl al-Maqail: Aina huwa al-Fikr al-Islami
al-Mu’ashir, The Concept of Authorithy
in Islamic Thought,dan Religion and Society. Sejumlah karya besar Arkoun
meliputi[5];
a.
La pensee arabe (Dunia Perkembangan Arab),Paris
1973.
b.
Ouvertures Sura I ‘Islam (Catatan-catatan
Pengantar untuk Memahami Islam).
c.
Contribution atitude de Islam humannisme arabae
au IV/X siecle : Miskawayh Philosiphe historien (sumbangan pada
Pembahasan Humanisme Arab pada Abad IV/X; Miskawaih sebagai Filsuf dan
Sejarawan), Paris, Grancher,1989.
d.
Essais sur la pensce Islamique(Esai-esai tentang
Pemikiran Islam),Paris Virin,1973
e.
Lectures de Coran (Tokoh tentang Alquran)
Paris, 1982.
f. Pour une
Critique de la Raison Islamique (Demi Kritik Nalar Islami)Paris,1984.
3.
Pemikiran Mohammed Arkoun.
Perhatian Arkoun sangat
besar terhadap persoalan Islam yang intinya dapat dikelompokkan dalam pemikiran
islam yaitu masalah kemasyarakatan, pemahaman terhadap kitab suci, pengertian
etika, serta kaitannya antara islam dan modernitas. Arkoun dalam
studinya ia menggunakan pendekatan ilmu sosial untuk memahami Islam sebagai
suatu agama yang dianut oleh masyarakat majemuk di zaman modern.
Dalam Islamisasi pengetahuan Barat, Arkoun
mempunyai wewenang dan keunikan sendiri dalam menggagas pemikirannya, ia sangat
memahami seluk beluk tentang Barat. Kebanyakan pemikirannya terilhami
gagasan-gagasan Barat kontemporer, dan juga upaya untuk menghidupkan pemikiran
dalam model atau corak baru.[6]
Arkoun menganjurkan untuk melakukan usaha pembebasan atas pemikiran Islam dari
kejumudan dan ketertutupan dengan pendekatan kajian historis dan kritis dan
dengan perangkat pemikiran ilmu pengetahuan Barat mutakhir. Pemikirannya banyak
mengarah kepada usaha para peneliti Islam yang mendekati Islam melalui
karya-karya tulis dari berbagai tokoh klasik. Mengenai hal yang menyangkut
pemikiran logis dan rasional seperti fiqh, terutama Teologi agar melampaui
batas studi Islam Tradisional; Hal tersebut tampak bahwa tulisan Arkoun
memusatkan perhatian pada tokoh- tokoh besar seperti Miskawaih dan tokoh
lainnya.
Landasan utamanya adalah pengetahuan modern
yang menjadi pendekatan Arkoun terhadap Islam. Karena, menurutnya sejarah
masyarakat islam sangat berkaitan dengan masyarakat Barat. Tidak ada dikotomi
antara pemikiran Barat dengan pemikiran Islam. Keduanya harus dihargai.
Keduanya perlu dievaluasi, mengingat konteks sejarah ada rumpun dalam “kelompok
ahli-ahli kitab” yang menurutnya untuk merevormasi universalitas tanpa merusak
partikularitas.[7]
Perkembangan mutakhir tentang pemikiran ilmu-ilmu keislaman, telah menerima
ilmu ushul fiqih dalam fungsi metodologi projektifnya merupakan suatu dukungan
ilmiah dan intelektual bagi sifat agama dalam hukum Islam. Suatu dekontruksi
kritis gagasan dan tipe rasionalitas penting untuk secara modern menilai
kembali wahyu sebagai gejala budaya dan sejarah yang komplek. Arkoun mendorong
adanya islamologi terapan dalam pengembangan pemikiran dan nalar Islam.
Menurutnya, berbagai karya klasik saat itu menjadi kajian penting
masyarakat Barat. Suatu pendekatan atau metodologis yang tidak mungkin
terabaikan adalah bahwa ada nasib kesejarahan antara barat dan Islam dalam
konteks historis.
Catatan penting dalam pemikiran Arkoun adalah
tentang perlunya kesadaran dan daya kritis tinggi untuk mencermati khasanah
pengetahuan Barat yang dipakai dalam mengkaji nilai Islam. Ia sebenarnya punya
filterisasi atas barat untuk memadukannya dengan Islam. Pisau analisisnya
adalah perangakat teoritis barat yang digunakannya untuk mengislamisasikan
nilai yang terbaratkan. Arkoun juga ingin menyatukan semua perbedaan identitas
sesama umat Islam, bahkan dengan nonmuslim. Mencitrakan Islam baik isi nilai
keislaman maupun muatan permukaan dari umatnya, agar persepsi yang keliru dari
masyarakat barat terhadap islam dapat dihilangkan. Arkoun mencitrakan Islam
bukan dengan cara menonjolkan islam dalam keanekaragaman, tapi Islam yang
Islami dalam kesatuan.
Arkoun menjabarkan selama beberapa dasawarsa
umat Islam seakan lupa tentang segala sesuatu yang berbau Barat juga terkandung
berbau Eropa. Menurutnya Eropa perlu dicermati esensi-esensi peradabannya
jangan hanya diambil permukaannya saja. Arkoun berusaha menyatakan diri sebagai
perwakilan yang mencoba mengedepankan islam apa adanya, baik selaku nilai suci
maupun sudah terkontekstualisasi dalam sejarah. Muatan Islam tersebut selain
memudahkan kelompok pemula islam, juga memudahkan bagi kelompok yang meremehkan
dan memandang Islam sebagai suatu nilai yang sudah tercatatkan sejarah. Dari
sisi ini, karya-karya Arkoun sangat melewati batas – batas pemikir sebelumnya
mengenahi Islam.
Memikirkan kembali (rethinking) Islam
mengandaikan bahwa Mohammed Arkoun tengah mengulang posisi dari ishlah
yang sudah dikenal baik – pemikiran reformis yang telah dipresentasikan sejak
abad ke-19 oleh aliran salafi. Arkoun ingin menghindari berbagai
persamaan antara perspektif modern atau pemikiran kritis radikal yang
diaplikasikan pada banyak subjek dan pemikiran ishlahi yang dalam tradisi
Islam merupakan sebuah sikap mitis yang kurang lebih berpaduan dengan
pendekatan historis terhadap masalah-masalah yang berhubungan dengan visi
keagamaan.
Mohammed Arkoun tidak akan lagi memaksakan
pentingnya linguistik dan semiotika dalam memikirkan kembali status kognitif
wacana agama. Namun, Arkoun menekankan pada berbagai pandangan yang sudah
dikembangkan pada beberapa esai yang dihimpun dalam Critique de la raison
Islamique, yang membahas hal-hal berikut[8]:
a.
Alat-alat untuk pemikiran baru
Periodisasi sejarah pemikiran dan sastra selama
ini ditentukan oleh peristiwa-peristiwa politis. Kita sekarang ini
berbicara tentang periode Umayyah, Abbasiyah, dan Utsmani. Bagaimanapun, ada
lebih banyak kriteria yang mencerahkan yang dapat kita gunakan untuk membedakan
periode-periode perubahan dalam sejarah pemkiran. Kita harus mempertimbangkan
diskontinuitas-diskontinuitas yang mempengaruhi kerangka kerja konseptual yang
digunakan dalam sebuah wilayah kultural yang telah ada (a given cultural
space). Konsep-konsep mengenai nalar dan sains (‘ilm) yang digunakan dalam
al-Qur’an misalnya, tidak sama dengan yang kemudian dikembangkan oleh kaum falasifa,
menurut aliran Platonik dan Arestotelian. Bagaimanapun, konsep-konsep yang
dielaborasi dalam wacana al-Qur’an sekarang masih digunakan secara akurat
karena episteme yang diperkenalkan al-Qur’an tidak pernah
dipertimbangkan secara intelektual.
Episteme merupakan yang
lebih baik bagi studi pemikiran karena ia concen dengan struktur dari
wacana itu – postulat-postulat implisit yang mengendalikan konstruksi sintaksis
dari wacana itu. Untuk mengontrol validitas epistemologis dari berbagai
wacana, adalah penting untuk menemukan dan menganalisis postulat-postulat
implisitnya. Upaya ini tidak pernah dilakukan untuk semua wacana dalam
pemikiran Islam. Itulah mengapa Arkoun harus bersikeras menuntut digunakannya
episteme baru yang secara implisit ada dalam jaringan konsep-konsep yang
digunakan dalam sains-sains sosial dan kemanusiaan semenjak akhir abad ke-16.
Adalah tidak mungkin
misalnya, menggunakan bahasa arab untuk mengekspresikan “masalah Tuhan”, yang
menghubungkan Allah dan musykil (masalah yang sangat sulit); Allah tidak
bisa dianggap sebagai problematik. Dia dikenal – baik, dipresentasikan dengan baik
dalam al-Qur’an; manusia harusnya hanya merenungkan, menginternalisasi, dan
mematuhi apa yang diwahyukan Allah Dirinya dalam firman-Nya. Pembahasan
klasik mengenai sifat-sifat Allah tidak bisa diterima oleh semua mazhab; dan
akhirnya sifat-sifat itu dihimpun sebagai nama-nama Allah yang paling indah (asma
Allah al-husna), tapi ditolak sebagai subjek penelitian ilmiah.
b.
Mode-Mode Pemikiran
Mohammed Arkoun
mengklarifikasi dan melakukan diferensiasi antara dua mode pemikiran yang
diadopsi oleh para pemikir muslim saat lahirnya modernitas intelektual dalam
masyarakat mereka (bukan hanya dalam pemikiran), yaitu sejak permulaan Nahdha
di abad ke-19. Arkoun tidak akan menekankan trend yang
dikenal baik dari pemikiran reformis salafi yang dipelopori oleh Jamal
al-Din al-Afghani dan Muhammad Abduh. Inilah yang Mohammed Arkoun sebut sebagai
jalan pemikiran ishlahi yang telah menjadi karakteristik pemikiran Islam
sejak wafatnya Nabi. Prinsip-prinsip umum bagi semua pemikir muslim, ‘ulama
mujtahidin, sebagaimana bagi para sejarahwan yang mengadopsi kerangka kerja
teologis yang diberikan oleh divisi waktu menjadi dua bagian – sebelum/ sesudah
hijriah (seperti sebelum/ sesudah masehi) – adalah semua yang
mentransendensikan Kebenaran Ilahi yang telah diberikan kepada umat manusia
oleh wahyu dan secara konkret direalisasikan oleh Nabi melalui
inisiatif-inisiatif historis di Madinah.
Untuk memikirkan kembali
Islam, seseorang harus memahami asal-usul sosio-kultural pemikiran ishlahi dan
pengruhnya terhadap nasib historis masyarakat-masyarakat tempat pemikiran ini
telah atau masih dominan. Untuk menilai validitas epistemologis pemikiran
ishlahi, seseorang memulai dari masalah-masalah radikal dan awal yang
berhubungan dengan proses generatif, struktur dan penggunaan ideologis
pengetahuan. Dengan ini, dimaksudkan setiap jenis dan level pengetahuan yang
dihasilkan oleh manusia yang hidup, bertindak, dan berpikir dalam situasi
sosial-historis yang yelah ada. Pemikiran radikal merujuk pada kondisi
biologis, historis, linguistik dan semiotik yang diberikan oleh masyarakat
sebagai wujud-wujud alami. Dari perspektif ini, Wahyu Islam hanyalah sebuah
upaya, di samping upaya-upaya yang lain, untuk emansipasi umat manusia dari
batasan-batasan alami kondisi biologis, historis, dan linguistik mereka.
c.
Dari yang tak Terpikirkan ke yang Terpikirkan
Islam dipresentasikan dan dihidupkan sebagai
sebuah sistem kepercayaan dan non-kepercayaan yang tidak bisa ditundukkan pada
penelitian kritis apapun. Dengan demikian, membagi wilayah menjadi dua bagian:
yang tak terpikirkan dan bukan terpikirkan. Kedua konsep ini bersifat historis
dan tidak filosofis. Wilayah perspektif dari masing-masing bagian berubah
melalui sejarah dan berbeda dari satu kelompok sosial ke kelompok sosial
lainnya. Sebelum upaya sistematisasi yang dilakukan oleh Syafi’i mengenai
konsep penggunaan sunnah dan ushuli, banyak aspek pemikiran Islam
yang masih merupakan wilayah yang terpikirkan. Wilayah itu menjadi tak
terpikirkan setelah kemenangan teori Syafi’i dan juga elaborasi dari
“kumpulan-kumpulan” otentik. Sama halnya, masalah-masalah yang berhubungan
dengan proses historis pengumpulan al-Qur’an dalam sebuah mushaf resmi
menjadi semakin tak terpikirkan dibawah tekanan resmi kekhalifahan karena
al-Qur’an telah digunakan sejak permulaan negara Islam untuk melegitimasi
kekusaan politik dan menyatukan umat. Keputusan resmi terakhir yang menutup setiap
pembahasan mengenai bacaan-bacaan mushaf ortodoks yang diterima
telahdibuat oleh qadhi Ibn Mujahid setelah adanya percobaan Ibn Shumbudh
(abad ke-4 H/ 10 M).
d. Masyarakat
Kitab
Mohammed Arkoun memperkenalkan konsep ini
sebagai suatu kategori historis untuk memperdalam analisi mengenai agama-agama
wahyu. Pertama menekankan fakta yang signifikan bahwa tiga agama wahyu belum
pernah ditelti secara komparatif. Bahkan, masih ada literatur deskriptif,
terutama mengenai Islam dan Kristen, tengah dikembangkan sesuai dengan dialog
Islam-Kristen, tapi postulat-postulat teologis yang diterima dalam
masing-masing tradisi masih mendominasi berbagai analsis tentang agama-agama
wahyu.
Arkoun menyebut masyarakat-masyarakat
Kitab yang telah dibentuk sejak abad pertengahan oleh kitab sebagai
sebuah fenomena religius dan kultural. Kitab itu sendiri mempunyai dua makna
dalam persperktif ini. Kitab Langit (The Heavenly Book)yang dijaga oleh
Tuhan dan memuat semua firman Tuhan yang disebut Umm al-Kitab dalam
al-Qur’an.
e.
Strategi Dekonstruksi
Hingga kini kita telah mempresentasikan
unsur-unsur dan kekuatan-kekuatan yang bertindak dalamMasyarakat Kitab. Ini
tidak cukup memikirkan dalam cara baru mengenai pertentangan antara
masyarakat-masyarakat kitab dan masyarakat-masyarakat sekular. Memikirkan
tentang pertentangan ini berarti memikirkan dari perspektif baru mengenai nasib
manusia dengan dua akibat historis utama. Masyarakat Kitab, seperti halnya
dengan masyarakat sekular, telah menunjukkan batas-batas intelektual dan
kegagalan-kegagalan empirik dari paradigma respektif mereka bagi tindakan
historis.
Mamikirkan situasi historis kita yang baru
merupakan sebuah usaha positif. Tidak bermaksud mengajukan kritik negatif
terhadap upaya-upaya sebelumnya pada emansipasi eksistensi manusia sebagai mana
kita ingin memberikan jawaban-jawaban yang relevan bagi persoalan-persoalan
yang tertunda dan menekan. Inilah mengapa Arkoun lebih suka berbicara mengenai
strategi dekonstruksi, kita harus mendekonstruksi imaginaire sosial
yang telah distrukturkan selama berabad-abad oleh fenomena Kitab sperti halnya
dengan kekuatan-kekuatan sekular dari peradaban material sejak abad ke-17.
f.
Wahyu dan Sejarah
Strategi dekonstruksi mengarah pada konfrontasi
mutlak yang menentukan dalam masyarakat-masyarakat kitab. Ketika kita menemukan
fungsi imaginaire sosial seperti menghasilkan sejarah kelompok, kita
tidak bisa lagi mempertahankan teori tentang wahyu seperti yang telah
dielaborasi sebelumnya, yaitu sebagai citra-citra yang dihasilkan fenomena
kompleks dari intervensi profetik.
Al-Qur’an menekankan pentingnya manusia untuk
mendengar, menyadari, merefleksikan, menembus, memahami, dan merenungkan. Semua
kata kerja ini merujuk pada aktivitas-aktivitas intelektual yang mengarah pada
suatu jenis rasionalisasi yang didasarkan pasa paradigma eksistensial yang
diungkapkan bersama sejarah keselamatan. Sejarah merupakan inkarnasi
aktual dari wahyu sebagiamana ia diinterpretasikan oleh para ulama dan
disimpan dalam kenangan kolektif. Wahyu memelihara kemungkinan memberi sebuah
legitimasi “transenden” bagi tatanan sosial dan proses historis yang diterima
oleh kelompok itu. Namun kemungkinan ini fapat dipertahankan hanya sealam
sistem kognitif yang didasarkan pada imaginaire sosial, tidak digantikan
oleh suatu rasionalitas baru, rasionalitas yang lebih masuk akal berkaitan
dengan organisasi yang berbeda dari wilayah sosial historis. Inilah satu alasan
bagi pertentangan yang sudah dikenal antara kaum falasifa dan mutkallimun,
atau fuqaha.
C. Pemikiran Mohammad Arkoun yang Exist
1.
Tradisi Hermeneutik
Arkoun dengan pemikirannya berusaha
memperkenalkan pendekatan pemikiran hermeneutika sebagai methodologi kritis
yang akan memunculkan informasi, makna dan pemahaman baru ketika suatu teks dan
aturan di dekati dengan cara pandang baru, terutama dengan menggunakan metode
hermeneutika histories-kontekstual. Karena sikap dari setiap pengarang, teks
dan pembaca tidaklah lepas dari konteks sosial, politis, psikologis, teologis
dan konteks lainnya dalam ruang dan waktu tertentu. Maka dalam memahami sejarah
yang di perlukan bukan hanya transfer makna, melainkan juga transformasi makna.
Pemahaman tradisi Islam selalu terbuka dan tidak pernah selesai, dalam istilah
lain bahwa pintu ijtihad belumlah tertutup karena pemaknaan dan pemahamannya
selalu berkembang seiring dengan perkembangan ummat Islam yang selalu terlibat
dalam penafsiran ulang dari zaman ke zaman. Ketika mendekati (membaca dan
memahami) Al Qur’an dan tradisi keislaman muncullah tiga kesimpulan:
a.
Sebagian kebenaran pernyataan Al Qur’an baru
akan kelihatan di masa depan.
b.
Kebenaran yang ada pada Al-Qur’an
berlapis-lapis atau berdimensi majemuk, sehingga potensi pluralitas pemahaman
terhadap kandungan Al-Qur’an adalah hal yang sangat wajar dan lumrah atau
bahkan di kehendaki oleh Qur’an sendiri.
c. Terdapat doktrin
dan tradisi keislaman histories-aksidental sehingga tidak ada salahnya
jika doktrin dan tradisi keislaman itu di pahami ulang dan di ciptakan tradisi
baru. Kesimpulan yang terakhir ini bisa menyangkut ayat-ayat soal pembagian
harta waris, posisi wanita dalam masyarakat, dan hubungan ummat Islam dengan
agama lain.[9]
2. Pembacaan Al-Qur’an
Arkoun menyadari bahwa
dengan kelahiran teks Alqur’an, perubahan mendasar di kalangan umat dalam
memahami wahyu telah terjadi. Raison graphique (nalar grafis)
telah mendominasi cara berpikir umat sehingga logos kenabian (prophetique)
didesak oleh logos pengajaran (professoral). Selain itu, kemiskinan usaha untuk
memahami wahyu dari segala dimensinya juga telah terjadi. Untuk itulah tujuan
qira’ah menurut Arkoun adalah untuk comprendre, yakni mengerti
komunikasi kenabian yang hendak disampaikan lewat teks yang bersangkutan dengan
cara mengoptimalkan setiap kemungkinan untuk mereproduksi makna.[10]
Arkoun melihat, paling tidak ada tiga macam cara pembacaan Alqur’an:
a.
Secara liturgis, yaitu memperlakukan teks
secara ritual yang dilakukan saat shalat, doa-doa tertentu dan ibadah yang lain
yang bertujuan untuk “mereaktualisasikan saat awal ketika Nabi mengujarkannya
untuk pertama kali” agar didapatkan kembali kondisi seperti “ujaran I”. Dengan
cara ini, manusia melakukan komunikasi rohani secara horisontal maupun vertikal
dan sekaligus melakukan pembatinan kandungan wahyu.
b.
Secara eksegesis yang berfokus utama pada
“ujaran 2”, yaitu ujaran yang termaktub di dalam mushaf.
c.
Dengan cara memanfaatkan temuan-temuan
metodologis yang disumbangkan oleh ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu bahasa.
3.
Pluralisme Agama
Mohammed Arkoun menyatakan
bahwa Islam akan meraih kejayaannya jikalau umat Islam mau membuka diri
terhadap pluralisme pemikiran dan Pluralisme bisa dicapai bila pemahaman agama
dilandasi paham kemanusiaan, sehingga umat Islam bisa bergaul dengan siapa pun.
Arkoun
mengungkapkan, humanisme Timur Tengah muncul pada abad ke-10 di Irak dan Iran
yang didasarkan pada pendekatan humanis terhadap manusia. Para ahli teologi,
hukum, ilmuwan, dan ahli-ahli filsafat berkumpul dalam satu Majelis dengan
saling berhadapan muka untuk berbicara dan bertukar pikiran. Namun, memasuki
abad ke-13, umat Islam mulai melupakan filsafat maupun debat teologi.
Dalam Islam klasik, kata
Arkoun, ketika debat didasarkan pada pendekatan keragaman budaya, keragaman
pemikiran, dan keragaman teologi, terjadilah perdebatan yang seru bagaimana
menginterpretasikan AlQuran dan mengelaborasi dengan hukum yang didasarkan pada
teks suci. Dengan tetap mempertahankan pluralisme,
seseorang akan tetap menjadi kritis, baik dalam filsafat maupun teologi.
Pluralisme inilah yang hilang dalam Islam sehingga Islam harus berusaha
memunculkan kembali dan mempertahankan kebebasan bagi setiap muslim untuk
berpartisipasi dalam ijtihad. Pemahaman ini penting untuk membangun demokrasi
di negara-negara Islam dan untuk memulihkan kembali kebebasan berpikir dalam
Islam.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pada saat ini usaha intelektual utama yang harus
dipresentasikan secara luas ke dalam pemikiran tentang Islam dan tentang agama
lainnya adalah bagaimana mengevaluasi karakteristik-karakteristik dari sistem
ilmu pengetahuan yang historis dan mitis, dengan perspektif epistemologis yang
baru.
Tujuan
yang ingin diraih dengan proyek ini adalah untuk mengembangkan sebuah strategi
epistemologi baru bagi bidang studi perbandingan terhadap budaya, melalui
contoh yang dikembangkan oleh Islam sebagai agama dan sebagai sebuah produk
sosial sejarah. Arkoun
mengajukan pendekatan historis, sosiologis, dan antropologis yang dilakukannya
ini bukan dengan tujuan untuk menghilangkan betapa pentingnya pendekatan
teologis dan filosofis, namun dengan tujuan untuk memperkaya pendekatan
tersebut dengan memasukkan keadaan-keadaan historis dan sosial yang selalu
dipraktekkan di dalam Islam.
Catatan penting
dalam pemikiran Arkoun adalah tentang perlunya kesadaran dan daya kritis tinggi
untuk mencermati khasanah pengetahuan Barat yang dipakai dalam mengkaji nilai
Islam. Ia sebenarnya punya filterisasi atas barat untuk memadukannya dengan
Islam. Pisau analisisnya adalah perangakat teoritis barat yang digunakannya
untuk mengislamisasikan nilai yang terbaratkan. Arkoun juga ingin menyatukan
semua perbedaan identitas sesama umat Islam, bahkan dengan nonmuslim.
Mencitrakan islam baik isi nilai keislaman maupun muatan permukaan dari
umatnya, agar persepsi yang keliru dari masyarakat barat terhadap islam dapat
dihilangkan. Arkoun mencitrakan Islam bukan dengan cara menonjolkan islam dalam
keanekaragaman, tapi Islam yang Islami dalam kesatuan. Adapun essai yang dikembangkan oleh Arkoun yang didalamnya membahas
mengenai: alat-alat untuk pemikiran baru, mode-mode pemikiran, dari yang tak
terpikirkan ke yang terpikirkan, masyarakat Kitab, strategi dekonstruksi, dan
wahyu dan sejarah. Pemikiran Arkoun sangat fenomenal, diantaranya
yang exist yakni mengenai tradisi hermenetik, pembacaan Al-Quran, dan
pluralisme agama.
DAFTAR
PUSTAKA
Arkoun,
Mohammed. 2005. Islam Kontemporer menuju dialog antar agama. Yogyakarta
: Pustaka Pelajar
Taufik,
Akhmad,dkk. 2004. Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam. Jakarta
: Raja Grafindo Persada
Meuleman,
Johan Hendrik, 1996. Tradisi Kemodernan dan Metamodernisme. Yogyakarta.
http://jendelapemikiran.wordpress.com/2008/04/14/mohammad-arkoun-membuka-pluralisme-beragama/,
diakses pada hari Jum’at tgl.22-11-13 jam 13.00 WIB.
http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/04/mohammed-arkoun-dan-pemikiran-post.html diakses pada hari Jum’at tgl.22-11-13 jam 13.00 WIB.
http://supraptiwulaningsih.blogspot.com/2012/12/v-behaviorurldefaultvmlo.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar